NovelToon NovelToon
World Imagination

World Imagination

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Epik Petualangan / Akademi Sihir / Kehidupan Tentara / Perperangan / Barat
Popularitas:409
Nilai: 5
Nama Author: LIMS OFFICIAL

Sean, bocah 11 tahun yang berlayar sendirian menuju sebuah negara yang diamanahkan sang kakek. 11 tahun telah berlalu sejak ia dan kakeknya terpaksa meninggalkan sebuah negara, tempat Sean lahir. Di negara inilah, dia akan bertemu dengan orang-orang baru yang menemani kerja kerasnya. Namun kisahnya tidak semenyenangkan itu. Bersamaan dengan pengaruh baik, ada banyak tantangan gila menantinya di depan. Dia hanya bocah 11 tahun!

Apakah Sean dan teman-temannya bisa menghadapi setiap masalah demi masalah yang tak kunjung pergi? Simak dan ikuti perjalanannya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Penasaran

"Sean! Sean!" Jiali memanggil Sean yang belum juga terlihat turun. "Sudah jam berapa ini?" gumam Sean menyeka selimutnya.

Ia memperhatikan jam alarm di mejanya sambil mengembalikan "Astaga! Aku sudah terlambat" gumam Sean menyibak selimutnya.

"Sepertinya dia menyadari waktu sudah menipis untuk ia dapat bersiap" tutur Marito sambil menikmati kopi.

"Kau tidak membangunkannya?" tanya Jiali terheran. "Jika di asrama disediakan bel bangun tidur, maka di rumah sebaliknya. Kalau dia bergantung pada seseorang, dia tidak akan mandiri" jawab Marito dengan santai.

Jiali menghela nafas. Ia siap mendengar keributan pagi ini.

"Guru! Kenapa guru tidak membangunkanku?!" tanya Sean tiba di ruang makan dengan ekspresi panik. "Aku tidak suka mengganggu orang yang tidurnya sangat nyenyak" jawab Marito santai.

"Astaga! Guru, jika aku terlambat tidak hanya aku saja kena omel tapi juga guru!"

Sean akhirnya bergegas tanpa ingat bekal makan siang yang sudah Jiali sediakan. Marito menghela nafas memaklumi. Sean memang benar.

Ketika semua akan bergegas pergi bekerja, "Eh? Kotak bekal siapa ini?" tanya Chloe mendapati sebuah kotak bekal yang dibungkus rapi.

Jiali yang belum sempat meraih sepatunya, menghampiri Zoe. "Astaga! Sean lupa membawa makan siangnya" tutur Jiali panik.

"Bocah itu" gumam Daisuke menepuk jidatnya. "Biar aku saja. Perjalananku satu arah ke akademi" tawar Zoe segera.

"Bukankah pagi ini kau dan Chloe ada misi?" tanya James terheran. "Aku dan Marito pagi ini, Zoe akan memantau dari kantor" jawab Chloe segera. Marito menghela nafas lelah.

Entah kenapa, energinya pagi itu sama sekali tidak terkumpul. Firasatnya mengatakan, akan ada sesuatu yang lebih merepotkan.

Rumah pagi itu kosong. Zoe mulai berjalan menuju akademi. "Terakhir kali aku menginjakkan kaki di sana, saat aku lulus. Setelahnya aku tidak pernah kembali. Apa akademi banyak berubah?"

Zoe asik memandangi sekitar. Ibu kota memang selalu ramai dan berisik.

Beberapa saat ia berjalan, ia akhirnya sampai di depan gerbang akademi. "Ada perlu apa tuan?" tanya penjaga di gerbang.

"Bisakah aku masuk? Aku harus memberikan bekal ini pada adikku" jawab Zoe menunjukkan kotak bekalnya. Penjaga berpikir sejenak.

"Bagaimana jika dititip saja?" tawar penjaga itu segera. "Ahk, lebih baik" jawab Zoe setuju.

