Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.
Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.
Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.
Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Intervensi di Tengah Kolaps
...Chapter 19...
Setiap putaran pedangnya menghasilkan percikan merah muda dari gesekan udara, menyerang bukan dengan bilahnya, melainkan dengan tekanan nan sanggup memecahkan galaksi demi galaksi.
Tapi Erietta tak kalah.
Ia menjejak kaki kanannya, melesat dengan Slent Byu, jurus yang menyamarkan langkahnya dan membuat serangan datang dari segala arah, segala bidang.'
Wuuusssh!
'Jika ini berlanjut, alur cerita akan kolaps.
Bukan hanya dunia game ini yang berantakan, tapi struktur ceritanya juga akan melenceng jauh dari rencana awal.'
Tsuuuufh!
‘Ramuan pendarahan, ramuan stamina, dan—hah—ramuan pengikat fokus.
Doooor!
"Cukup. Kalian sudah melampaui garis yang seharusnya belum dilewati.
Sekarang aku akan—"
Tsiiiing!
"Membangunkannya."
Tentunya, sewaktu dua gadis itu saling menerjang, memecah udara dengan kecepatan yang bahkan suara pun tak mampu mengejarnya, Theo Vkytor tidak hanya berdiri terpaku seperti penonton yang kehilangan arah.
Ia tahu, menjadi saksi di sini sama saja dengan menjadi bagian dari kehancuran itu sendiri.
Dalam satu tarikan napas man nyaris tersengal, ia menegakkan tubuhnya, lalu merogoh ke dalam jubah, mengeluarkan botol kecil berisi cairan berwarna merah gelap.
Tanpa pikir panjang, ramuan itu diteguk habis, rasanya getir dan membakar tenggorokan, namun efeknya seketika terasa—denyut darah yang tadinya liar mulai tenang, rasa sakit di tulang mereda.
Kemudian getaran di dalam tubuhnya berbalik menjadi aliran tenaga nan mengental, menegangkan otot dan memperkuat inti tenaga dalam yang disebut Human Change sebagai Inti Lu.
Udara di sekitar Theo bergolak kecil, seperti merespons sesuatu yang terbangun dari dalam diri.
Jantungnya berdetak cepat, namun bukan karena panik, melainkan karena sinkronisasi yang mulai terbentuk antara tubuh dan energi nan selama ini tertidur.
Ia tahu waktu tak banyak, karena di depan sana, Erietta dan Aldraya sudah mulai saling berbenturan dengan kekuatan penuh—pedang menari di udara, memotong bayangan dan cahaya menjadi serpihan-serpihan yang berpendar seperti serbuk bintang.
Satu langkah lagi, dan Theo sudah menutup jarak antara dirinya dan pusat arena, seolah tarikan gravitasi dari pertarungan itu tidak mampu menahannya untuk ikut terlibat.
Tanpa aba-aba, sesuatu di dalam tubuh Theo bergerak.
Dari dada kirinya, muncul cahaya tipis berwarna perak, berdenyut perlahan bagai nadi yang baru lahir.
Lalu, dari dalam sinar, muncul sebilah pedang—ukirannya ramping, bilahnya sedikit melengkung, memantulkan cahaya dengan kilau yang bukan milik logam biasa.
Bentuknya menyerupai katana, tapi ada sesuatu yang lebih halus, seakan benda itu bukan ditempa oleh pandai besi, melainkan dilahirkan dari kehendak dan ingatan Theo sendiri.
Dengan satu gerakan, Theo menangkap pedang itu menggunakan tangan kirinya.
Pegangan terasa hangat, seolah pedang itu bernafas bersamanya.
Dalam keheningan singkat sebelum badai berikutnya, matanya menatap ke depan, ke arah dua sosok yang masih terus menari di tengah pusaran energi.
Ia tahu peranannya belum selesai.
Dalam dunia yang kacau ini, mungkin satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah memastikan cerita tetap bergerak ke arah yang benar—meski untuk itu, ia harus menjadi bagian dari pertarungan yang seharusnya tidak pernah terjadi.
'Dunia menganggapnya cabul, seorang bajingan, pecandu wanita, pemangsa kekayaan.
Tapi adakah yang benar-benar paham penyebab di balik semuanya?'
Tsuuuuf!
'Terlebih yang mereka saksikan hanyalah kulit luarnya, tidak pernah menjamah luka yang mengukir.
Eshura Birtash, Samurai Dalam Dada.
Mereka menyangka gelar itu hadir karena ia meniduri banyak wanita.
Sebetulnya gelar itu muncul karena dia berani menahan setiap nestapa di dadanya, lalu mengubahnya menjadi sebuah pedang.'
Huuuuh!
'Kutahu dia bukan ksatria.
Dia mengorbankan terlalu banyak hal, bahkan mengotori tangannya untuk sesuatu yang dianggap dunia sebagai aib.
Tapi dari perspektif berbeda, Eshura adalah sosok yang mengerti arti dari setiap ketetapan.
