NovelToon NovelToon
Reinkarnasi Jadi Bebek

Reinkarnasi Jadi Bebek

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Reinkarnasi / Sistem / Perperangan / Fantasi Wanita / Fantasi Isekai
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: yuyuka manawari

Siapa sangka, kematian konyol karena mesin penjual minuman bisa menjadi awal petualangan terbesar dalam hidup… atau tepatnya, setelah hidup.

Ketika bangun, ia bukan lagi manusia, melainkan seekor bebek rawa level 1 yang lemah, basah, dan jadi incaran santapan semua makhluk di sekitarnya.

Namun, dunia ini bukan dunia biasa. Ada sistem, evolusi, guild, perang antarspesies, bahkan campur tangan Dewa RNG yang senang mengacak nasib semua makhluk.

Dengan kecerdikan, sedikit keberuntungan, dan banyak teriakan kwek yang tidak selalu berguna, ia membentuk Guild Featherstorm dan mulai menantang hukum alam, serta hukum para dewa.

Dari seekor bebek yang hanya ingin bertahan hidup, ia perlahan menjadi penguasa rawa, memimpin pasukan unggas, dan… mungkin saja, ancaman terbesar bagi seluruh dunia.

Karena kadang, yang paling berbahaya bukan naga, bukan iblis… tapi bebek yang punya dendam..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yuyuka manawari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 17: Memulai Latihan

Malam itu, setelah perjamuan makan selesai, kami masing-masing dibawa ke kamar yang sudah disiapkan oleh Vlad. Sejujurnya, aku tidak pernah peduli soal kemewahan, tapi kamar ini terlalu mencolok untuk diabaikan.

Langkah kakiku berhenti di depan pintu besar dari kayu gelap, dipoles halus dan dihiasi ukiran berbentuk bunga. Saat pintu terbuka, udara hangat langsung menyambut. Lantai mengkilap, dipoles seperti cermin, dan karpet merah tua terbentang dari pintu sampai ke kaki ranjang. Dinding dilapisi kain tebal berwarna emas, dan lampu kristal di langit-langit memantulkan cahaya lembut ke seluruh ruangan.

Aku berdiri terpaku.

Aku… seekor bebek yang dulunya hidup di lumpur, makan seadanya, dan sering dikejar manusia untuk dijadikan lauk, kini berdiri di ruangan yang bahkan sebagian besar manusia pun mungkin tidak akan pernah tidur di dalamnya. Rasanya aneh.

Kasur empuk di tengah ruangan tampak memanggil. Begitu aku menaiki ranjang itu dan tubuhku jatuh tenggelam dalam kelembutan, kelopak mataku seakan tak mau menahan kantuk lebih lama.

Aku benar-benar tertidur nyenyak malam itu.

...----------------...

Keesokan paginya, cahaya matahari menerobos tirai besar di jendela. Suasana cerah, udara segar mengalir masuk, membuatku bangun dengan tubuh terasa ringan. Setelah mencuci muka dengan air dingin di baskom yang disediakan, aku keluar kamar.

Di lorong panjang kastil, karpet merah membentang tanpa putus. Beberapa prajurit berjaga dengan wajah datar, memegang tombak panjang. Mereka melirik sebentar lalu kembali ke posisi tegap.

Aku sudah memberi tahu mereka bertiga, Poci, Titi, dan Zaza. kalau pagi ini kami akan berlatih. Strategi memang penting, tapi kekuatan dasar juga harus dipoles. Aula latihan sudah disiapkan Vlad, jadi aku perintahkan mereka semua untuk berkumpul di sana.

Saat aku tiba bersama Vlad, aula latihan itu langsung membuatku terdiam sejenak.

Ruangan besar dengan langit-langit tinggi, dinding dihiasi deretan zirah baja dan senjata yang digantung rapi. Lantai dari batu hitam licin, setiap langkah bergema jelas. Di beberapa sudut, boneka kayu untuk latihan berdiri kaku, dan rak penuh pedang tumpul serta perisai latihan tersusun rapi.

Aku melihat dua sosok sudah menunggu di tengah ruangan. Poci berdiri dengan postur tegak, sayapnya bersedekap, matanya mengikuti setiap gerakan yang masuk. Sedangkan Titi justru berlari kecil begitu melihatku.

