Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Godaan si Penggoda
Setelah Alvin tertidur, Riki dengan perlahan meletakkan Alvin di tempat tidurnya. Riki menghampiri tempat tidur Arsa, memeriksa apakah anak pertamanya itu mengompol atau tidak. Setelah memastikan kedua anaknya tertidur nyaman, Riki duduk di pinggir ranjang. Tangannya sedikit kebas karena terlalu lama menggendong Alvin. Tapi tak masalah, yang terpenting Alvin sudah tidur nyenyak lagi, dan Nira juga bisa beristirahat
Riki baru memahami betapa lelah Nira setiap malam, memastikan kedua anak mereka tertidur lelap dan nyaman. Bahkan saat Alvin menangis tadi pun, Nira tak memanggilnya. Nira berusaha menenangkannya sendiri.
Karena sudah terbangun, Riki belum bisa tidur lagi. Ia keluar kamar sebentar, ke dapur, membuat kopi, dan membawanya ke kamar.
Ucapan Nira terngiang lagi. Keinginan Nira untuk bercerai karena ia tak kuat lagi menerima perilaku kasar juga perselingkuhan Riki.
Setelah berpikir sejenak, Riki memutuskan satu hal. Ia akan berusaha untuk mendapatkan maaf Nira lagi. Dan yang harus ia lakukan adalah menunjukkan bahwa ia bisa mengontrol emosinya dan juga memutus perselingkuhannya.
Riki meraih ponsel, menekan satu nomor, dan melakukan panggilan.
“Halo, Sayang. Kamu telepon malam-malam begini, apa sudah memastikan kalau istrimu tertidur nyenyak dan nggak ganggu kita?”
Suara Yura terdengar manja. Riki mengembuskan napas.
“Yura, apa besok kita bisa ketemu?”
“Ada apa, Sayang? Dari nada bicaramu, kamu kayak lagi resah.”
“Nggak ada apa-apa. Aku cuma kecapekan aja.”
“Oh, baiklah. Bisa. Aku selalu bisa ketemu kamu kapanpun.”
“Aku besok datang ke rumahmu sepulang bekerja.”
“Baik, Sayang. Aku akan berdandan cantik, memastikan tubuhku wangi agar kamu betah memelukku.”
Riki terdiam sesaat,” Eum, itu aja yang mau aku omongin. Aku tutup ya teleponnya.”
“Eits. Tunggu dulu. Apa-apaan kamu mau matiin telepon? Ganti mode video call dong, Sayang. Aku kangen banget sama kamu. Tiga hari lebih kita nggak ketemu.”
Riki menggeleng, mendesah kesal,” Besok ‘kan ketemu. Aku capek banget, Yura.”
“Ya ya ya. Baiklah. Kamu kayaknya emang kecapekan banget. Ya udah. Aku tunggu besok, Sayang. Love you.”
Riki tak menjawab dan langsung mematikan panggilan. Tak peduli Yura di sana marah atau kesal.
Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Saatnya memaksa tidur. Kopinya ia biarkan dingin.
***
“Sayang, aku nanti pulang terlambat. Ada urusan sedikit,” ucap Riki saat berpamitan pada Nira, hendak berangkat bekerja.
“Hmm,” angguk Nira acuh.
“Nanti kita makan malam di luar yuk sama anak-anak,” ajak Riki.
“Katanya pulang telat. Keburu lapar aku nanti nungguin kamu,” tolak Nira.
“Urusanku cuma sebentar kok. Masih bisa makan malam bareng.”
Nira diam. Tak mengangguk juga tak menggeleng.
“Kamu nggak mau salim dulu sama suami kamu, Ra?” Riki mengulurkan tangan di depan Nira.
Dengan malas, Nira mencium punggung tangan Riki. Riki tersenyum, lalu mengecup kening Nira. Setelahnya ia berangkat bekerja.
Nira menatap punggung Riki. Ia tak mengantar Riki sampai depan. Nira mulai merasa perubahan sikap Riki beberapa hari terakhir ini. Riki seperti kembali menjadi Riki yang dulu. Tapi, entahlah. Nira masih bingung dengan perasaannya sendiri. Niat ingin cerai itu masih ada, tapi entah mengapa tak sekuat dulu. Apalagi setelah melihat semalam Riki menjaga kedua anak mereka dan menepati omongannya untuk tak menganggu tidur Nira.
Nira berpikir sesaat, rasa-rasanya ia ingin menguji keseriusan Riki yang katanya mau mengontrol emosinya. Walau tahu akibatnya, tapi Nira ingin membuktikan sekali saja, apa benar Riki sudah berubah.
Maka, Nira meraih ponselnya, mengetik pesan ke sebuah nomor. Nira menyeringai. Apa yang akan ia lakukan akan mempengaruhi penilaiannya terhadap Riki. Jika Riki kembali kasar, maka Nira bisa lebih mantap mengambil langkah perceraian.
***
Pintu rumah Yura diketuk dari luar. Yura yang sudah tampil cantik juga seksi tersenyum sumringah. Ia seperti seorang istri yang siap menyambut suaminya pulang bekerja.
Yura berjalan anggun, membuka pintu, dan tersenyum manis,” Hai, Sayang,” sapanya dengan mata mengerling menggoda.
Riki menelan ludahnya susah payah melihat penampilan Yura yang menggoda imannya. Nira saja tak pernah berpenampilan seperti ini di depannya.
