‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31 : Ternyata cuma sandiwara
"Sejak kapan aku jatuh hati pada gadis tak pintar merawat diri itu, Nafiya?” Wisnu menarik bokong sang kekasih agar menempel erat dengan sesuatu yang sudah menegang.
Desahan lirih pun terdengar menjijikan bagi kedua telinga Dahayu. Dia seperti kehilangan tenaga untuk sekedar berdiri saja tak kuasa.
“Ya, habisnya aku pernah lihat interaksi Mas Wisnu begitu dekat dengannya, diri ini kan jadi cemburu,” suara bisikan Nafiya kalah kuat oleh deru napasnya.
“Kalau tidak seperti itu, kau tetap abai ‘kan? Enggan ku dekati.”
Nafiya terkikik, mengangguk membenarkan perkataan kekasihnya.
“Kau tahu, Sayang? Sebetulnya aku jijik terlalu dekat dengannya, apalagi sampai menghirup aroma masam bau keringatnya, menatap geli pada bulatan seperti panu yang terkadang menghiasi pipinya. Dahayu benar-benar gadis paling jelek yang pernah ku dekati,” rautnya seperti seseorang menahan mual.
“Aku suka kala mulutmu ini menghinanya, Mas. Kenyataannya dia memang seperti itu!” Nafiya menggigit manja bibir bawah pria nya.
Dayu sudah tidak tahan lagi, hatinya kian perih. Harga dirinya diinjak-injak sedemikian sadis, perasaannya dibuat mainan. Dengan sisa-sisa tenaga berusaha berdiri, kedua tangan menekan lutut.
Tubuhnya bergetar sama seperti hatinya terguncang hebat, kenyataan ini sungguh menyakitkan sekaligus menyadarkan dirinya – kalau ia cinta sendirian. ‘Semua perhatianmu selama ini ternyata cuma sandiwara, tak ku sangka kau lebih menjijikan daripada seekor Lalat yang suka mengerubungi sampah!’
Dahayu terperanjat, hampir saja dia berteriak saat berbalik ternyata ada sosok berdiri kokoh, memperhatikannya dalam diam, dibawah cahaya remang-remang.
Amran Tabariq melepaskan jaket parasut yang dia kenakan, dan juga topinya. Tanpa sepatah katapun, mengenakan benda itu di tubuh sang istri, lalu menuntun sedikit menarik kasar tangan Dahayu, dia melangkah lebar ke arah depan, menghindari sepasang manusia tidak bermoral.
Wanita yang jemarinya digenggam erat, memilih diam seribu bahasa. Wajahnya tertunduk dalam, buliran bening masih berguguran. ‘Dua pria, dan keduanya sama-sama memberikan luka. Yang pertama terjadi saat umurku masih terlalu dini, dia yang seharusnya melindungi malah menelantarkan diriku dan Ibuk.’
‘Lalu yang kedua – aku telah dewasa, dan dengan kesadaran penuh melabuhkan hatiku kepadanya. Apa yang kudapat selain rasa sakit, tak ada. Semua sama-sama menikam hatiku menggunakan belati,’ ia seperti seseorang kehilangan semangat.
Amran membuka pintu bagian penumpang mobil double cabin, mendorong punggung sang istri agar masuk dan duduk diujung, lalu dirinya sendiri pun melakukan hal sama.
Dalam diam, Randu menjalankan mobilnya, melewati rumah yang mengadakan hajatan.
‘Rasanya perutku bertambah bengkak kalau dibuat menahan napas terus,’ Bondan menghirup sangat pelan oksigen didalam mobil, seolah takut kena azab bila terdengar deru napasnya.
Semburat merah jingga digantikan oleh mendung, langit pun enggan menampilkan lukisan taburan pendar gugusan cahaya, ribuan bintang memilih bersembunyi dibalik awan kelabu.
Suara sedu sedan Dahayu terdengar pilu, wajahnya menatap lekat pemandangan pohon sawit yang dilalui mobil. Ribuan Kunang-Kunang tak lagi menarik mata, semua terasa hambar kala hatinya tengah terluka.
Pun saat kilat halilintar menyerupai pohon bercabang sedang menyapa langit, tangis Dahayu semakin kencang.
Hiks hiks hiks.
Wanita penuh lara itu memukul dada. Kilas balik sepenggal kenangan masih tersimpan dalam sanubari kini kembali menyeruak.
Putrinya bu Warni memiliki trauma akan petir dan kilat halilintar. Sewaktu umurnya 12 tahun, dia pernah menembus hujan demi mencari pertolongan kala penyakit ibunya kambuh. Kala itu tengah malam, dan keluarga Nelli sedang keluar kota, sehingga dirinya hanya berdua dengan sang ibu.