“Selamat pagi, Rajaku.” Ucap Poci sambil menunduk. Nada suaranya formal, tapi ada rasa hormat tulus yang tidak dibuat-buat.

Di sampingnya, Titi langsung melompat kecil, berlari ke arahku.

“Raja!” teriaknya riang. Napasnya sedikit terengah karena tadi ia tampak berkeliling. “Ruangan ini besar sekali! Aku bahkan tadi hampir tersesat mencari jalan ke sini.”

Aku terkekeh, langkahku melambat sambil menoleh ke arah Vlad yang berjalan setenang biasanya di sampingku.

“Aku juga sama,” balasku sambil menepuk dada dengan sayap. “Tadi hampir salah belok.”

Kami berdua tertawa ringan. Suara tawa itu menggema di aula, sedikit meredakan tegangnya suasana. Namun di balik itu, ada hal yang menggangguku.

Aku mengedarkan pandangan. Tidak ada tanda-tanda Zaza.

Alisku mengernyit.

“Lalu, Zaza di mana?” tanyaku akhirnya.

Poci menarik napas kecil, lalu membuka mulut.

“Tadi aku sudah mengetuk pintu kamarnya, Rajaku. Dia menjawab dan aku kira sudah bersiap. Tapi saat semua sudah siap, aku ketuk lagi… tidak ada jawaban. Aku sempat berpikir dia sudah berangkat ke sini, jadi aku langsung menuju aula.”

Titi terkekeh, wajahnya ceria. “Sepertinya dia tersesat, Raja. Kastil ini rumit sekali. Lorongnya panjang dan mirip semua, aku saja tadi sempat salah arah.”

Aku menoleh pada Vlad. Wajahnya dingin seperti biasa, tapi tatapan matanya tajam, memperhatikan detail. Ia sedikit menunduk ketika aku berbicara.

“Vlad, apakah kau bisa mencarikan Zaza? Sepertinya dia belum terlihat. Aku akan mulai melatih Poci dan Titi dulu. Kalau sudah ketemu, bawalah dia ke sini. Setelah itu, latih dia secara langsung. Bisakah kau melakukannya?”

Wanita itu berlutut dengan satu kaki di depanku, tangannya diletakkan di dada. Rambut hitam panjangnya jatuh menutupi bahu.

“Perintah akan segera saya laksanakan, Rajaku.” Suaranya datar, tapi ada nada tegas yang membuat siapa pun yakin kalau tugas itu akan berhasil.

Aku mengangguk pelan, merasa sedikit lega. Vlad selalu bisa diandalkan dalam situasi seperti ini.

Vlad pergi dengan langkah tenang. Tumit sepatunya nyaris tak menimbulkan suara, hanya kain jubah hitamnya yang berdesir tipis mengikuti gerakan. Dalam hitungan detik, sosoknya menghilang begitu saja, seakan lenyap ditelan udara.

“Cepet banget hilangnya…” gumamku pelan.

Poci dan Titi yang ada di sampingku saling pandang. Mata bulat keduanya masih menyimpan keterkejutan, paruhnya sedikit terbuka tapi tak satu pun berani mengeluarkan suara.

“Jangan dipikirin dulu,” aku berkata sambil melambaikan sayap pelan, mencoba menenangkan mereka. “Semuanya bakal baik-baik aja. Sesuai rencana kemarin, sekarang aku mau melatih kalian.”

Poci menunduk dalam-dalam. “Jangan terlalu keras, Rajaku…” suaranya terdengar ragu, seolah takut dimarahi.

Titi ikut-ikutan menunduk, paruhnya hampir menyentuh lantai batu.

Aku menghela napas kecil, lalu tersenyum. “Tidak, tidak. Aku nggak akan segitunya kok. Santai aja, anggap ini latihan ringan. Kita bawa santai.”

Mendengar itu, wajah keduanya sedikit berubah. Mata mereka kembali berbinar, paruhnya menutup rapat.

“Baik, Rajaku!” jawab mereka bersamaan, penuh semangat.

Aku menatap keduanya sebentar, lalu berbicara dalam hati. “Sistem, tolong tampilkan statistik mereka berdua.”

Seketika panel biru transparan muncul di depan pandangan. Tulisan-tulisan teratur mengambang, menampilkan informasi pertama tentang Poci.

