Zhao Liyun, seorang pekerja kantoran modern yang gemar membaca novel, tiba-tiba menyeberang masuk ke dalam buku favoritnya. Alih-alih menjadi tokoh utama yang penuh cahaya dan keberuntungan, ia malah terjebak sebagai karakter pendukung wanita cannon fodder yang hidupnya singkat dan penuh penderitaan.
Di dunia 1970-an yang keras—era kerja kolektif, distribusi kupon pangan, dan tradisi patriarki—Liyun menyadari satu hal: ia tidak ingin mati mengenaskan seperti dalam buku asli. Dengan kecerdikan dan pengetahuan modern, ia bertekad untuk mengubah takdir, membangun hidup yang lebih baik, sekaligus menolong orang-orang di sekitarnya tanpa menyinggung jalannya tokoh utama.
Namun semakin lama, jalan cerita bergeser dari plot asli. Tokoh-tokoh yang tadinya hanya figuran mulai bersinar, dan nasib cinta serta keluarga Liyun menjadi sesuatu yang tak pernah dituliskan oleh penulis aslinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YukiLuffy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 Malam Panjang Bersama Shengli
Kegelapan telah menyelimuti Desa Qinghe dengan mantelnya yang pekat, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang menyembul sesekali dari balik awan. Di dalam gubuk Liyun, lentera minyak di atas meja menari-nari, menerangi wajahnya yang lelah namun tak lagi terlihat sedih.
Wu Shengli duduk di seberangnya, tangannya dengan lembut memperbaiki pegangan cangkul yang patah. Keheningan di antara mereka nyaman, diisi hanya oleh suara gesekan kayu dan napas mereka yang tenang.
"Terima kasih," ucap Liyun tiba-tiba, memecah kesunyian. "Untuk hari ini. Untuk... segalanya."
Shengli mengangkat pandangannya, mata hitamnya menangkap cahaya lentera. "Tidak perlu berterima kasih. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya."
"Tapi tidak semua orang akan melakukan apa yang kau lakukan." Liyun menatap nyala api kecil di lentera. "Kebanyakan orang akan menjauh saat masalah datang."
"Maka mereka bukan teman sejatimu."
Kata "teman" tergantung di udara antara mereka, terasa terlalu sederhana untuk apa yang mereka alami bersama.
Liyun menarik napas dalam. "Terkadang aku bertanya-tanya, bagaimana hidupku akan berjalan jika aku tidak... berubah. Mungkin aku masih menjadi Zhao Liyun yang penakut, yang hanya menunggu nasib buruk menimpanya."
Shengli meletakkan cangkul yang sedang diperbaiki. "Tapi kau memilih untuk berubah. Itulah yang membuatmu kuat."
"Atau bodoh," bantah Liyun dengan senyum getir. "Mencoba melawan takdir yang sudah ditulis."
"Takdir?" Shengli mengerutkan kening. "Apa kau benar-benar percaya pada takdir?"
Liyun memandangnya lama. Bagaimana menjelaskan bahwa dia tahu dengan pasti takdir seperti apa yang menunggunya? Bahwa dalam cerita asli, dia sudah seharusnya mati, dilupakan, menjadi sekadar catatan kaki dalam kehidupan orang lain?
"Aku... pernah membaca ramalan tentang diriku," ujarnya hati-hati. "Bahwa aku akan mati muda. Bahwa hidupku tidak akan berarti."
Shengli terdiam sejenak, lalu berdiri dan pindah duduk di bangku yang lebih dekat dengannya. "Ramalan hanyalah kata-kata, Liyun. Yang penting adalah apa yang kau pilih untuk dipercaya."
Dia mengulurkan tangannya, hampir menyentuh tangan Liyun tapi berhenti sejenak di udara, seolah meminta izin. Liyun tidak menarik tangannya, dan saat jari-jari Shengli akhirnya menyentuh kulitnya, ada kehangatan yang menyebar, menembus hingga ke tulang-tulangnya yang lelah.
"Lihatlah sekelilingmu," bisik Shengli. "Kebunmu yang subur, orang-orang desa yang mulai menghormatimu, kontribusimu pada desa kita. Apakah ini tidak berarti?"
Air mata tanpa sadar menggenang di mata Liyun. "Tapi semuanya bisa hilang dalam sekejap. Seperti tadi siang."
"Tidak," bantah Shengli dengan tegas. "Karena kau akan terus berjuang. Itulah yang kau ajarkan padaku—untuk tidak pernah menyerah."
Mereka duduk dalam keheningan lagi, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di udara—sebuah pengakuan yang belum terucap, sebuah perasaan yang sudah lama tumbuh di antara mereka akhirnya menemukan nyalanya.
"Kau tahu," ucap Shengli akhirnya, suaranya lebih rendah dari bisikan, "sebelum kau datang, hidupku seperti... seperti sungai yang beku. Aku melakukan apa yang diharapkan—bekerja, makan, tidur—tapi tidak pernah benar-benar hidup. Lalu kau muncul, seperti musim semi pertama setelah musim dingin yang panjang."
Liyun menatapnya, melihat untuk pertama kalinya kerentanan di mata pria yang biasanya begitu kuat dan teguh ini.
"Kau mengajariku bahwa kita bisa berubah. Bahwa kita tidak harus menerima apa yang diberikan kehidupan pada kita."
Liyun merasa dadanya sesak. "Aku tidak sehebat itu, Shengli. Aku hanya... takut. Takut mati tanpa arti. Takut dilupakan."
"Kau tidak akan dilupakan," janji Shengli, tangannya sekarang sepenuhnya memegang tangan Liyun. "Tidak selama aku masih hidup."
Di luar, angin malam berhembus, membawa serta aroma bunga melati yang mekar di kegelapan. Di dalam gubuk yang sederhana itu, dua jiwa yang terluka menemukan penghiburan satu sama lain.
Malam itu, mereka tidak menyelesaikan semua masalah mereka. Racun tikus masih menjadi ancaman, kebencian Madam Zhao masih membara, dan ketidakpastian masa depan masih menggantung. Tapi untuk pertama kalinya, Liyun merasa tidak sendirian menghadapi semuanya.
Saat Shengli akhirnya harus pergi, dia berhenti di ambang pintu. "Aku akan selalu ada untukmu, Liyun. Selalu."
Setelah dia pergi, Liyun berdiri di sana lama sekali, tangan yang disentuh Shengli masih terasa hangat. Dia memandangi bintang-bintang di langit, dan untuk pertama kalinya sejak datang ke dunia ini, dia merasa... damai.
Mungkin, pikirnya, inilah yang disebut takdir—bukan sesuatu yang sudah ditulis di batu, tapi sesuatu yang kita tulis sendiri dengan setiap pilihan, dengan setiap langkah, dengan setiap orang yang kita ijinkan masuk ke dalam hati kita.
Dan malam ini, dia memilih untuk percaya pada kemungkinan baru—sebuah masa depan di mana dia tidak harus berjuang sendirian. Sebuah masa depan di mana ada tempat untuknya, untuk Shengli, dan untuk semua mimpi yang selama ini dia pendam sendiri.
Angin malam berbisik melalui celah-celah pintu, membawa serta janji akan hari baru. Dan untuk pertama kalinya, Liyun menyambutnya dengan senyuman.