Wei Lin Hua, seorang assassin mematikan di dunia modern, mendapati dirinya terlempar ke masa lalu, tepatnya ke Dinasti Zhou yang penuh intrik dan peperangan. Ironisnya, ia bereinkarnasi sebagai seorang bayi perempuan yang baru lahir, terbaring lemah di tengah keluarga miskin yang tinggal di desa terpencil. Kehidupan barunya jauh dari kemewahan dan teknologi canggih yang dulu ia nikmati. Keluarga barunya berjuang keras untuk bertahan hidup di tengah kemiskinan yang mencekik, diperparah dengan keserakahan pemimpin wilayah yang tak peduli pada penderitaan rakyatnya. Keterbelakangan ekonomi dan kurangnya sumber daya membuat setiap hari menjadi perjuangan untuk sekadar mengisi perut. Lahir di keluarga yang kekurangan gizi dan tumbuh dalam lingkungan yang keras, Wei Lin Hua yang baru (meski ingatannya masih utuh) justru menemukan kehangatan dan kasih sayang yang tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
Pangeran Han Yuan, yang sedari tadi hanya diam mengamati, tiba-tiba berdeham pelan. "Nona," sapa Pangeran Kedua dengan suara baritonnya yang khas, membuat seluruh perhatian tertuju padanya. "Jika kau dihadapkan pada pilihan antara menyelamatkan rakyat dari kelaparan atau melindungi harta kerajaan, mana yang akan kau pilih?"
Pertanyaan itu bagaikan sambaran petir di tengah siang bolong. Para wanita lain yang sebelumnya berusaha menampilkan diri sebaik mungkin, kini menegang dan menahan napas. Pertanyaan itu terlalu sulit, terlalu berisiko. Salah menjawab, reputasi mereka bisa hancur dalam sekejap.
Wanita bergaun linen itu terdiam sejenak, berpikir keras. Lin Hua semakin tertarik. Ia bisa merasakan aura ketegasan dan kecerdasan yang terpancar dari wanita itu.
"Yang Mulia Pangeran," jawab wanita itu dengan tenang, "Harta kerajaan bisa dicari, tetapi nyawa rakyat tidak bisa diganti. Jika saya dihadapkan pada pilihan itu, saya akan memilih menyelamatkan rakyat dari kelaparan, meskipun itu berarti mengorbankan harta kerajaan."
Aula terdiam sunyi. Jawaban itu terlalu berani, terlalu revolusioner. Seorang wanita bangsawan seharusnya menjunjung tinggi kehormatan dan kekayaan kerajaan di atas segalanya. Namun, di mata Lin Hua, jawaban itu justru menunjukkan ketegasan dan keberanian seorang pemimpin.
Raja Chen Murong menyunggingkan senyum misterius. Ia menatap Lin Hua dengan tatapan yang sulit diartikan. Seolah ia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh wanita itu.
Putra Mahkota, yang sedari tadi hanya mengamati, akhirnya angkat bicara. "Nona, jawabanmu sungguh menarik. Namun, apakah kau yakin bahwa keputusan itu tidak akan membawa dampak buruk bagi kerajaan?"
Wanita itu mengangkat dagunya, menatap Putra Mahkota dengan tatapan yang berani. "Yang Mulia, setiap keputusan pasti memiliki risiko. Namun, sebagai seorang pemimpin, kita harus berani mengambil risiko demi kepentingan rakyat banyak."
Lin Hua tersenyum lebar. Ia sudah memutuskan. Wanita inilah yang pantas menjadi putri mahkota.
'Dia punya hati, punya otak, dan punya keberanian. Kombinasi yang sempurna,' pikir Lin Hua puas.
Di tengah keheningan yang menggantung, Raja Chen Murong tiba-tiba membisikkan sesuatu ke telinga Lin Hua, "Berhati-hatilah dengan pikiranmu, Nona Wei."
Lin Hua menoleh, mengangkat sebelah alisnya dengan tatapan bertanya. Cahaya lilin menari-nari di wajahnya, menyoroti tato merah yang misterius.
"Sebenarnya, yang sedari tadi diperhatikan oleh Putra Mahkota Han Xuan adalah kau," lanjut Raja Chen Murong, suaranya nyaris tak terdengar.
Lin Hua, yang tengah menikmati tegukan arak dari cawan porselennya, langsung tersedak. "Ukhuk... Ukhuk..." Arak itu terasa pahit dan membakar kerongkongannya.
Seketika, perhatian seluruh ruangan terarah padanya. Para wanita muda yang sebelumnya berusaha menampilkan diri dengan anggun, kini menatapnya dengan tatapan iri dan penasaran.
"Apa? Itu tidak mungkin," jawab Lin Hua, suaranya tercekat. Ia menatap Raja Chen Murong dengan tatapan tidak percaya.
"Ada apa, Nona Wei? Apakah kau baik-baik saja?" Suara Putra Mahkota Han Xuan terdengar, memecah keheningan. Nada suaranya terdengar khawatir, namun Lin Hua tidak bisa membaca ekspresi di wajahnya.