[Statistik Bebek lv 1/ Nama: Poci]

[Jenis: Bebek Rawa Luar]

STR: 2

AGI: 4

INT: 12

LUCK: 1

[Skill: Kibasan terang]

Belum sempat aku menganalisis lebih jauh, panel kedua muncul, kali ini untuk Titi.

[Statistik Bebek lv 3/ Nama: Titi]

[Jenis: Bebek Rawa Liar]

STR: 14

AGI: 2

INT: 1

LUCK: 2

[Skill: Sundulan Maut]

Aku menatap panel-panel itu lama. “Hmm… ternyata masing-masing punya kelebihan dan kekurangan sendiri. Kalau digabung dengan Zaza, formasi kita bisa saling melengkapi.”

Tapi ada yang mengganjal. Skill mereka terasa terlalu sederhana dibandingkan dengan skill Zaza. Tidak ada yang istimewa, apalagi unik.

“Kenapa ya?” pikirku dalam hati. “Berserk Dash dan Berserk Peck milik Zaza jauh lebih kuat. Kalau dibandingkan dengan Kibasan Terang atau Sundulan Maut, bagaikan langit dan bumi.”

Tepat saat kebingungan itu memenuhi kepalaku, suara datar Sistem muncul.

[Zaza mendapatkan skill tersebut mungkin terjadi karena momen trigger dari masa lalunya]

“Momen trigger? alisku berkerut. Apa maksudmu?”

[Momen trigger masa lalunya bisa memunculkan skill yang lebih kuat]

“Oh begitu…” gumamku pelan, sambil mengingat kembali cerita Zaza. Dulu dia pernah mengatakan bahwa dirinya lari dengan penuh kemarahan. Mungkin… itu saat dia memicu sesuatu.

[Kemungkinan besar benar]

Aku mengangguk kecil. “Jadi itu alasannya kenapa dia punya skill berbeda. Karena masa lalunya.”

Ketika aku tenggelam dalam pikiran itu, tatapan Poci dan Titi tidak lepas dariku. Mereka menatap dengan mata yang penuh tanda tanya, seolah menunggu jawaban yang tidak mereka mengerti.

“Rajaku…” suara Poci terdengar pelan. Tubuhnya sedikit gemetar, bulu lehernya berdiri. “Apa kami tidak punya bakat yang bisa membuat Anda merasa senang?”

Nada suaranya melemah semakin lama, seakan seluruh semangatnya diremas habis. Titi yang ada di sampingnya hanya diam, tapi sorot matanya menunjukkan kekhawatiran yang sama.

“Tidak, Poci. Justru kalian bertiga nanti akan menjadi komposisi yang sangat serasi.”

Aku menepuk ringan sayapku di tanah becek, berusaha menyalurkan semangatku ke wajah cemberut Poci.

“Serasi?” tanya Poci ragu, matanya melirik ke arah Titi yang duduk bersila di samping.

“Ya, benar,” kataku mantap. “Kalian semua punya kelebihan masing-masing. Kalau dipadukan, setiap kelemahan bisa tertutupi.”

Titi mengangguk cepat, terlihat antusias. “Kalau begitu aku bisa bantu Poci di bagian jarak dekat! Karena aku lebih gesit!”

Poci akhirnya menghela napas, lalu wajahnya sedikit cerah. “Kalau kamu yakin begitu, aku akan coba percaya.”

Sebelum aku sempat menambahkan penjelasan, aku sadar sesuatu. Sosok kecil tiba-tiba sudah berada di pangkuan Vlad.

Aku terkejut, karena hanya dalam sekejap mata Vlad sudah berdiri di belakang kami, tanpa suara langkah sama sekali. Dari aura dingin yang ia bawa, jelas ia tidak datang dengan cara biasa.

“Saya sudah menemukannya, Rajaku,” ucap Vlad datar, sambil menurunkan Zaza dari gendongannya.

Aku mengangguk, sedikit lega. “Terima kasih, Vlad.”

Poci langsung maju, tatapannya curiga ke arah Zaza. “Hei, Zaza. Dari tadi kamu sebenarnya ke mana?!”