Dia sadar, tidak semua yang terlihat mulia itu lurus, dan tidak semua yang terlihat hina itu keliru.
Ada semesta di antara hitam dan putih, dan di situlah ia berdirinya, sendiri, menantang siapapun yang berani memberi vonis.'
Ussshh!
'Dan sekarang, aku mengenakan topengnya.
Eshura Birtash, atau apapun namaku saat ini, dunia ini sudah memaksaku untuk bersatu dengannya.
Tapi aku tak menyesali.
Karena kalau harus memilih raga yang bisa mengukir ulang nasib, lebih kupilih jiwa seorang bajingan yang punya landasan daripada raga seorang malaikat nan kehilangan kompas.'
Meski di mata para pemain lain Eshura Birtash dikenal sebagai makhluk yang cabul, bajingan penggila selangkangan, pemuja harta dan wanita yang tak tahu batas, Theo Vkytor—yang kini menempati raganya—tahu bahwa manusia seperti Eshura tidak sesederhana itu.
Julukan Samurai Dalam Dada bukan muncul dari kebiasaan rendah, melainkan dari sesuatu yang jauh lebih dalam dan kelam.
‘Penguasaan atas pedang yang menembus tubuh dan jiwa, sebuah seni yang diciptakan dari kehancuran diri sendiri.’
Julukan itu lahir karena Eshura mampu menyalurkan kehendaknya lewat inti tubuh, menjadikan dadanya bukan sekadar tempat jantung berdegup, melainkan gerbang bagi senjata yang tak pernah tumpul, senjata yang hanya tunduk pada satu hal—kehendak untuk bertahan hidup di dunia yang menolak mengenalnya.
Theo memahami hal itu dengan baik.
Dalam diam, ia mengenali betapa Eshura bukan sekadar bajingan, melainkan sosok yang terlahir dari sistem dunia yang rusak, dunia nan menilai kekuatan dari pamor, kekayaan, dan ketakutan yang ditimbulkan.
Di balik segala rumor yang kotor, Eshura menyimpan jejak tradisi yang tak banyak diketahui.
Ia perintis, pembuka jalan dari seni pedang keluarga Birtash, sebuah garis keturunan yang menghormati kehancuran seperti halnya orang lain menghormati kelahiran.
Ilmu pedang itu tidak sekadar menebas, melainkan menyerap—mengubah luka menjadi tenaga, menjadikan rasa sakit sebagai senjata.
Di dunia Flo Viva Mythology, Eshura adalah simbol paradoks, jenius yang disalahpahami, dan ironisnya, satu-satunya yang benar-benar memahami makna perang.
Dan meski Theo Vkytor di dunia asalnya tak pernah menggenggam katana ataupun mengayunkan pedang sesungguhnya, tangannya kini bergerak seolah telah melakukannya ribuan kali.
Di dunia ini, keterampilan menulisnya telah menjelma menjadi naluri bertarung, setiap baris yang dulu ia tulis kini menjelma menjadi ingatan otot, setiap deskripsi dalam novelnya kini menjelma menjadi teknik tempur.
Ia pernah menulis tentang peraturan sistem, kekuatan yang dibangun dari keseimbangan, serta manusia yang menjadikan imajinasi sebagai kenyataan.
Sekarang, tanpa sempat menulis lagi, ia menjadi bukti dari tulisannya sendiri.
Maka, di tengah hiruk pikuk arena yang memanas, Theo Vkytor—atau kini lebih tepat disebut Eshura Birtash—berdiri di antara dua dunia yang saling menelan.
Ia bukan lagi hanya seorang penulis atau pemain, melainkan hasil asimilasi gila yang diciptakan oleh ketamakan Flo Viva Mythology.
Dunia nyata telah menyingkir 99% dari dirinya, digantikan oleh hukum dan logika dunia fiksi yang dulu hanya orang lain rancang di atas kertas.
Ia tahu semua ini salah, bahkan menjijikkan, tetapi tidak ada jalan kembali.
Kini yang tersisa hanyalah bertahan, dan memastikan bahwa kisah yang pernah mereka ciptakan tidak menjadi kuburannya sendiri.
'Inilah akhir dari segalanya, "Satu Titik, Sembilan Akupuntur Dituntaskan".'
Dan yap, dengan pengetahuannya sebagai seorang penulis yang telah menulis ribuan kali tentang kemustahilan menjadi mungkin, Theo Vkytor—yang kini menyatu dalam tubuh Eshura Birtash—menggerakkan jemarinya perlahan.
Pegangan pedang itu terasa hidup, berdenyut seirama dengan napasnya.
Dunia di sekeliling masih bergetar karena duel antara dua gadis Akademi Bintang, namun kesadarannya seolah terpisah, melayang di atas arus realitas nan membeku.
Ia tahu teknik yang hendak digunakan bukanlah sembarangan jurus.
Bersambung….