Yura memakai gaun tipis, hampir menerawang, dengan model bahu terbuka dan panjang gaun hanya setengah paha, memperlihatkan bagian-bagian tubuh Yura yang masih kencang bak perawan walau ia sudah bergelar seorang janda.
Yura tersenyum melihat Riki yang memandangi tubuhnya. Dengan cepat, ia menarik tangan Riki agar masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.
“Kalau kita bisa menikah, setiap hari aku akan menyambutmu pulang seperti ini, Sayang. Ah … Jadi pingin dinikahi sekarang,” ucap Yura menggelayut lengan Riki manja.
Jantung Riki berdegup kencang. Antara lelah, terpesona, dan hasratnya yang bercampur jadi satu. Dia seorang pria normal. Beberapa hari ia tak mendapat jatah dari istrinya dan sekarang di sampingnya ada wanita cantik juga seksi tengah menggodanya.
Yura terus menarik Riki untuk duduk di sofa,” Kamu mau mandi apa bermesraan dulu?”
“Aku bau keringat, Yura,” jawab Riki menatap dua bongkahan milik Yura. Uh, kalau saja urusan ini tak mendesak, Riki pasti sudah menikmatinya.
“Jadi, mau mandi dulu?”
Riki menggeleng. Ia menarik Yura agar duduk di sebelahnya,” Aku mau bicara penting tentang hubungan kita, Yura.”
Yura mengerjap bingung,” Apa? Mau nikahin aku?”
Riki menggeleng lagi,” Aku mau mengakhiri hubungan kita.”
Yura mematung.
“Nira tahu semuanya,” ucap Riki lirih.
“Terus?”
“Dia minta cerai.”
Yura tertawa sinis,” Bagus dong. Cerai saja lalu nikahin aku. Bersamaku, kamu nggak perlu kerja di showroom lagi. Kamu bisa kerja di salah satu perusahaanku. Kamu nggak akan kekurangan, Sayang.”
“Nggak bisa, Yura. Aku mencintainya.”
“Cinta? Hidup ini butuh uang. Nggak cuma sekedar cinta. Realistis aja lah, Rik. Dengar, kamu mencintainya tapi kamu kerja keras di showroom mobil itu. Mendapat bonus kalau kamu berhasil menjual mobil mereka. Aku juga yakin kalian nggak punya rumah di kota ini ‘kan?”
Riki diam, menunduk.
“Cinta saja nggak cukup membuat bahagia. Harus diimbangi dengan uang juga. Bersamanya kamu cuma mengandalkan cinta tapi kalian banting tulang cari uang. Sedangkan bersamaku, kamu nggak cuma dapat cinta. Tapi dapat uang juga. Dapat kekayaan. Apa kamu nggak mau hidup enak, Rik?”
Riki mendesah pelan. Ucapan Yura tak salah. Yura bisa memenuhi kebutuhannya. Bohong jika ia tak tergoda dengan kecantikan juga kekayaan milik Yura. Tapi, di sudut hatinya yang paling dalam, ia begitu mencintai Nira.
Nira memilihnya, di antara para pria tampan dan mapan yang mendekatinya kala itu. Nira memberikan keperawanannya pada Riki begitu saja, yang itu artinya Nira percaya padanya. Percaya bahwa ia bisa membahagiakan Nira.
“Kita tinggal di kota besar, Rik. Apa-apa butuh uang. Bukan cinta. Cinta bisa kamu dapatkan dengan mudah. Tapi uang? Kamu harus susah payah mendapatkannya. Kecuali kalau kamu memilihku. Aku bisa memberikan cinta yang lebih besar untukmu ketimbang istrimu itu. Aku bisa memberikan kamu pekerjaan yang enak. Di kantor, AC, bahkan punya sekretaris pribadi. Aku bisa memberikanmu servis yang memuaskan. Baik sebagai istri ataupun kembang di ranjang. Aku bisa melakukan apapun asal kamu mau bersamaku, Riki Sayang.”
Riki menatap Yura. Menatap ke dalam matanya yang teduh tapi menyimpan harapan besar.
Riki menghela napas panjang,” Aku tetap ingin hubungan kita berakhir, Yura.”
Yura menaikkan satu alisnya lalu berdiri, tersenyum pongah,” Oh. Rupanya yang kutawarkan nggak berhasil membuatmu tetap di sini. Baiklah. Kalau begitu, kembalikan semua yang telah ku berikan padamu. Semua. Satu rupiah pun harus kamu kembalikan utuh. Setelah lunas, barulah kamu bisa pergi dariku.”
Riki menelan ludah,” Apa?”
Yura duduk di pangkuan Riki dan membelai wajah tampan,” Aku bukan orang yang ikhlas, Sayang. Jujur, aku sakit hati karena penampilanku kali ini nggak bisa membuatmu bertahan denganku. Tapi, aku cukup salut dengan rasa cintamu yang besar pada istrimu itu. Entah seberapa cantik dia sampai membuatmu menolakku dan juga kekayaanku.”
“Jadi, kamu bisa pergi dan urusan kita berakhir setelah kamu mengembalikan semua uangku. Apapun yang pernah aku kasih ke kamu, kembalikan utuh. Aku masih punya data transfernya, Sayang. Dan selama kamu belum bisa mengembalikannya, kamu tetap harus bersamaku,” bisik Yura dengan mencium bibir Riki sekilas.
Riki menelan ludah.