Jodoh Jalur Orang Dalam

Jodoh Jalur Orang Dalam

Mendadak Nikah

“Hamil?!”

Suara pria paruh baya menggelegar di ruang tamu sepi, hampir tengah malam. Matanya melotot marah, menatap tajam ke arah perempuan muda yang tak lain adalah anaknya sendiri. Anak itu duduk, menundukkan kepalanya.

Tak ada jawaban. Perempuan paruh baya yang duduk bersebelahan dengannya juga menatap terkejut. Kabar ini sangat mengejutkan. Terutama datang dari putri sulungnya yang baru saja pulang dari tanah rantau sore tadi.

“JAWAB, NIRA!” Suara pria tersebut terdengar lebih keras dari sebelumnya. Napasnya terengah. Tangan menyentuh dada kirinya seolah menenangkan jantung yang berdebar cepat karena kabar yang dibawa anak gadisnya itu.

Nira mengangguk pelan. Sekali. Tapi dampaknya luar biasa. Mardi melangkah mendekati sang putri. Menarik perempuan yang masih tetap menunduk agar berdiri dan menampar kencang pipinya.

Wajah Nira tertoleh ke samping. Nira memejamkan mata. Merasakan perih yang teramat sangat di pipinya. Air mata mulai menetes, tapi dia masih belum berani mengangkat wajahnya.

Mardi balik badan. Tangannya mengepal. Tatapnya kosong ke arah dinding. Matanya memerah. Berusaha menahan emosi yang menguasai pikirannya.

Sinta hanya menunduk, diam. Tak berani bersuara saat keadaan kembali hening. Isakan lirih nan pelan terdengar dari bibir Nira. Tapi, Sinta tak berniat menenangkan. Perasaannya kacau.

“Anak dua nggak ada yang bisa banggain orang tua! Dua-duanya sudah bertindak di luar batas! Yang satu, menghamili anak orang. Dan yang satunya, dihamili orang. Apa kalian ingin mempercepat kematian kami, hah?!” Suara Mardi kembali mengudara.

Hatinya hancur. Hati orang tua yang gagal mendidik anak-anaknya hingga mereka semua melakukan hal yang jelas di larang agama. Berzina. Sampai hamil.

“Maafin aku, Pak, Bu.” Nira bersuara pelan.

Tengah malam. Suasana sunyi, jelas saja suara sepelan apapun akan terdengar.

Mardi membalikkan tubuhnya dan berjalan mendekati Nira.

“Angkat wajahmu!” Sebuah perintah tegas yang tak bisa dilawan Nira.

Perlahan, ia mengangkat wajahnya. Tapi tetap tak berani menatap wajah Bapaknya.

“Berapa usia kandunganmu?”

“En-enam, Pak.”

Martin mengusap wajah. Enam bulan?

“Kenapa baru sekarang kamu pulang dan kasih tahu kami? Kenapa nggak dari dulu? Atau … Kenapa sekalian saja sembunyikan kehamilanmu itu di rantau sana dan pulang-pulang bawa bayi?”

Nira terdiam. Ia tahu, dari suara Bapaknya, pria yang menjadi cinta pertamanya itu sangat kecewa padanya.

“Siapa namanya?”

“Riki.”

“Bilang padanya. Suruh datang ke sini, bawa keluarganya. Kalian akan segera menikah.”

Sinta berdiri dan menyuarakan protesnya. “Nggak bisa gitu dong, Pak. Harus ada lamaran dulu. Kalau tiba-tiba menikah, apa kata para tetangga dan orang-orang nantinya?”

Mardi menoleh. “Harusnya dia mikirin itu sebelum ngasih tahu kita kalau dia sudah hamil enam bulan,” tunjuknya pada Nira.

Mardi menghela napas panjang. Berat. “Tinggal tiga bulan lagi. Kalau pakai acara lamaran, dan lain sebagainya, Nira keburu lahiran sebelum menikah. Lebih fatal lagi akibatnya. Kita sudah malu, Bu. Sejak Tomi menghamili anak gadis orang, kita sudah menanggung malu. Dan sekarang… kita kembali harus menahan malu karena anak sulung kita. Harapan kita satu-satunya, melakukan hal yang sama. Hamil di luar nikah.”

