Di kota kecil Eldridge, kabut tidak pernah hanya kabut. la menyimpan rahasia, bisikan, dan bayangan yang menolak mati.
Lisa Hartman, gadis muda dengan kemampuan aneh untuk memanggil dan mengendalikan bayangan, berusaha menjalani hidup normal bersama dua sahabat masa kecilnya-Ethan, pustakawan obsesif misteri, dan Sara, sahabat realistis yang selalu ingin mereka tetap waras.
Namun ketika sebuah simbol asing muncul di tangan Lisa dan bayangan mulai berbicara padanya, mereka bertiga terseret ke dalam jalinan rahasia tua Eldridge: legenda Penjaga Tabir, orang-orang yang menjadi pintu antara dunia nyata dan dunia di balik kabut
Setiap langkah membawa mereka lebih dalam pada misteri yang membingungkan, kesalahpahaman yang menimbulkan perpecahan, dan ancaman makhluk yang hanya hidup dalam bayangan. Dan ketika semua tanda mengarah pada Lisa, satu pertanyaan pun tak terhindarkan
Apakah ia pintu menuju kegelapan atau kunci untuk menutupnya selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GLADIOL MARIS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KESALAHPAHAMAN
Ethan meraih jurnal Cormac dengan gerakan kasar, buku tua itu hampir robek karena tergesa-gesanya. Debu berjatuhan dari sampul lusuhnya ketika ia membolak-balik halaman dengan jari yang gemetar. “Tunggu… di sini.” Napasnya terdengar cepat, matanya membesar saat menemukan catatan yang ia cari. “Cormac menulis sesuatu tentang ‘sacrifice’—pengorbanan. Kalau custodian memang harus memberi sesuatu sebagai tumbal untuk menjaga keseimbangan tabir…” Ethan menoleh cepat ke arah Lisa, wajahnya tegang, hampir putus asa. “…itu berarti kalau Lis menyerahkan sesuatu, tabir bisa stabil lagi. Jadi… mungkin dia harus—”
“Berhenti.”
Suara Lisa memotong tajam, bagaikan pisau yang merobek udara. Tatapannya menusuk, dingin sekaligus rapuh. “Jangan bicarakan aku seakan aku ini eksperimen di laboratoriummu.”
Sebelum Ethan sempat menjawab, Sara sudah menyambar jurnal itu dari tangannya. Gerakannya begitu cepat dan kasar hingga kertas tua itu hampir robek. Dengan geram, ia menghantamkan buku itu ke meja kayu, menghasilkan suara keras yang menggema di ruangan sunyi. “Kau gila?” suaranya bergetar, bukan hanya karena marah, tetapi juga ketakutan. “Kau dengar sendiri kata ‘sacrifice’, dan kau masih berani mengusulkan itu pada Lisa?”
“Kalau itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan kota—” Ethan mulai membalas, matanya penuh tekad, suaranya meninggi.
Namun Sara mendorongnya mundur dengan kasar, hampir membuat kursi di belakang Ethan terbalik. “Aku tidak peduli dengan kota ini!” teriaknya, napasnya terengah. “Aku peduli dengan Lisa!”
Keheningan mendadak menghantam ruangan, berat seperti beban tak terlihat. Lilin-lilin di sekitar mereka bergetar seolah tiupan angin gelap baru saja lewat, bayangan di dinding menari liar, menegang seakan ikut merasakan konflik yang meledak.
Lisa berdiri mematung di tengah ruangan, jantungnya berdegup keras. Tubuhnya terasa ditarik oleh sesuatu yang tak kasat mata, semakin kuat, semakin menyesakkan. Simbol di telapak tangannya mulai berdenyut—bukan lagi sekadar hangat, tetapi panas dan menyakitkan, seperti bara yang menempel di kulit. Napasnya tercekat.
“Berhenti!”
Jeritannya meledak, mengguncang ruangan. Kursi bergeser sendiri, tirai bergetar, dan sejenak semua terasa seperti akan runtuh. Ia berdiri dengan mata terbelalak, wajahnya memucat. “Kalian berdua…” suaranya pecah, di ambang tangis sekaligus kemarahan. “…kalian membuatku makin gila!”
................
Redfield berdiri perlahan, seolah tulang-tulang tuanya berderit saat ia bangkit. Tubuh bungkuknya, yang selama ini tampak rapuh, mendadak tampak menjulang. Bayangannya membesar di dinding, memanjang tak wajar, seperti makhluk lain yang mengintai dari balik dirinya.
Matanya menatap Lisa—tajam, dingin, seakan menembus lapisan kulit dan daging hingga menghujam langsung ke jiwa. Lisa terpaksa menahan napas; ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat dadanya sesak, seperti ia sedang ditelanjangi tanpa bisa bersembunyi.
“Cukup.”
Kata itu meluncur dari mulutnya, bukan sekadar suara, tapi gema yang mengguncang udara. Suaranya bukan lagi milik seorang wanita tua. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih purba, berbicara melalui dirinya. Getarannya merayap ke dinding, membuat api lilin bergetar tak tentu arah.
Sara yang tadi ingin bicara mendadak terdiam, bibirnya membeku. Ethan, lagi-lagi kehilangan kata-kata, hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat. Ketegangan menegang seperti tali yang siap putus.
Redfield mulai melangkah, perlahan, langkahnya terdengar seperti pukulan palu yang menggema di ruangan sunyi itu. Setiap langkahnya membuat udara semakin berat, seakan ada sesuatu yang menekan dari atas.
Ia berhenti tepat satu langkah dari Lisa.
Cahaya lilin bergetar seolah takut, menyinari wajah keriput Redfield, menonjolkan kerutan-kerutan yang kini tampak seperti ukiran kuno. Matanya—biru pucat, berkilat aneh seperti pantulan cahaya di permukaan es—menatap Lisa tanpa berkedip.
“Kau bertanya kenapa,” katanya perlahan, setiap suku kata terasa seperti mantra. “Kau bertanya apa artinya semua ini. Aku akan menjawabnya. Satu kali saja. Maka dengarkan baik-baik.”
Ia mencondongkan tubuh ke depan, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Lisa. Nafasnya dingin, menusuk seperti embun beku.
“Simbol di tanganmu itu… bukan sekadar tanda.” suaranya turun menjadi bisikan, namun justru terasa lebih mengguncang. “Itu bukan hanya pintu yang bisa kau buka atau kau kunci. Kau, Lisa Hartman…”
Ia berhenti sejenak, dan Lisa merasa detak jantungnya sendiri berdentum di telinga.
“…kau bukan hanya pintu. Kau adalah kuncinya.”
Pada detik itu, seolah ruangan marah. Semua lilin meledak bersamaan—prakk!—nyalanya padam, meninggalkan bau asap yang menyengat.
Kegelapan merayap cepat, menelan segalanya. Tak ada cahaya, tak ada bentuk. Hanya hitam.
Dan di dalam kegelapan itu, Lisa mendengar bisikan—pertama satu, lalu dua, lalu ratusan. Suara-suara itu datang dari segala arah, dekat dan jauh sekaligus, seakan tembok tak lagi ada.
Semua memanggil namanya.
Berulang-ulang.
Memanggilnya seakan mereka semua mengenalnya, seakan mereka semua telah menunggunya.
Lisa tak tahu apakah ia sedang bermimpi… atau akhirnya terbangun.