NovelToon NovelToon
Aku Yang Untukmu

Aku Yang Untukmu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Teen Angst / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Angst / Pihak Ketiga
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: jewu nuna

Dari sekian banyak yang hadir dalam hidupmu, apa aku yang paling mundah untuk kau buang? Dari sekian banyak yang datang, apa aku yang paling tidak bisa jadi milikmu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

AYU 15

Abiyan, manusia yang satu satunya gue bukakan pintu setelah yang lain justru hanya sampai pada Bunda. Dua hari? Sudah dua hari gue ngga berangkat sekolah dengan alasan sakit. Padahal aslinya gue baik baik aja, engga buat setelah dimana gue lihat Gibran dan Laras di bazar. Dan setelah tahu dari Kara kalau pria itu sudah kembali bergabung ke sekolah.

Sampai detik ini, gue masih betah dengan data ponsel yang mati. Demi menghindari Gibran dan betah ngga betah gue harus betah. Walau gue tau dia nyariin gue sekalipun, dia datang sebelum Abiyan ada disini.

Pria itu kecewa, gue lihat raut wajahnya kacau setelah gue minta Bunda buat usir dia, lewat kamar Jihan.

"Udah minum obatnya?"

Gue menoleh saat pria itu menyerahkan sepiring apel yang sudah dikupas dan di potong.

"Kalau ada masalah ya diselesein, jangan menghindar"

Abiyan, pria yang sampai detik ini selalu mengerti tanpa harus gue bilang. Dia satu satunya orang yang tidak banyak bertanya tentang kenapa dan ada apa gue sekarang.

Gue menghela napas panjang, rasanya ingin kembali menangis saat mengingat Gibran. Kenangan kita memang singkat, tapi justru itulah yang bikin gue ngerasa hal itu tak pantas untuk dilalui bersama Gibran.

"Mau dibantu bicara?"

Gue menggeleng.

"Kalau gitu buka data selulernya"

Gue mengambil piring yang sembari tadi Abiyan serahkan, lantas meletakkannya dinakas. Pandangan gue teralih pada ponsel yang ada di meja belajar, entah sudah berapa hari ngga gue sentuh.

"Jangan menghindar"

"Lo ngga akan paham, Bi" gue menunduk, sementara Biyan sudah lebih dulu berjongkok, sedikit mendongak untuk bisa melihat kesedihan gue.

Bahkan untuk urusan cintapun gue bisa selemah ini.

"Denger dulu penjelasan Gibran"

"Bahkan dengan kesempatan ini lo bisa buat ngga bahas Gibran, lo fine kalau gue justru milih dia?"

Abiyan terkekeh. Serasa tak pantas gue bilang hal ini, tapi semalam gue lihat Adista datang lagi ke rumah Biyan. Padahal waktu itu Biyan bilang kalau Adista udah pulang ke Kanada.

"Pilihan lo itu nanti, Na. Dua atau tiga tahun lagi untuk bisa mandang siapa yang layak ngemong ego lo"

Gue menghela napas panjang. Mengabaikan Abiyan yang merapihkan rambut gue, sesekali menyelipkan anak rambut kebelakang telinga.

Gibran baik, tapi Abiyan jauh lebih dari itu.

"Sekarang, habisin rasa sakit lo sebelum lo ketemu sama yang jauh lebih baik nanti"

"Disaat yang lain menghindari patah, kenapa lo minta gue untuk ngerasain itu?"

"Buat pengalaman, Na"

Gue terkekeh, "iya nanti gue bicara sama Gibran"

"Sekarang ya?"

Gue mengangguk pelan. Bersamaan dengan tangan pria itu yang merogoh saku jaketnya, menekan nomor yang bertuliskan nama Gibran Putra.

Berusaha untuk mengumpulkan keberanian untuk kembali berhadap dengan pria itu. Sambil sesekali melihat ekspektasi wajah Abiyan yang masih terselip senyum disana.

"Udah makan?" Tanyanya tepat saat panggilan berakhir.

"Mau indomie"

"Ayo buat?"

Gue mengangguk senang, meraih tangan Abiyan yang mengajak gue keluar kamar menuju dapur. Sambil menunggu Gibran kembali datang ke rumah, kita berdua memasak mie instan.

Mengabaikan Bunda yang justru menyempilkan senyum saat masih setia duduk menonton televisi di ruang tengah. Mungkin ini sebuah pencapaian Abiyan bisa ngajak gue keluar kamar.

"Suka rasa apa?"

"Ayam bawang" gue meraih bungkus mie kuning yang ada di ujung, disusul anggukan pria itu.

"Mau juga"

"Buat Abi" gue tersenyum menyerahkan dua bungkus mie instan ayam bawang pada Biyan. Disusul senyuman manis pria itu setelah mengambilnya.

"Kasih cabe ngga?"

Abiyan mengangguk kecil, "pakai telur?"