Dahayu terjatuh di jalanan berkerikil, lutut tergores, bibir membiru, dan telapak tangan berdarah. Gadis kecil bertubuh kurus itu mengetuk pintu rumah tetangga, tapi sudah 4 hunian yang tidak sudi menanggapi serta memberikan pertolongan.
Sehingga dia kembali lagi, dan mencoba sebisa mungkin menolong ibunya yang kejang-kejang. Tangan terkepal, kaki mengangkang terangkat tinggi, dan mata melotot. Dayu ketakutan, tapi sekuat tenaga melawannya – tak lama kemudian, bu Warni sudah sadar dan tertidur.
Namun, keningnya bengkak dikarenakan sewaktu kambuh dia terjatuh dari tempat tidur, dan wajahnya menghantam lantai semen. Dahayu pergi ke dapur, mengisi baskom dengan air hangat, lalu mengompres dahi sang ibu menggunakan handuk bekas.
Kenangan buruk itu masih membekas dan meninggalkan rasa trauma. Sampai pada kejadian nyaris serupa saat umurnya sudah genap 18 tahun, dan baru saja menjadi pekerja lepas perkebunan – Dahayu seorang diri ditengah hujan badai. Dia berlindung dibawah pohon sawit tinggi dengan badan menggigil serta tangan menutup kedua telinga.
Entah darimana datangnya, tiba-tiba Wisnu Syahputra mengelus pucuk kepalanya yang tertutup topi basah, menemani tanpa bersuara. Dia ada disaat Dahayu ketakutan, dari sanalah awal timbul rasa di dada.
Semenjak itu, interaksi Dayu dan Wisnu terlihat lebih akrab. Tutur kata manis pria itu mampu menyirami hati yang gersang. Perhatian kecilnya terasa tulus, dan dorongan semangatnya mampu membuat Dahayu merasa seperti sosok berarti, bukan dibuang.
***
Amran menyelipkan tangannya di bawah paha sang istri, lalu mengangkat tubuh yang bobotnya terbilang ringan. Dipangkunya Dahayu, dan dipeluk erat.
Mobil telah sampai di belakang rumah sakit perkebunan – dimana terdapat helikopter terparkir.
Randu bergegas turun, berlari dibawah cuaca yang hendak hujan. Dia mengetuk bangunan khusus pilot perkebunan PT Tabariq.
Memiliki ribuan hektar kebun sawit dan karet – tentu pula harus punya kendaraan canggih darat dan udara, agar dapat memantau, dan bergerak gesit kala ada masalah, seperti kebakaran lahan, ataupun penghuni villa bukit tiba-tiba sakit keras.
Bondan menoleh menatap segan sang atasan, dia mengangguk yang dibalas hal serupa.
Randu datang membukakan pintu mobil bagian penumpang.
Pria memiliki dua istri itu, tanpa terlihat kesulitan membopong Dahayu yang wajahnya tersembunyi di ceruk lehernya.
Berjalan menuju helikopter jenis Bell 429 berwarna putih dengan kapasitas empat orang penumpang, termasuk pilot dan co-pilot nya.
“Kita mau kemana?” tanya Dahayu dengan suara serak, dia duduk kaku di jok.
“Tak usah banyak tanya dan memikirkan apapun, termasuk Ibuk! Tenangkan saja hatimu, agar tak lagi seperti orang kerasukan Setan cuma dikarenakan sosok sampah itu!” Tangannya membenarkan sabuk pengaman di tubuh sang istri, suaranya terdengar rendah saat amarah terpendam.
Bak dihipnotis, Dahayu langsung terdiam. Enggan memperhatikan sekitar, dan kembali tenggelam dalam kesedihan.
Amran duduk disamping istrinya, saat ditanya oleh sang pilot – apa sudah siap mengudara, dia hanya menjawab dengan acungan jari jempol.
Alat transportasi canggih itu mulai terbang, meninggalkan daratan dan berbalik arah menuju suatu tempat yang belum pernah Dahayu kunjungi.
Bisa dibilang semalam 22 tahun lebih, wanita tengah patah hati itu terkurung di area perkebunan, merawat ibunya, berjuang mencari nafkah.
Lima puluh menit kemudian.
“Amran, kita dimana sekarang?” ada getar takut pada manik basahnya.
.
.
Bersambung.
amran kamu harus tegas dan masira ceraikan saja dia, karena dia hendak mencelakai anakmu.
Kamu harus berjuang lebih keras lagi untuk meraih hati dahayu
perjuangan Amran akan semakin lama untuk meraih dahayu,,,
kasih pelajaran yg banyak buat si masira-masira itu Amran