Sinta tak bisa membantah. Ia kecewa. Tapi, semuanya sudah terlanjur terjadi. Disesali pun, tak kan guna. Nira telah hamil. Di luar nikah.

“Masuklah ke kamarmu, Nira. Segera kabari pria yang menghamilimu itu,” perintah Mardi.

Nira mengangguk dan berlalu pergi. Menuju kamarnya.

Sinta mendekat, mengelus lengan sang suami yang ia tahu memendam perasaan yang tak bisa ia jelaskan dan menahan emosi yang jika dilampiaskan, bisa saja membuat semuanya makin hancur dan kacau balau.

Setelah hanya ada mereka berdua di ruang yang lengang itu, Mardi terduduk lemas di sofa. Raut wajahnya jelas lelah. Banyak pikiran. Sinta ikut duduk di sebelah, masih mengelus lengan suaminya.

“Kita memang menginginkan dia untuk segera menikah. Tapi bukan begini caranya. Bukan dengan cara dihamili orang lain.”

Mardi berkata pelan. Nada suaranya terdengar sangat kecewa. Kembali ia melanjutkan,” Kita mengijinkan dia merantau demi pekerjaannya. Keinginannya. Tapi, apa yang dia bawa pulang? Dia membawa aib yang tak bisa kita tutupi. Dia membawa kita ke jurang malu yang tak berkesudahan.”

“Kalau saja waktu itu, aku tak mengijinkannya pergi, mungkin saja dia tak bertemu pria brengsek di sana sampai akhirnya dia hamil. Bapak nggak sangka dia…” Jeda sesaat. Mardi menarik napas pelan, dan kembali melanjutkan,” Anak yang kita banggakan, kita harapkan, justru meludahi kita tepat di wajah. Walau dibersihkan dengan air sebersih apapun, wajah kita sudah tercoreng. Wajah kita ikut kotor akibat perbuatan anak-anak kita.”

Sinta terisak pelan. Mengangguk setuju akan perkataan suaminya.

“Nasi telah menjadi bubur, Pak. Kita sudah tak bisa mengubah nasib. Jika memang tak ada lamaran, setidaknya kita mengadakan pesta pernikahan, Pak. Nira anak perempuan kita satu-satunya. Ibu ingin dia merasakan kebahagiaan. Ibu ingin melihatnya di pelaminan. Seperti harapan kita.”

Mardi menoleh. “Semua orang akan tahu kalau Nira tengah hamil jika kita mengadakan pesta.”

Sinta menggeleng. “Perut Nira belum kelihatan membuncit. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Aku akan carikan dia gaun pernikahan yang cukup besar untuk menutupinya. Jangan sampai orang-orang berpikir buruk karena pernikahan Nira yang dadakan.”

“Tanpa pesta pun, orang-orang juga tahu kalau Nira nikah karena hamil duluan. Dia sudah hamil enam bulan, Bu. Sedangkan dia belum menikah. Kita tinggal di kampung. Berita itu akan cepat menyebar ke seluruh pelosok kampung. Atau bahkan sampai luar kampung. Cepat atau lambat, semuanya akan tahu.”

“Makanya kita percepat semuanya, Pak. Ibu tetap pingin mengadakan hajatan untuk pernikahan Nira.”

Mardi menghela napas lalu berdiri. “Terserah. Ibu atur aja.” Setelah mengatakan kalimat itu, Mardi beranjak. Melangkah gontai, masuk ke dalam.

***

“Aku kira kamu perempuan alim, Kak. Tapi ternyata sama aja.”

Suara itu membuat Nira yang tengah duduk diam, menatap kosong sawah di bawah rumahnya, menoleh.

Tomi menyeringai. Duduk di sebelah sang kakak dan ikut menatap sawah yang ditanami padi yang mulai menguning. Suara cicitan burung pipit yang hinggap di biji padi itu terdengar pelan dan ramai saat suara orang yang menjaga padi-padi itu berteriak keras, mengusir para burung.

Rumah mereka memang berada di tepi sawah. Benar-benar definisi rumah mewah-mepet sawah alias dekat sawah. Hampir menempel, jika tak dipagari.