Lin Hua menoleh, menatap Putra Mahkota dengan tatapan datar. "Tidak apa-apa, Yang Mulia," jawabnya singkat, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
Tiba-tiba, sebuah keajaiban terjadi. Putra Mahkota Han Xuan, yang selama ini dikenal dingin dan tanpa ekspresi, kini terlihat tersenyum pada Lin Hua. Senyum itu begitu tipis, nyaris tak terlihat, namun cukup untuk membuat para calon putri mahkota menundukkan pandangan mereka, tidak berani menatap langsung ke arah Putra Mahkota yang tersenyum. Suasana di aula terasa semakin tegang dan tidak nyaman.
Jantung Lin Hua berdegup kencang. Ia merasa seperti seekor rusa yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian para pemburu. Tatapan Putra Mahkota terasa seperti pisau yang menguliti setiap lapisan pertahanannya.
'Sial,' umpat Lin Hua dalam hati. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian, apalagi jika perhatian itu datang dari seorang Putra Mahkota yang misterius dan berbahaya.
"Mungkin Nona Wei merasa tidak nyaman dengan suasana di sini," ujar Putra Mahkota, masih dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya. "Jika Nona Wei berkenan, saya bisa menemani Nona Wei keluar untuk menghirup udara segar."
Ajakan itu bagaikan jebakan yang dilapisi madu. Lin Hua tahu bahwa jika ia menerima ajakan itu, ia akan semakin terperosok ke dalam masalah yang lebih besar. Namun, menolak ajakan Putra Mahkota secara terang-terangan juga bukan pilihan yang bijak.
Lin Hua berpikir cepat. Ia harus mencari cara untuk keluar dari situasi ini tanpa menyinggung Putra Mahkota.
"Terima kasih atas tawaran Yang Mulia," jawab Lin Hua dengan nada sopan, "Namun, saya merasa baik-baik saja. Mungkin hanya sedikit kelelahan karena perjalanan jauh."
Putra Mahkota menatap Lin Hua dengan tatapan yang sulit diartikan. Lin Hua bisa merasakan tekanan yang begitu besar, seolah ia sedang diinterogasi oleh seorang interogator yang handal.
"Jika itu yang Nona Wei inginkan," ujar Putra Mahkota akhirnya, "Saya tidak akan memaksa. Namun, jika Nona Wei berubah pikiran, jangan sungkan untuk memberitahu saya."
Putra Mahkota mengalihkan pandangannya dari Lin Hua, dan kembali menatap para calon putri mahkota. Suasana di aula kembali normal, namun Lin Hua tahu bahwa ia tidak bisa bersantai. Ia harus tetap waspada dan berhati-hati dengan setiap langkah yang diambilnya.
Raja Chen Murong terkekeh pelan. "Kau memang selalu menarik perhatian, Nona Wei," bisiknya, membuat Lin Hua semakin kesal.
'Diamlah,' balas Lin Hua dalam hati, 'Kau yang membuatku berada dalam situasi ini.'
Acara pemilihan calon putri mahkota dilanjutkan, namun pikiran Lin Hua sudah melayang entah ke mana. Ia tidak bisa fokus pada para wanita muda yang berusaha memikat hati Putra Mahkota. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan dan kekhawatiran.
'Kenapa Putra Mahkota memperhatikanku? Apa yang dia inginkan? Apa yang harus kulakukan?'
Lin Hua melirik Raja Chen Murong, berharap pria itu bisa memberikan petunjuk atau jawaban. Namun, Raja Chen Murong hanya tersenyum misterius, seolah menikmati kebingungan Lin Hua.
'Sialan kau, Chen Murong,' umpat Lin Hua dalam hati.
Pangeran Han Yuan, yang duduk di samping Lin Hua, menyadari kegelisahan wanita itu. Ia mendekatkan wajahnya ke telinga Lin Hua dan berbisik, "Jangan khawatir, aku akan melindungimu."
Bisikan itu membuat Lin Hua terkejut. Ia menoleh ke arah Pangeran Han Yuan, menatapnya dengan tatapan bertanya.
"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan," lanjut Pangeran Han Yuan, "Putra Mahkota memang berbahaya, tapi aku tidak akan membiarkannya menyakitimu."
Lin Hua terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak menyangka bahwa Pangeran Han Yuan akan menawarkan perlindungan kepadanya.
'Kenapa dia melakukan ini?'
"Aku tidak membutuhkan perlindunganmu," jawab Lin Hua akhirnya, dengan nada dingin. "Aku bisa melindungi diriku sendiri."
Pangeran Han Yuan tersenyum tipis. "Aku tahu kau kuat, Lin Hua. Tapi, kadang-kadang, kita semua membutuhkan bantuan orang lain."
Lin Hua mendengus. Ia tidak suka berutang budi kepada siapa pun, apalagi kepada seorang pangeran.
Acara pemilihan calon putri mahkota akhirnya selesai. Putra Mahkota memilih wanita bergaun linen sebagai calon putri mahkota. Keputusan itu disambut dengan tepuk tangan meriah dari para hadirin.
Lin Hua merasa lega. Ia senang bahwa acara ini akhirnya berakhir. Ia ingin segera keluar dari istana yang penuh dengan intrik dan bahaya ini.
Namun, sebelum ia bisa pergi, Putra Mahkota menghampirinya. "Nona Wei," sapa Putra Mahkota dengan senyum yang menawan, "Saya harap kita bisa bertemu lagi di lain waktu."
Lin Hua menatap Putra Mahkota dengan tatapan datar. "Saya tidak yakin akan hal itu, Yang Mulia," jawabnya singkat, lalu berbalik dan pergi meninggalkan aula.