Zaza menunduk, kedua matanya berkaca-kaca. Nafasnya tersengal seakan baru saja berlari jauh. “Aku… aku tadi melihat hantu… banyak sekali… mereka mengejarku. Aku panik dan melarikan diri… lalu tersesat.”

Aku sontak menoleh ke Vlad dengan raut serius. “Apa benar begitu?”

Vlad, dengan suara tenang namun tegas, menjawab, “Tidak, Tuanku.”

Namun Zaza langsung menyela, suaranya meninggi. “Tidak! Aku tidak bohong! Tadi aku benar-benar melihat mereka! Bayangan putih yang berterbangan!”

Aku terdiam sesaat, lalu bergumam dalam hati. “Apa itu mungkin monster tipe arwah?” Jujur, aku sendiri tidak mengerti.

Vlad kemudian melangkah maju, tubuh rampingnya tegak. Tatapannya dingin, tapi nada bicaranya tetap terkendali. “Jika yang dilihat oleh Tuan Zaza adalah makhluk berterbangan menyerupai hantu, mungkin itu memang benar adanya. Tapi mereka bukan hantu yang ingin menyerang. Mereka adalah pembersih yang sudah ada sejak lama di sini.”

“Pembersih?” Aku mengulang dengan nada bingung.

“Benar, Rajaku.” Vlad mengangguk ringan. “Kami menyebut mereka arwah pembersih. Mereka hanya bergerak untuk membersihkan energi sisa kematian di tempat ini. Tidak berbahaya, selama kita tidak mengganggu.”

Aku akhirnya menghela napas lega. “Syukurlah….” Dalam hati, aku mengaku sedikit takut juga kalau ternyata benar hantu.

Aku menoleh ke Zaza, berusaha membuatnya tenang. “Jadi begitu, Zaza. Itu bukan hantu jahat. Mereka hanya pembersih.”

Wajah Zaza langsung memerah karena malu. Titi yang duduk di sampingnya malah terkekeh sambil menepuk bahu kecil Zaza. “Hahaha, kamu lari ketakutan gara-gara pembersih? Benar-benar Zaza.”

Poci menutup mulutnya, mencoba menahan tawa, tapi akhirnya ikut terbahak juga.

Zaza menunduk makin dalam, pipinya mengembung. “Kalian jahat….”

Aku ikut tertawa kecil. Meskipun suasana barusan tegang, sekarang jadi lebih cair.

Setelah itu aku memutuskan untuk melanjutkan tujuan awal. “Baik, sekarang kita harus berlatih serius.”

Aku menunjuk ke arah lapangan. “Zaza, kali ini kamu berlatih bersama Vlad di sisi sana. Dia akan mengawasi langkahmu.”

Zaza langsung terbelalak. “Eh, sama Vlad?!” Suaranya penuh keraguan, jelas merasa gentar karena aura dingin wanita itu.

Vlad hanya menatap lurus, lalu mengangguk singkat. “Ikut saya, Tuan Zaza.”

Dengan langkah ragu-ragu, Zaza pun mengikuti Vlad ke sisi lain lapangan.

Aku mengalihkan perhatian ke Titi dan Poci. Keduanya sudah duduk manis di hadapanku, menunggu arahan. Aku merasa seperti guru yang mau menjelaskan presentasi.

“Baik, dengarkan baik-baik.” Aku menatap keduanya dengan tegas. “Kalian harus tahu kelemahan diri kalian masing-masing. Itu adalah hal pertama yang harus kalian sadari dalam pertempuran kelompok.”

.

.

.

.

“Nah begitu, itu yang harus kalian lakukan sebagai kelompok. Jangan pernah bergerak sendiri, apalagi mencoba membebaskan diri dari kelompok. Itu akan sangat berbahaya.” Suaraku terdengar tegas di antara ruangan latihan itu.

Poci dan Titi, dua bebek yang baru saja menyelesaikan sesi latihan dasar, langsung menundukkan kepala. Sayap mereka sedikit gemetar karena kelelahan, tapi wajahnya penuh keseriusan.

“Baik, rajaku. Kami mengerti,” jawab mereka hampir bersamaan.

Aku melirik sekilas. Meskipun penampilan mereka sederhana, bulu sedikit kusut, napas masih memburu.