“Bapak dan Ibu sudah bilang ke kamu?” tanya Nira kembali menatap sawah. Matanya menangkap satu dua burung pipit yang mulai hinggap di batang padi, tapi tak berniat mengusirnya.

“Nggak perlu bilang, aku sudah tahu kok. Perutmu kelihatan.”

Tomi memantik api dan menyulut rokok. “Apa dia tampan? Atau mapan? Kok bisa kamu terkena bujuk rayu dan berakhir dengan perut membuncit seperti itu? Emang nggak pakai pengaman?”

Santai saja pertanyaan Tomi, adiknya Nira. Seolah percakapan itu tak membuat badai di dalam keluarganya.

“Diam kamu! Kamu sendiri, apa sudah mapan saat kamu menghamili anak gadis orang, hah?” Balas Nira menarik sudut bibirnya, tersenyum sinis.

“Takdir mungkin. Aku sudah memakai pengaman. Dia juga sudah mencoba menggugurkannya, tapi anak itu tetap bertahan.”

Tomi menelisik wajah kakaknya lalu tersenyum. “Diapakan sama Bapak semalam? Kayaknya mukamu, badanmu, semuanya baik-baik aja. Jangan bilang cuma dibentak doang terus selesai.”

Nira tersenyum. “Nggak mungkin Bapak memukulku walau kesalahan yang ku lakukan merusak kepercayaannya.”

Tomi mendengus. Mengepulkan asap rokok ke udara. “Wajar sih. Selain perempuan, kamu adalah anak yang selalu ia banggakan. Ia pamerkan ke semua orang. Anak satu-satunya di kampung ini yang berhasil sekolah sampai Universitas. Sekecewa apapun dia, Bapak pasti nggak akan menyakiti fisikmu.”

“Fitri mana?” Nira mengalihkan pembicaraan.

“Posyandu.”

Nira mengangguk. Ponselnya di atas meja berbunyi. Ada nama Riki tertera di layar. Nira menoleh pada Tomi, memberi kode mata agar adiknya itu pergi dari sana. Tomi menghela napas lalu bangkit berdiri. Meninggalkan Nira yang kini menerima panggilan dari sang kekasih.

“Halo, Sayang.”

“Iya. Kamu udah ngomong sama orang tua kamu?”

Nira mengangguk. Rupanya, dia semalam belum bicara dengan sang kekasih mengenai permintaan Bapaknya.

“Udah. Kamu diminta datang beserta keluargamu. Kita akan langsung menikah.”

“Apa?! Langsung menikah?”

“Iya. Sudah enam bulan, kalau kamu lupa, Rik. Nggak ada waktu lagi.”

“Tapi… Bagaimana aku bisa ke sana bersama keluargaku? Jarak rumah kita jauh. Untuk ke sana, aku membutuhkan biaya yang nggak sedikit. Ditambah lagi dengan bawa keluarga.”

Nira menghela napas. “Ya sudah. Urus saja semuanya. Untuk biaya, aku yang akan membayarnya.”

“Nah… Kalau gitu, baru bisa. Aku akan segera mengurus semuanya dan datang ke sana. Kita akan segera menikah. Impian kita berdua akan segera terwujud, Sayang. Aku bahagia banget. Tunggu aku ya. Aku pasti datang.”

Nira mengangguk lagi walau Riki tak melihatnya.

“Ya sudah, Sayang. Aku harus segera berangkat kerja. Nanti kalau upahku sudah dibayar, aku akan mengganti semua uangmu. Ya?”

“Ya. Hati-hati, Sayang.”

“Iya, Sayang. Jaga diri kamu dan anak kita ya.”

Nira mengangguk lalu memutus sambungan. Meletakkan ponsel di atas meja, ia kembali memandangi sawah di bawah pagar rumahnya yang cukup tinggi. Fisiknya di sana, tapi pikirannya di tempat lain.

Hatinya sedikit ragu, tapi tak ada pilihan lain. Lebih tepatnya ia tak punya pilihan selain menikah dengan Riki, pria yang ia kenal satu tahun lalu sekaligus pria yang menghamilinya.

