"Jangan pernah berharap ada cinta dalam hubungan ini, Ndu." - Wisnu Baskara Kusuma.
"Aku bahkan tidak berharap hubungan ini ada, Mas Wisnu." - Sewindu Rayuan Asmaraloka.
*****
Sewindu hanya ingin mengejar mimpinya dengan berkuliah di perantauan. Namun, keputusannya itu ternyata menggiringnya pada garis rumit yang tidak pernah dia sangka akan terjadi secepat ini.
Di sisi lain, Wisnu lelah dengan topik pernikahan yang selalu orang tuanya ungkit sejak masa kelulusannya. Meski dia sudah memiliki kekasih, hubungan mereka juga masih tak tentu arah. Belum lagi Wisnu yang masih sibuk dengan masa dokter residen di tahun pertama.
Takdir yang tak terduga mempertemukan kedua anak manusia ini dalam satu ikatan perjodohan.
Pernikahan untuk menjemput ketenangan hidup masing-masing. Tanpa cinta. Hanya janji bahwa hati mereka tak akan ikut terlibat.
Akankah perjanjian yang mereka buat dalam pernikahan ini dapat ditepati? Atau malah membawa mereka jatuh ke dalam perasaan masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amerta Nayanika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketahuan?
Nanti, jangan sampai depan rumah ya jemputnya. Aku tunggu di depan gang.
Itu adalah pesan yang Wisnu terima dari Dara beberapa saat yang lalu. Tepatnya, saat dia masih berada di tengah kemacetan setelah mengantar Sewindu.
Seperti janjinya pada Dara saat mereka bertemu beberapa waktu yang lalu. Sejak hari itu, dia selalu mengantar jemput Dara setiap harinya.
Wisnu bahkan tidak pernah menyantap masakan Sewindu sejak saat itu. Sementara, setiap siang dia akan lebih sering bersama Raka di luar, mempersiapkan berbagai hal untuk masa residen nanti.
Pria itu tersenyum saat mendapati Dara yang berdiri di depan gang rumahnya. Wanita itu menunduk dengan ponsel di tangannya.
Begitu mobil Wisnu berhenti di depannya, Dara langsung masuk begitu saja. “Macet?” tanyanya.
“Hah?” Senyuman Wisnu luntur saat mendengar pertanyaan Dara.
Wanita itu akhirnya menyimpan ponselnya. Dia ikut memandang pada Wisnu yang kini menoleh padanya.
“Aku tanya, kamu kena macet?” ulangnya.
Wisnu menggeleng, dia kembali melajukan mobilnya setelah Dara memasang seat belt dengan benar. Kembali fokus pada jalanan di depannya.
Sorot mata Dara barusan, ada sebuah emosi yang tersimpan di sana. Begitulah, jika Wisnu tak salah menangkapnya.
“Maaf,” katanya tiba-tiba.
Dara kembali menoleh pada Wisnu yang mengemudi di sampingnya. “Kenapa minta maaf?”
“Aku telat ya jemputnya?” timpal Wisnu dengan pertanyaan lain.
Wanita itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Nggak kok, masih kayak biasanya.”
“Kamu minta maaf, karena kamu ngerasa telat jemput?” lanjut Dara.
Wisnu sontak mengangguk. dia merasa Dara marah karena dia telat menjemput pagi ini.
Melihat itu, Dara akhirnya kembali dengan senyuman manis di wajah cantiknya. Tangannya terangkat, mengusap rambut Wisnu yang tampak lebih berantakan hari ini.
Setitik marah di balik matanya tadi luntur perlahan. Mungkin sisa-sisa perdebatannya dengan Umma, tentang pernikahan yang tak kunjung reda.
“Nggak kok, aku juga baru keluar tadi,” katanya sambil tertawa kecil.
Wanita itu kembali menjauhkan tangannya. Dia tampak celingukan, memandangi tubuh Wisnu setelahnya.
“Kenapa, Sayang? Ada yang salah sama baju aku?” tanya pria itu kebingungan.
Dara menggeleng. “Kamu ganti parfum? Ini lebih lembut dari biasanya.”
Wisnu terdiam sejenak. Dia bahkan tidak sempat melirik cermin setelah mandi tadi, apalagi menyemprotkan parfum ke tubuhnya.
Maka, tak lain aroma itu adalah jejak Sewindu yang tertinggal.
“Lebih enak yang ini daripada yang biasanya,” lanjut Dara terkesan.
Aroma itu memang lebih sopan masuk ke dalam hidungnya. Tidak seperti parfum Wisnu biasanya yang cukup menusuk indera penciumannya.
“Aku nggak pakai parfum hari ini, kayaknya bau sabunku.”
Dara manggut-manggut setelahnya. Wanita itu kembali menghadap lurus ke depan.
Namun, satu hal yang membuat pergerakannya tertunda. “Kamu habis minum susu?” tanyanya.
Wanita itu menoleh ke kursi belakang. Ada sebuah kotak susu kosong di sana. Ujung sedotannya tampak pipih karena sering digigit — persis seperti kebiasaan Wisnu.
Sementara, pria itu mengatupkan rahangnya kesal saat melihat itu. Tentu itu kotak susu kosong itu bukan miliknya. Kelakuan Sewindu memang sangat tidak bisa ditebak.
