Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 31 - Melarikan Diri
Berhari-hari setelahnya, kamar Murni hanya dibuka di jam-jam tertentu. Ketika Theresia mengantarkan makanan, sekaligus mendampingi dan menunggu ketika Murni mandi atau perlu ke kamar kecil.
Dan ketika Suster Maria masuk untuk bicara dengannya.
Tetapi Murni bungkam.
Pertanyaan apa pun yang dilontarkan, dijawab dengan kebisuan.
Murni bahkan tidak menyentuh makanan yang dibawa untuknya. Misalnya, ketika Theresia masuk untuk mengambil piring sarapan dan ditukar dengan makan siang, acapkali dia menemukan makanan di atas nampan itu masih utuh.
Sementara Murni, hanya duduk di lantai, memeluk lutut dengan tatapan kosong, bersandar ke tepi tempat tidur. Bahkan menoleh pun tidak.
Ia hanya bergerak ketika ditanya apakah perlu ke kamar kecil. Terkadang ia menggeleng, terkadang ia bangkit berdiri dan mengikuti Theresia.
Namun, bibirnya tetap terkunci.
Ini sudah satu minggu berlangsung. Tubuh Murni semakin kurus dan ringkih, seolah ia tak lagi bersemangat untuk hidup. Seolah ia sengaja melakukan itu karena ingin segera mati.
Pernah suatu kali, saking tidak tahan melihat kondisi mantan teman sekamarnya, eks sesama novis yang dulu paling disukai para umat, Theresia bertanya.
“Sampai kapan kamu mau seperti ini, Mur? Aku sedih lihat kamu. Untuk apa semua ini?” Theresia mendekat, meraih tangan Murni yang tergolek di sisi tubuhnya.
Tangan kecil itu kini terasa lebih kecil. Tanpa tenaga, tidak ada kehangatan, bahkan balutan daging yang membungkus tulangnya sepertinya sudah tipis.
“Aku minta maaf karena melaporkan kamu. Tapi itu aku lakukan karena aku khawatir, tidak berharap kamu akan mengalami semua ini.” Theresia mulai menangis.
Dia menyesal, mengapa dia tidak menutup saja mulutnya dan menyimpan rahasia itu sendiri. Andai saja dia tahu…
Tapi semua telah terjadi.
Murni tetap membisu. Ia tidak marah pada Theresia. Tidak marah pada Kongregasi. Jika ia ada di posisi mereka, ia juga mungkin akan melakukan hal yang sama.
Ia hanya…
Memikirkan Mahanta.
Semakin dipikirkan, semakin ia sadar, dengan kondisinya saat ini, satu-satunya jalan baginya untuk bertemu kembali dengan lelaki itu adalah…
Hidupnya berakhir.
Kini, ia sangat mengerti, bagaimana rasa keputusasaan, dan sangat paham apa yang namanya kehilangan semangat hidup. Ternyata seperti ini yang dirasakan jiwa-jiwa yang singgah di warung, sebelum mengambil keputusan terakhir.
Namun, nyawanya tetap tinggal di dalam tubuhnya.
Mungkin ini adalah hukuman Tuhan karena telah berani mengkhianatiNya.
Karena itu ia dibiarkan hidup tersiksa seorang diri.
Apakah Mahanta tahu? Apakah emosinya terkirimkan kepada lelaki itu? Atau dia hanya bisa merasakan emosi ketika sebuah jiwa berada dekat dengannya?
Jika begitu… tidak ada kesempatan baginya untuk kembali ke sisi lelaki itu.
Murni memejamkan mata. Air bening kembali bergulir dari sudut matanya.
Ia merasa sangat lemah. Mengapa ia hanya bisa menangis!
“Sebenarnya, apa yang terjadi di ujung gang itu, Mur? Bagaimana kamu bisa menghilang?”
Di hari lain, Theresia masih berusaha mengorek informasi. Tentu saja tanpa hasil. Seperti upayanya yang lain.