Episodes
1 Mendadak Nikah
2 Rasa Kopi yang Sama
3 Bapak Memaafkanmu
4 Mereka Sama Buruknya
5 Membuatnya Puas Denganku
6 Canggung
7 Hubungan Terlarang
8 Jangan Membuat Gosip
9 Yang Kemarin Saja Belum Dibayar
10 Mau Tak Mau, Harus Percaya
11 Ku Anggap Hutang
12 Sisi Lain Riki
13 Perandaian yang Tak Berguna
14 Aku Benci Tubuhku Sendiri
15 Jangan Campuri Urusanku
16 Rasa yang Mati
17 Tangisan Bahagia
18 Selingkuh dibalas Selingkuh
19 Dia Pria yang Baik
20 Punya Incaran Baru
21 Kembali Kasar
22 Bermain Api
23 Jodoh dari Tuhan
24 Tawaran Menggiurkan
25 Aku Ingin Cerai, Pak
26 Pondasi yang Salah
27 Siapa Dia
28 Kepergok
29 Satu Kesempatan
30 Selesaikan Masalah Itu Segera
31 Godaan si Penggoda
32 Ingin Memperbaiki Semuanya
33 Wejangan Orang Tua
34 Yang Lalu Biarlah Berlalu
35 Hanya Untuk Bersenang-Senang
36 Aku Istrimu, Dia Selingkuhanmu
37 Dilema Tomi
38 Bertolak Belakang
39 Kerepotan
40 Pilihan Sulit
41 Permintaan Tak Terduga
42 Pilihan Nira
43 Hampa
44 Pertemuan Terakhir
45 Tak Ingin Menambah Beban
46 Tak Terjadi
47 Satu Tahun Kemudian
48 Kembali Bertemu
49 Sayang, Hanya Satu Pukulan
50 Merasa Gagal
51 Jangan Lakukan Ini
52 Sikap Pengecut
53 Kembali LDR
54 Status Tidak Jelas
55 Bertahan Sendirian
56 Penyakit yang Kambuh
57 Segera Urus Suratnya!
58 Rencana Kejutan
59 Mengaku Istri
Episodes

Updated 59 Episodes

1
Mendadak Nikah
2
Rasa Kopi yang Sama
3
Bapak Memaafkanmu
4
Mereka Sama Buruknya
5
Membuatnya Puas Denganku
6
Canggung
7
Hubungan Terlarang
8
Jangan Membuat Gosip
9
Yang Kemarin Saja Belum Dibayar
10
Mau Tak Mau, Harus Percaya
11
Ku Anggap Hutang
12
Sisi Lain Riki
13
Perandaian yang Tak Berguna
14
Aku Benci Tubuhku Sendiri
15
Jangan Campuri Urusanku
16
Rasa yang Mati
17
Tangisan Bahagia
18
Selingkuh dibalas Selingkuh
19
Dia Pria yang Baik
20
Punya Incaran Baru
21
Kembali Kasar
22
Bermain Api
23
Jodoh dari Tuhan
24
Tawaran Menggiurkan
25
Aku Ingin Cerai, Pak
26
Pondasi yang Salah
27
Siapa Dia
28
Kepergok
29
Satu Kesempatan
30
Selesaikan Masalah Itu Segera
31
Godaan si Penggoda
32
Ingin Memperbaiki Semuanya
33
Wejangan Orang Tua
34
Yang Lalu Biarlah Berlalu
35
Hanya Untuk Bersenang-Senang
36
Aku Istrimu, Dia Selingkuhanmu
37
Dilema Tomi
38
Bertolak Belakang
39
Kerepotan
40
Pilihan Sulit
41
Permintaan Tak Terduga
42
Pilihan Nira
43
Hampa
44
Pertemuan Terakhir
45
Tak Ingin Menambah Beban
46
Tak Terjadi
47
Satu Tahun Kemudian
48
Kembali Bertemu
49
Sayang, Hanya Satu Pukulan
50
Merasa Gagal
51
Jangan Lakukan Ini
52
Sikap Pengecut
53
Kembali LDR
54
Status Tidak Jelas
55
Bertahan Sendirian
56
Penyakit yang Kambuh
57
Segera Urus Suratnya!
58
Rencana Kejutan
59
Mengaku Istri

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!