Zara adalah gambaran istri idaman. Ia menghadapi keseharian dengan sikap tenang, mengurus rumah, dan menunggu kepulangan suaminya, Erick, yang dikenal sibuk dan sangat jarang berada di rumah.
Orang-orang di sekitar Zara kasihan dan menghujat Erick sebagai suami buruk yang tidak berperasaan karena perlakuannya terhadap Zara. Mereka heran mengapa Zara tidak pernah marah atau menuntut perhatian, seakan-akan ia menikmati ketidakpedulian suaminya.
Bahkan, Zara hanya tersenyum menanggapi gosip jika suaminya selingkuh. Ia tetap baik, tenang, dan tidak terusik. Karena dibalik itu, sesungguhnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih Flashback
Masih Flashback.
Erick selalu merasa dunianya berjalan di atas pasir hisap. Setiap langkah terasa berat, dan beban batin yang terus menekannya. Ia menjalankan perannya sebagai suami yang berjuang demi Emily, namun balasan yang ia terima tidak pernah sebanding.
Ia tak pernah tahu, bahwa dalam setiap kesulitan yang ia hadapi, ada sepasang mata yang mengawasinya dengan penuh kepedulian, dan sepasang tangan yang sigap menopangnya. Sosok itu adalah Zara.
Pernah satu waktu, Emily meminta Erick mendapatkan sebuah jam tangan edisi terbatas, yang bahkan mustahil ditemukan dalam waktu kurang dari 24 jam. Emily menyebutnya sebagai ujian kesetiaan dan memberikan tenggat waktu yang tidak masuk akal. Lusa pagi, jam 8 tepat. Zara mengetahui persis peristiwa itu. Ia mengikuti Erick dari jarak yang aman ke sebuah kafe, tempat Erick dan Emily berdiskusi dengan tegang. Dari sana, Zara tidak hanya mendengar detail permintaan yang mustahil itu, tetapi juga menyaksikan sorot mata meremehkan dari Emily yang semakin menguatkan tekadnya.
Zara tahu, ini bukan sekadar permintaan barang, tapi perlakuan yang menyakitkan.
Sebagai seorang wanita, Zara memiliki sedikit keuntungan. Dengan petunjuk samar yang Emily berikan--sebuah merek mewah dan warna tertentu--Zara segera memulai perburuannya. Gerakannya gesit dan terencana, jauh lebih cepat daripada Erick yang memulai pencarian dengan hati penuh keputusasaan dan kebingungan. Zara memanfaatkan koneksi toko daring dan pengepul barang langka yang ia kenal.
Saat Erick baru saja melangkahkan kaki menuju toko barang antik yang ia yakini mungkin menyimpan petunjuk, langkahnya dihadang oleh seorang bocah kecil berwajah ceria.
"Om, ada titipan," kata si bocah sambil menyurukkan sebuah paper bag.
Erick yang terburu-buru mengerutkan kening, pandangannya tertuju pada jam tangan yang melingkari pergelangan tangan. Ia meraih tas itu. "Dari siapa, Nak?" tanyanya.
Si bocah hanya menyunggingkan senyum lebar, gigi depannya yang ompong sedikit terlihat. Persis seperti pesan yang Zara berikan, bocah itu tidak bilang kalau itu dari Zara. Setelah itu, ia langsung membalikkan badan dan lari secepat kilat.
Erick menggelengkan kepala, terheran-heran. Ia membuka tas kertas itu, dan jantungnya berdegup kencang. Di dalamnya terbaring jam tangan persis seperti yang Emily inginkan. Tanpa membuang waktu sedetik pun, Erick segera menuju Emily, berhasil memenuhi tuntutan tidak masuk akal itu, dan untuk sesaat, ia merasa lega tanpa pernah tahu ada malaikat pelindung tidak terlihat yang baru saja menyelamatkannya dari amarah Emily.
Bukan hanya pada apa yang dibutuhkan Erick yang diperhatikan Zara, tetapi juga keselamatannya. Suatu hari, Erick hampir mengalami kecelakaan mobil karena Zara lihat ada yang menyabotase mobil Erick.
Zara diam-diam mengempiskan ban mobilnya agar Erick tidak pergi menggunakan mobil tersebut. Dan saat Erick sedang pesan taxi online, seorang bocah datang lagi, kasih pesan coba om cek remnya.
Erick memeriksa, dan benar saja ada yang teputus sehingga dapat membahayakan siapapun yang bawa mobil tersebut.
Ada juga yang lain,
Situasi lain yang jauh lebih intim dan berbahaya terjadi ketika Erick terkena jebakan obat perangsang dalam sebuah acara kantor. Erick mulai kepanasan, napasnya tersengal, dan gairahnya melonjak. Emily yang memasukkannya ke dalam minuman Erick, kini mempermainkannya. Ia menjauh, dan melihat Erick yang merangkak mendekat dengan pandangan memohon.
Zara yang berhasil masuk ke area tersebut dengan menyamar sebagai petugas kebersihan, melihat keadaan Erick. Wajah Erick merah padam, keringat bercucuran, dan matanya menunjukkan penderitaan yang luar biasa. Kasihan melihat Erick diperlakukan seperti itu, Zara mengambil tindakan cepat.
Zara meraih kerah baju Erick, dan dengan tenaga yang entah datang dari mana, ia menyeret Erick ke kamar mandi karyawan terdekat. Erick meronta, tubuhnya yang panas mencari kontak fisik.
"Tolong saya," Ujar Erick, matanya sayu.
