Suatu kondisi yang mengharuskan Zidan menikahi Khansa, teman masa kecilnya yang tinggal di desa, atas permintaan terakhir neneknya yang terbaring di ranjang rumah sakit.
Disisi lain, Zidan memiliki kekasih setelah bertahun-tahun tinggal di kota.
Pernikahan itu terjadi karena satu syarat yang diberikan Khansa, mau tidak mau Zidan menerima syaratnya agar pernikahan mereka bisa berlangsung.
Bagaimana kehidupan pernikahan Zidan dan Khansa?
Lalu bagaimana hubungan Zidan dengan kekasihnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lentera Sunyi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seseorang
“Aku benar-benar minta maaf, Zi. Bukan aku tidak menghargainya, tapi aku tidak ingin memberikan harapan yang pada akhirnya akan memberikan rasa sakit.” Khansa mendongak memandang wajah Zidan yang hanya diam, tersirat kekecewaan di dalamnya.
“Aku tau benar bagaimana rasa sakit karena harapan itu sendiri. Aku pernah mengalaminya, dan itu sangat sakit. Aku tidak ingin kamu juga merasakan hal itu, apalagi aku yang memberikan harapan itu.” Dada Khansa terasa sesak mengatakan hal itu. Setiap kata yang diucapkannya seolah tertahan, namun pada akhirnya ia tetap mengatakan hal itu.
Zidan mencoba mencerna semua perkataan Khansa. Ia baru menyadari satu hal, Apa mungkin Khansa pernah sakit hati karena mengharapkan cintanya?
“Boleh aku tanya sesuatu?” Zidan memandang Khansa melihat ke arah lantai, yang sebelumnya menatap dirinya.
Khansa mendongak, memperlihatkan senyumannya, lalu mengangguk pelan.
“Apa kamu pernah mencintai seseorang?” Khansa mengangguk. “Lalu, bagaimana dengan hubungan kalian?”
“Apa yang perlu aku beritahu padamu? Aku hanya mencintainya, tapi aku tidak bisa mengatakannya karena dia berada jauh dariku. Aku hanya memiliki harapan suatu saat dia akan kembali, lalu aku memiliki kesempatan untuk menyatakannya. Sayangnya, aku tidak memiliki kesempatan itu.”
“Kenapa?” tanya Zidan penasaran.
“Karena dia sudah memiliki kekasih, saat kita berdua dipertemukan kembali, tentunya berada di situasi berbeda. Lagipula, perasaanku sudah bilang saat aku tau dia sudah memiliki kekasih,” jelas Khansa.
“Lalu sekarang? Apa perasaanmu masih ada untuknya?”
Khansa hanya diam, bagaimana mungkin ia memberitahunya, karena orang itu adalah Zidan. Dan mungkin, saat ini perasaan itu sudah muncul. Sayangnya, Khansa selalu menyangkal dengan memilih fokus pada impiannya. Ia tidak ingin terjebak dalam perasaan yang rumit. Apalagi mengenai hubungannya dengan Zidan.
Yang mungkin saja, kedepannya Zidan bisa kembali pada kekasihnya. Meskipun Khansa tau cerita mengenai hubungan Zidan dengan kekasihnya, Naya.
Itulah kenapa Khansa tidak bisa memberitahu apa yang ia rasakan. Karena setengah hatinya ia siapkan jika nanti pernikahan mereka berdua benar-benar akan selesai.
“Tidak ada, hanya saja aku tidak bisa melupakan rasa sakit karena harapanku sendiri.”
Zidan membawa Khansa ke dalam pelukannya. Ada rasa bersalah karena ia menanyakan mengenai masa lalunya. Meskipun Zidan sendiri juga kecewa dengan jawaban Khansa mengenai perasaannya.
“Aku minta maaf. Sungguh, aku tidak bermaksud mengingatkan kamu mengenai rasa sakit yang kamu alami.”
Khansa membalas pelukan Zidan, “Ini bukan salah kamu. Tidak perlu meminta maaf, semua sudah berlalu. Tapi aku minta maaf, mungkin saja karena ini aku justru membuatmu kecewa.”
Jatuh cinta lagi pada orang yang sama, sangat sulit untuk diungkapkan. Bayang-bayang masa lalu akan selalu menjadi penghalang. Selain itu, Khansa juga merasa bersalah dengan Naya, karena sudah menghancurkan hubungannya dengan Zidan.
Meski Khansa sendiri tidak ingin melakukannya. Karena baginya, pernikahan bukanlah permainan. Tentunya Khansa tidak menginginkan Zidan melakukan dosa dengan masih berhubungan dengan kekasihnya.
Antara rasa ragu dan tidak, Khansa bisa melihat perubahan sikap Zidan padanya. Bisa dikatakan ungkapan perasaan Zidan padanya benar adanya.