Ada tekad yang jelas terlihat di mata keduanya. Itu sudah cukup membuatku yakin mereka mau mendengar perintah.

“Untuk strategi awal, Poci bertugas sebagai Support. Kau akan menjaga dari belakang, fokus pada gangguan musuh.” Aku mengangkat sayapku menunjuk ke arahnya. “Titi, kau akan menjadi pembuka jalan. Gunakan tubuhmu sebagai tameng. Kau Tanker utama.”

Titi menepuk dada dengan sayapnya, matanya berbinar meski kakinya masih goyah.

“Dan Zaza… kau akan menjadi serangan terakhir. Saat musuh mulai terbuka, kau yang akan mengakhiri dengan serangan penuh.”

Aku sengaja menekankan kata-kata itu. Zaza memang terlihat paling bersemangat, matanya tajam, paruhnya mengepal seperti menahan diri agar tidak langsung menerjang. Ia menoleh ke Vlad yang sedari tadi mendampinginya.

Di sisi arena latihan, Vlad berdiri tegak. Sosok wanita itu, pelayan sekaligus pelindungku, selalu menatap serius setiap detail gerakan Zaza. Tidak hanya memberi perintah, ia bahkan sesekali menahan tubuh Zaza dengan tangan kosong agar bebek itu belajar menyeimbangkan diri.

Poci dan Titi tampak terpana menyaksikan latihan tersebut. Matanya membesar, mungkin karena tidak percaya seekor bebek bisa bergerak secepat itu saat ditekan oleh manusia. Aku bisa membaca pikiran mereka: kalau Zaza saja bisa dilatih sampai sejauh itu, mereka juga bisa.

Aku mengangguk kecil. “Sepertinya cukup. Vlad, hentikan latihannya.”

Wanita itu segera melepaskan genggaman dari sayap Zaza yang masih bergetar. Bebek itu terengah-engah, tapi matanya menyala seperti api kecil yang tak mau padam.

Aku melangkah mendekat, menatap sesuatu yang sejak tadi berdiri di sisi ruangan latihan.

Barisan zirah baja hitam tanpa tubuh yang sama seperti di Karpet merah sebelumnya.

Aku mengangkat daguku, menunjuk dengan paruh. “Apa mereka bisa bergerak juga?”

Vlad menunduk sedikit sebelum menjawab, suaranya datar tapi penuh keyakinan. “Bisa, Rajaku. Silakan perintahkan sesuai keinginan Anda. Mereka akan taat.”

Aku mengangguk. Rasa penasaran mulai merambat di tubuhku. Jika guild ini benar-benar akan menjadi pondasi sebuah kerajaan, aku harus menguji mereka dengan sesuatu yang lebih nyata daripada sekadar latihan fisik atau berlari di ruang latihan.

“Kau, maju.” Aku mengangkat sayap menunjuk salah satu zirah baja.

Suara dentuman berat langsung terdengar saat zirah itu melangkah. Udara bergemuruh kecil.

Zirah itu bergerak dengan kaku namun pasti, lalu berhenti tepat di hadapanku. Dengan perlahan, ia menekukkan lutut logamnya dan memberi hormat.

Mataku beralih pada tiga bebek yang kini berdiri berbaris. Poci menelan ludah, Titi merentangkan sayap seperti siap menahan hantaman, sementara Zaza malah maju setengah langkah dengan tatapan penuh semangat.

“Kalian bertiga… mulai sekarang tujuan kalian adalah menghancurkan zirah baja ini.” Suaraku menurun lebih dalam, memberi tekanan.

Sekejap sunyi melanda.

“H-hah? Menghancurkan itu?” Poci bersuara tercekat, jelas kaget.

“Kau serius, Rajaku? Itu… terlalu besar,” tambah Titi sambil menoleh ke arah zirah yang tingginya hampir tiga kali tubuh mereka.

Zaza justru menyeringai, atau setidaknya wajahnya terlihat seperti itu meski ia seekor bebek.

Aku mendekat, menatap mereka bergantian. “Kalian harus membuktikan diri. Musuh di luar sana tidak akan menunggu sampai kalian merasa siap. Jika kalian bisa bekerja sama, bahkan makhluk sebesar ini bisa ditumbangkan.”

...----------------...

POV 3 [???]