Murni tetap terpejam, tidak bergerak. Sampai Theresia mengira gadis itu telah mati, jika ia tidak melihat dadanya yang masih naik turun, dan air mata yang meleleh di pipinya.
Ini sudah hari ke sepuluh. Menurut informasi yang berhasil ia dapatkan, Murni akan dikurung satu bulan. Kemudian akan dilakukan ritual eksorsisme.
Theresia merasa gamang.
Sedikit banyak, ia yang menempatkan Murni dalam kondisinya saat ini.
Jika hati seseorang sudah tidak lagi bulat, mengapa dia tidak dilepaskan saja? Tidak ada gunanya seorang pelayan gereja berbakti dengan terpaksa. Mengapa gereja tidak mau mengerti?
Malam ke sepuluh, di kamar barunya, Theresia resah, membolak-balik tubuh di atas tempat tidurnya. Sejak tadi matanya tidak juga berhasil terpejam.
Siang tadi, ia melihat betapa menyedihkan penampilan Murni.
Matanya memiliki lingkaran hitam dan tidak bercahaya, padahal itu mata paling jernih yang pernah dilihatnya pada seseorang. Itu juga sebabnya Suster Maria memberinya nama Murni.
Pipi Murni sangat cekung. Padahal selama ini, meskipun tidak pernah tersentuh kosmetik, kulit wajahnya sangat bersih dengan pipi sehat yang selalu tampak kemerahan, terutama setelah dia melakukan kegiatan yang membuatnya berkeringat.
Rasa bersalah kian mendera. Kian kental.
Theresia melompat dari tempat tidur, membuka pintu perlahan dan mengendap-endap menuju kamar lamanya, dimana sekarang menjadi kurungan bagi Murni.
Perlahan… dia memutar anak kunci dan membuka pintu.
Murni bergelung di tempat tidur, memunggunginya. Tidak menoleh, sepertinya dia sudah terlelap.
Theresia mendekat, dan menyentuh pundaknya ringan.
Murni langsung berbalik, membuat Theresia nyaris terpekik kaget.
Untung saja ia berhasil meredam suaranya dengan membungkam mulutnya sendiri. Rupanya perkiraannya salah. Murni tidak terlelap, hanya malas menyambut siapa pun yang masuk.
Tetapi kini, temannya itu menatapnya heran.
Theresia menelan ludah. Mengatur kembali napasnya, dan berbisik.
“Aku akan melepaskanmu.”
Mata Murni melebar. Tidak percaya.
“Kamu boleh tidak percaya. Tapi aku bersumpah, tidak akan melaporkan kamu. Ini… adalah penebusan rasa bersalahku. Pergilah, aku tidak tahan melihatmu tersiksa, bahkan satu hari lagi.”
Antara ragu dan berharap, Murni bangun dan duduk.
Lalu, perlahan, ia membuka mulut. Suaranya sangat lemah, seperti bisikan lirih, karena sudah sepuluh hari tidak pernah mengeluarkan suara. “Benarkah?”
Theresia mengangguk kuat-kuat, beberapa kali untuk meyakinkan. “Aku akan menerima risiko hukuman. Itu memang pantas aku dapatkan. Tapi… pergilah. Lakukan apa pun yang kau inginkan.”
Murni langsung berdiri, kakinya yang lemah seolah mendadak mendapat suntikan kekuatan mahabesar. Ia langsung menuju pintu, bahkan tidak peduli untuk membawa apa pun.
Di ambang pintu, ia menoleh, mulutnya bergerak tanpa suara. Tapi Theresia tahu apa yang dia katakan.
“Terima kasih.”
Theresia mengangguk dan melambaikan tangan, isyarat agar Murni segera pergi.
Ketika tubuh gadis itu menghilang di balik pintu, Theresia terduduk dan menangkupkan kedua tangannya di wajah.
“Jika apa yang kulakukan salah, hukumlah aku, Tuhan. Jangan menghukum Murni. Kasihanilah dia... dia sudah terlalu menderita.”
When Spring Ends, I'll See You Again