“Iya, tadi nggak sempat sarapan.”
Nada suaranya datar. Wajar saja, karena kini dia tengah menahan kesal pada Sewindu yang tidak ada di sana.
...****************...
“Aku nggak belajar dulu lah, hari ini!”
Wisnu melemparkan kunci mobilnya ke atas kasur milik Raka. Pria itu langsung merebahkan dirinya di atas karpet kamar.
Sementara, si pemilik kamar hanya menggeleng. “Kenapa? Berantem sama Dara lagi kamu?”
“Heh!” Wisnu sontak bangkit, “Jaga mulutmu! Jangan ngomong macem-macem!”
Ucapan adalah doa. Itu yang dikatakan Bunda padanya dan akan selalu dia ingat sampai detik ini.
Tatapannya kini tertuju pada dinding kamar Raka yang dibiarkan putih polos. Entah apa yang ada dalam kepalanya saat ini.
“Memangnya, aku kelihatan kayak orang tua banget, Ka?” tanyanya tiba-tiba.
Pria yang sebelumnya tenggelam dalam buku materi obstetri itu akhirnya menoleh. Dia menutup buku tebal di hadapannya.
“Nggak. Kayak manusia umur 25 tahun pada umumnya aja.”
Kemudian, Raka beranjak dari kursi belajarnya. Diperhatikannya wajah Wisnu dari atas.
“Ganteng juga kamu kalau dilihat-lihat. Pantes, Dara kepincut sama kamu,” lanjutnya.
Decak pelan terdengar dari Wisnu. “Nggak usah bawa-bawa Dara.”
“Memangnya, siapa yang bilang kamu kayak orang tua?” tanya Raka seraya duduk di samping kawannya.
Wisnu memalingkan wajahnya. Dia memikirkan bagaimana cara menyamarkan Sewindu dari percakapan ini.
Sementara, Raka masih terus memandanginya dari jarak yang cukup dekat. Menunggu jawaban dari mulutnya yang masih tertutup rapat.
“Maba,” jawab Wisnu singkat. Memang benar bukan? Sewindu juga seorang mahasiswa baru.
Mata Raka melebar heran. “Maba?” beonya.
Wisnu menoleh, tatapannya bertemu dengan pandangan heran di sana. Kepalanya mengangguk patah-patah.
Dia kembali merebahkan tubuhnya. Matanya terpejam bersama bias matahari pagi yang menyentuh lembut wajahnya dari balik kaca jendela kamar Raka.
“Maba ISI, Nu?” tanya Raka tiba-tiba.
Wisnu sontak kembali membuka matanya. Dia mendelik tajam pada Raka yang masih duduk di sampingnya.
Sementara yang ditatap, tersenyum simpul. “Aku tadi juga dari sana. Adikku kan maba di sana juga.”
Wisnu terperangah, tak lagi bisa berkata-kata. Sepertinya dia tertangkap basah oleh Raka hari ini.
“Aku lihat cewek keluar dari mobilmu,” lanjutnya dengan senyuman penuh arti.
“Kamu lihat jelas?” tanya Wisnu. Matanya masih mendelik pada kawannya.
Anggukan Raka menjadi jawaban mantap di matanya. Dia tampaknya cukup yakin dengan apa yang dia lihat di depan mobilnya tadi pagi.
“Manis, Nu. Nggak mau kamu kenalin ke aku? Siapa tahu cocok.”
“Hah?” Wisnu semakin terperangah dibuatnya. “Kenalin?”
Raka lagi-lagi mengangguk. “Bukannya itu adik sepupumu? Nanti kita bisa jadi sepupu ipar kalau jadi!”
“Sepupu?” beo Wisnu di tengah gelagapannya. Tebakan Raka tadi terlalu tepat dan tiba-tiba, Wisnu belum siap mendengarnya
Raka kini yang lebih terkejut. Pria yang duduk di samping Wisnu itu memundurkan kepalanya heran.
“Kalau bukan adik sepupu, terus apa?” tanyanya memperjelas.
Wisnu meneguk salivanya bulat-bulat. Bingung harus menjawab apa.
Lalu, dia tertawa hambar. Matanya kembali terpejam santai, menutupi gugup yang bersarang di sorot matanya.
“Iya adik sepupuku,” sahutnya setelah kebingungan panjang di antara mereka.
Sebuah tepukan tangan terdengar sekali dari Raka. “Nah! Mumpung aku baru putus, Nu. Kenalin adikmu itu sama aku aja.”
“Nggak bisa,” sahut Wisnu cepat, “Dia udah punya pasangan.”
Situasinya sekarang memang seperti itu. Sewindu sudah punya Wisnu sebagai suami. Walaupun mungkin hati mereka tidak saling bertaut satu sama lain.
Entahlah, Wisnu tidak mau jika Sewindu mengikuti jejaknya dalam status palsu mereka ini.
Getar ponsel dalam sakunya, membuat Wisnu mau tak mau harus kembali bangkit dari rebahnya. Sebuah panggilan masuk dengan nama Romo tertera di sana.
"Aku ke luar dulu," pamitnya pada Raka.