*Sementara itu di hutan barat

Udara di wilayah itu terasa pengap. Kabut tipis menggantung di antara pepohonan tinggi, membuat cahaya matahari sore terpecah dan jatuh ke tanah dalam garis-garis samar. Di tengah hutan terdapat sebuah area terbuka yang telah dibersihkan, lantainya hanya tanah keras tanpa rerumputan. Di sana berdiri sebuah batu besar yang dipahat kasar, dijadikan sebagai singgasana.

Di atasnya, seekor ayam jantan berperawakan besar duduk tegak. Bulu-bulunya berwarna merah kecoklatan, jenggernya menjulang tinggi, dan tatapan matanya penuh amarah yang ditahan. Suasana sekitarnya tegang, seolah udara pun enggan bergerak terlalu bebas.

Seekor musang berpostur ramping berjalan perlahan mendekat. Gerakannya hati-hati, ekornya menunduk rendah, kepalanya sedikit tertunduk. Ia berhenti di hadapan batu singgasana, lalu berbicara dengan suara rendah namun jelas.

“Yang Mulia Raja Pekokok… aku membawa kabar.”

Ayam jantan itu menoleh dengan cepat. Sorot matanya tajam menusuk. “Kabar apa?”

Musang itu menelan ludah sebelum menjawab, seakan ragu mengucapkan kata-kata berikutnya. “Kakak Anda, Kapten Kokok… dia terbunuh.”

Suasana seketika berubah. Kedua sayap ayam jantan itu mengepak keras, bulu-bulunya meremang berdiri. Wajahnya yang sudah merah semakin memerah. Ia menghentakkan kaki hingga tanah di bawah singgasananya pecah retak.

“Apa?!” suaranya bergema di udara, menusuk telinga.

Tangannya mengepal lalu menghantam kursi batu yang didudukinya. Suara dentuman keras terdengar, beberapa serpihan batu jatuh ke tanah.

“Siapa yang berani melakukannya?! Siapa yang berani membunuh darah dagingku!”

Musang itu kembali menunduk, tubuhnya sedikit gemetar. “Kami mendapat laporan… pelakunya seekor bebek. Bebek itu kini memimpin sebuah wilayah rawa di timur.”

Ucapan itu membuat raja ayam jantan terdiam sejenak. Napasnya memburu, dadanya naik turun cepat. Namun kemudian, mata merahnya membelalak penuh kebencian.

“Seekor bebek?! Seekor makhluk lemah itu berani mengangkat sayap pada kakakku?” suaranya menurun menjadi geraman, namun tekanan kemarahan jelas terasa.

Ia berdiri dari singgasananya, tubuhnya menjulang tinggi dengan bulu-bulu yang mengembang. “Aku… akan membunuhnya. Aku akan cabik-cabik dia hingga tak bersisa!”

1
Anyelir
kasihan bebek
Anyelir
wow, itu nanti sebelum di up kakak cek lagi nggak?
yuyuka: sampai 150 Chap masih outline kasar kak, jadi penulisannya belum🤗
total 1 replies
Anyelir
ini terhitung curang kan?
yuyuka: eh makasi udah mampir hehe

aku jawab ya: bukan curang lagi itu mah hahaha
total 1 replies
POELA
🥶🥶
yuyuka
keluarkan emot dingin kalian🥶🥶
FANTASY IS MY LIFE: 🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶
total 1 replies
yuyuka
🥶🥶🥶🥶
Mencoba bertanya tdk
lagu dark aria langsung berkumandang🥶🥶
yuyuka: jadi solo leveling dong wkwkwkw
total 1 replies
Mencoba bertanya tdk
🥶🥶
FANTASY IS MY LIFE
bro...
Mencoba bertanya tdk
dingin banget atmin🥶
FANTASY IS MY LIFE: sigma bgt🥶
total 1 replies
FANTASY IS MY LIFE
ini kapan upnya dah?
yuyuka: ga crazy up jg gw mah ttp sigma🥶🥶
total 1 replies
Leo
Aku mampir, semangat Thor🔥
yuyuka: makasi uda mampir
total 1 replies
Demon king Hizuzu
mampir lagi/Slight/
yuyuka: arigatou udah mampir
total 1 replies
Demon king Hizuzu
mampir
yuyuka: /Tongue/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!