"Tahan, Pak. Tahan sebentar." seru Zara.
Begitu sampai di kamar mandi, Zara menyalakan pancuran air dingin. Ia tidak memuaskan gairah Erick, tapi mengguyur tubuh laki-laki itu dari kepala hingga basah kuyup, berharap dinginnya air dapat meredam efek obat tersebut.
Air dingin itu membuat Erick tersentak. Rasa gairah yang menguasainya sedikit demi sedikit tergantikan oleh rasa dingin. Dalam kondisi setengah sadar dan basah kuyup, Erick menatap wajah Zara, yang pada mulanya Erick tidak ngeh itu siapa.
Zara segera mematikan air dan mendorong Erick masuk ke bilik toilet, menguncinya dari luar.
"Bapak tetap di dalam sampai air ini meresap, dan Bapak tenang," perintah Zara. Ia menunggu di luar, jantungnya berdebar-debar.
Setelah beberapa saat, Erick yang mulai sadar mengetuk pintu. "Siapa di luar? Aku sudah lebih baik. Siapa kamu?"
Zara membuka kunci dan menatap mata Erick. Kali ini mereka berhadapan tanpa ada drama menguntit diam-diam. Erick melihat ketulusan di mata wanita itu. Ia merasa pernah melihatnya.
"Wajah kamu… tunggu. Kamu caregiver yang menjagaku di rumah sakit dulu? Yang selalu memutarkan musik klasik di malam hari?" tanya Erick, ingatannya perlahan tersambung.
Zara mengangguk pelan, dan Erick jadi mulai berfikir.
"Apa jangan-jangan kamu adalah orang dibalik anak kecil yang selalu menghadangku?" desak Erick, menyadari serangkaian keajaiban yang selama ini diterimanya.
Zara terdiam sejenak, tidak mampu menyembunyikan lagi. "Aku hanya tidak tega melihat Bapak," jawabnya. Dari perjumpaan inilah, Erick akhirnya tahu bahwa Zara, yang dulu hanya ia anggap sekilas, adalah pelindungnya selama ini.
Dan sejak kejadian penjebakan minuman, Erick dan Zara mulai menjalin komunikasi. Zara yang merasa misinya telah usai, mulai mengurangi penguntitan terhadap Erick. Ia kembali menjalani kehidupannya, namun hati kecilnya masih tertuju pada Erick.
Suatu sore, sepulang dari kampus sambil menikmati permen gagang, Zara berjalan melewati jembatan penyeberangan yang sepi. Ia terkejut menemukan eksistensi Erick di pinggir pembatas. Erick berdiri dengan pandangan kosong, siap melompat ke bawah, tempat kali mengalir deras.
"Om Erick!" panggil Zara. Ia berlari mendekat. Panggilannya sudah beralih dari Bapak menjadi Om atas permintaan Erick, yang merasa panggilan Bapak terlalu kaku. Kata Erick panggil nama saja, tapi Zara memilih Om karena merasa sungkan memanggil nama saja.
Erick menoleh, matanya merah tapi segera kembali fokus pada air di bawah. Saat Erick bersiap terjun, Zara bertindak naluriah. Ia meraih gesper celana Erick, menariknya kuat ke belakang. Tubuh Erick yang rapuh terhuyung, jatuh ke arah Zara. Kebetulan, seorang pejalan kaki lain yang melihat adegan itu segera ikut menolong.
"Om, jangan begini," ujar Zara. Ia ingin memberikan ceramah tentang perjuangan untuk bisa tetap hidup, tetapi ia menahannya. Zara tahu, menghakimi orang yang putus asa adalah hal yang paling egois.
"Cerita ke aku, Om. Ada apa?"
Setelah berkali-kali ditanya, Erick yang sudah terpuruk akhirnya bercerita sambil nangis. Ia merasa tidak berguna, terus menerus salah, penyakitnya juga semakin parah, dan kini ia juga tahu Emily ternyata berselingkuh.
"Aku mau mati aja, Zara. Rasanya aku nggak sanggup menderita seperti ini lagi," lirihnya.
Zara menguatkan Erick. Ia berbicara panjang lebar, bukan dengan kata-kata klise, tapi dengan empati yang tulus, mengingatkan Erick bahwa bunuh diri bukanlah jalan keluar. Untuk pertama kalinya, Zara membawa Erick ke sebuah taman kota yang ramai. Ia betul-betul mengobati luka batin Erick tanpa ada sekat yang menghalangi.
Erick akhirnya bisa tersenyum, bahkan tertawa lepas setelah sekian lama. Di akhir perjalanan, Zara melepas boneka kecil bandul kunci dari tasnya, memberikannya kepada Erick.
"Ini buat nemenin Om. Jadi Om nggak perlu merasa sendirian lagi," katanya tulus.
Zara yang juga melihat pembengkakan di kaki dan wajah Erick, serta wajahnya yang makin pucat dan lemas, meminta Erick untik menjalani HD. Ajaibnya, kali ini Erick setuju. Zara pun senang mendengarnya.
Erick mulai menjalani Hemodialisis (HD) dua kali seminggu. Zara kadang kala menemani.
Dan pada saat moment itu, terjadi...
.
.
Bersambung.
🤔🤔🤔 kira kira rencana apalagi yg disusun Emily
sekarang koq malah jadi obsesi ya kesannya😔😔
jadi lebih baik kau perbaiki dirimu sendiri bukan untuku TPI untk masa depanmu sendiri
bay