“Maaf, Zi. Mungkin aku masih membutuhkan waktu untuk menerima semua ini,” lirih Khansa.
“Tidak masalah, dan aku yang akan membantu kamu dengan terus membuktikan rasa cinta yang kumiliki padamu.”
Khansa hanya mengangguk, dalam hati kecilnya, ia menginginkan cinta itu. Dicintai, disayangi, dan diperhatikan setiap saat. Perempuan mana yang tidak menginginkan hal itu. Setiap perempuan pasti menginginkannya.
“Aku akan berusaha lagi untuk memastikan apa yang ada di dalam hatiku.”
“Oke, waktu kita masih sangat panjang. Dan ya, setelah kamu selesai ujian nanti aku ingin mendaftarkan pernikahan mita secara hukum. Aku ingin kamu menjadi istriku yang sah dimata hukum dan agama.” Khansa mendongak, memberikan senyuman tipisnya sebagai bentuk persetujuan.
“Sekarang temani aku makan, lihatlah piringku masih penuh dengan nasi gorengnya. Bahkan belum tersentuh sama sama sekali.” Khansa mengikuti arah pandang Khansa, yang dimana masih ada satu porsi nasi goreng lengkap dengan telur diatasnya.
Khansa melepaskan pelukannya, “Baiklah, sebagai gantinya akan kusuapi.” Khansa menarik tangan Zidan untuk duduk di sampingnya.
Menarik piring yang berisi nasi goreng milik Zidan. “Apa kamu yang memasak nasi gorengnya?” tanya Khansa seraya menyuapi Zidan.
“Kenapa? Apa masakannya tidak enak?” Dengan senang hati Zidan memakannya apalagi disuapi oleh Khansa.
“Tidak, bukan seperti itu. Nasi gorengnya sangat enak, hanya saja bukan nasi goreng buatan bibi. Karena aku tau benar bagaimana bibi menyajikannya. Jadi, aku yakin kamu yang memasak ini.”
“Memang benar aku yang memasak, anggap aja ini hadiah dariku karena kamu sudah belajar sangat keras.” Perasaan Khansa tersentuh mendengarnya. Untuk pertama kalinya, selain orang tuanya ada yang memperhatikan usahanya.
“Terima kasih, aku sangat menghargainya. Meskipun aku makan sambil terpejam, aku bisa merasakan jika nasi gorengnya sangat enak.” Khansa kembali menyuapi Zidan.
Zidan merasa sangat senang, bahkan senyumannya tidak luntur karena Khansa menyuapinya. Perhatian kecil yang selalu dinantikan olehnya, dan sekarang sedikit demi sedikit akan menjadi kenyataan.
* * *
“Yang tenang, Sa. Aku yakin hasilnya pasti akan sangat memuaskan. Kalaupun kamu belum bisa mendapatkan beasiswanya, itu bukan akhir dari semuanya.” Zidan meraih tangan Khansa, digenggamnya dengan erat.
“Untuk sekarang, yang paling penting kamu bisa diterima di universitas. Jika kamu masih ingin mencari beasiswa, bisa dilakukan saat kamu sudah menjadi mahasiswa. Aku yang akan bantu.”
Khansa hanya memandang kedua tangannya yang digenggam erat oleh Zidan. Kehadiran Zidan membuat Khansa merasa sedikit tenang.
Hari ini adalah hari yang dinantikan oleh Khansa. Karena hari ini akan diumumkan hasil seleksi dari beasiswa yang ia ikuti.
Sudah satu minggu sejak Khansa mengikuti tesnya. Selain hari yang paling ditunggu-tunggu, hari ini Khansa juga merasa khawatir dan merasa takut jika hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya.
Zidan melihat Khansa yang hanya diam termenung. Ia juga tau jika Khansa begitu khawatir dan sangat deg-deg an menunggu hasil pengumumannya.
Sebisa mungkin Zidan menenangkan Khansa, karena waktunya masih cukup lama. Jika tidak salah akan diumumkan di malam hari, sedangkan saat ini masih pagi hari.
Sudah berulang kali Zidan membujuk Khansa untuk sarapan, dan Khansa masih tetap menolaknya.
Zidan melihat ke arah jam yang sudah menunjukan jam sembilan. Artinya waktu sarapan sebentar lagi akan terlewat.
“Sa, aku mohon sama kamu. Kita makan dulu ya? Mau sampai kapan kamu akan nunggu? Ini masih pagi, dan pengumumannya masih malam nanti. Aku takut jika kamu justru jatuh sakit karena melewatkan jam makan,” bujuk Zidan.
Tidak ada kata menyerah, Zidan masih terus membujuk Khansa agar mau makan. Sejak selesai mandi, Khansa hanya duduk termenung di atas kasur. Dan itu membuat Zidan merasa khawatir.