"Bunda, telurnya dimana?!"

"Dikulkas, Dek"

Ngga ada drama apapun didapur sampai Gibran datang. Pria itu menunggu diteras sampai gue selesai makan, tanggung tinggal setengah. Sementara Abiyan, pria itu memilih bermain game bersama Jihan di kamar setelah pria itu beberapa saat lalu pulang.

Yang gue rasain pertama kali ketemu lagi sama Gibran adalah rasa canggung. Dia masih pakai jaket yang sama, jaket hitam kesukaannya, dan motor ninja merah itu tidak berubah. Tapi rasanya jauh berbeda saat pertama atau kesekian kalinya dia menjemput gue kala itu.

Gue duduk tepat di samping pria itu. Entah sudah berapa lama segelas coklat panas ada di meja, tapi gue yakin Bunda yang buat itu.

"Lo ngehindarin gue?"

Itu kalimat pertama yang terlontar setelah sekian lama. Gue rasa, dia tidak peduli dengan kondisi gue karena ngga menanyakan itu. Pria itu bahkan jauh lebih peduli kenapa gue ngehindarin dia.

"Kasih gue alasannya, Na"

Gue menoleh, suara itu bergetar.

"Lo ngeiyain saat gue minta jangan tinggalin gue,"

"Kondisinya udah beda, Gib. Ini akan jauh lebih menyiksa kalau gue ngga ninggalin elo"

"Siapa yang tersiksa? Gue?"

"Gue dan Laras, gue ngga mau ada diantara kalian"

Semalam, Kara menelepon. Dia bilang akan datang bersama Daffa tapi gue tolak mentah mentah. Bahkan saat gadis itu menceritakan apa yang terjadi akhir akhir ini di sekolah.

Gibran kembali melayangkan berjuta kebencian pada Reno. Pria yang katanya akan melecehkan mantan kekasihnya itu. Kara mengatakan kedua pria itu kembali membuat keributan di sekolah. Bahkan sampai Reno harus dilarikan ke rumah sakit, akibat Gibran.

Bukan masalah tidak ada habisnya mencari kepuasan batin. Tapi tentang seberapa besar rasa kasihnya demi membela Laras.

Apa pantas gue bersaing dengan masa lalunya? Bahkan bisa dibilang dia jauh lebih baik dari gue, Laras lebih memenangkan segalanya dihidup Gibran. Sementara gue cuma orang baru yang tidak mengenal pria itu seluruhnya. Tentang apa makanan kesukaan Gibran sampai apa penyebab pria itu memilih geng motor sebagai pelariannya.

Sampai detik ini, menjadi mengerti adalah hal yang paling gue bisa. Dan menjadi manusia seperti itupun tetap tidak akan cukup.

"Gue cuma ngelindungin Laras dari Reno"

"Dengan cara jadi pacarnya lagi kan?"

Gibran kali ini menatap gue. Pandangannya berubah semu bahkan saat manik gue udah ngga bisa lagi menitihkan air mata.

"Rasa sayang lo jauh lebih besar ke Laras dari pada gue, kebersamaan kalian selama ini? Mana bisa sih gue gantiin dia"

"Na, gue sayang sama lo"

"Jangan"

"Na?"

"Kalau mengalah buat dia adalah pilihan terbaik, gue akan lakuin"

Disaat Gibran memilih gue, bagaimana dengan Laras yang terus meronta ingin dia kembali? Kali ini biar gue yang mengalah atas orang yang gue sayang. Bentuk kepedulian dan empati demi menyelamatkan sesama wanita. Apa ini wajar?

Gue manangis melihat pria itu meninggalkan halaman rumah setelah diskusi panjang. Hanya satu pilihannya, mengakhiri apa yang belum sempat kita mulai.

Isak tangis yang selama ini tertahan akhirnya tumpah juga. Rasanya sesak dan tentu saja menyakitkan. Bukan rasa benci, justru rasa cinta yang cukup besar. Untuk kali pertama gue jatuh cinta dengan cinta pertama yang berakhir tak menyenangkan.

Walau sampai kapanpun gue tau, kalau perpisahan seindah dan sebaik apapun akan tetap menyakitkan bagi dua belah pihak. Tapi gue berusaha untuk tidak terlihat semenyakitkan itu.

Jihan, pria yang pertama kali melihat gue menangis itu menarik tubuh gue kepelukannya. Menyalurkan rasa duka atas dasar patah hati pertama adik perempuannya. Sementara Abiyan, gue bisa lihat dia berdiri didepan pintu. Menyaksikan bagaimana tersiksanya gue dengan perasaan yang gue pendam selama ini.

"Udah, jangan nangis"

Kalian tau apa hal terburuknya? Gue bahkan ngerasa jadi manusia paling bodoh saat jatuh cinta dan patah hati.

1
suka baca
good
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!