Penjaga melihat-lihat seseorang yang bisa diberi tugas memberikan kotak bekal tersebut.

Hingga akhirnya, "Hey, nak! Kemarilah!" panggil penjaga pada seorang bocah. Ia baru saja keluar dari kantor guru yang berhadapan langsung dengan gerbang akademi.

Dari perawakannya, ia sepertinya seorang senior satu tingkat di atas Sean.

Zoe terdiam kaku, merasa mengenali seseorang dari wajah bocah itu.

"Ainsley ?!"

Ange menghampiri mereka. "Ada perlu apa tuan?" tanya Ange dengan sopan. "A-Ahk, bisakah kau memberikan bekal ini pada adikku? Dia lupa membawanya tadi karena terburu-buru"

Ange menerima kotak bekal itu. "Sean? Aku baru tahu Sean punya seorang kakak" ujar Ange mengenali nama pada kertas yang ditempel di kotak bekal tersebut.

"Begitulah" jawab Zoe terkekeh seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Baiklah, akan kuberikan padanya nanti" Ange tersenyum tenang. "Terimakasih" Zoe akhirnya meninggalkan mereka, dan Ange kembali menuju gedung akademi.

Di sisi lain, Zoe masih terus memikirkan Ange. "Jadi dia yang dibicarakan kak Chloe kemarin?" gumam Zoe dengan tatapan misterius.

Sementara Marito dan Chloe, "Kota... apa, ini?" gumam Chloe terkejut setelah sampai di sebuah wilayah dengan puing-puing bangunan gedung. Kota itu hancur, dan hening bagai kota mati.

"Berhati-hatilah di sini banyak kriminal" pesan Marito berjalan memasuki wilayah itu.

Keduanya mengenakan jubah hitam bertudung. Mereka berjalan memasuki wilayah tersebut. "Mengapa kau tidak pergi bersama Daisuke?" tanya Chloe terheran.

"Dia dan Zoe harus memecahkan teka-teki yang kudapat dari buku diary kakak. Tugas berpikir serahkan saja pada mereka" jawab Marito dengan santai. Chloe menghela nafas memaklumi.

Semakin mereka memasuki kota, mereka hanya mendapati bangunan-bangunan yang kosong dan hancur setengah bagian.

Suara langkah kaki mereka memecahkan keheningan di kota mati itu.

"Menghindar!" Chloe dan Marito segera menghindari serangan yang datang pada mereka.

Mata biru Marito mulai menyala, sementara Chloe membuka sebagian perban yang menutupi wajahnya. "Tak kusangka, ada orang yang bisa mengetahui kota mati ini"

Seseorang keluar dari kepulan debu. "Harimau Biru dan Chollima Hijau" seorang pemuda keluar.

Chloe mengerutkan keningnya, merasa asing dengan suara pemuda yang berada di hadapannya.

"Lama tidak berjumpa, Bowen"

Chloe melotot terkejut setelah mendengar Marito menyapa pemuda itu.

"Tidak perlu terkejut begitu, Chloe. Aku lebih terkejut kau sudah berani menunjukkan tanda kutukan itu"

Bowen tersenyum pada mereka.

Marito dan Chloe bersiap dengan senjata mereka. "Santai saja, tidak perlu semenakutkan itu" tutur Bowen terkekeh.

"Sejak kapan kau di sini?" tanya Chloe dengan nada dingin. "Sejak kapan? Entahlah, aku juga sudah lupa" jawab Bowen terkekeh.

Ia kini beralih menatap Marito. "Marito, sepertinya bocah bermata biru itu unik"

Marito tetap tenang. Chloe memperhatikan rekannya yang hanya menunjukkan ekspresi datar. "Ya, dia unik" jawab Marito santai.

"Wajahmu sama sekali tidak berubah, yah. Sejak pertama kali kita bertemu, kau hanya menjadi seorang gadis pendiam super jenius"

"Tapi soal kekuatan, kurasa aku masih bisa melampauimu"

Marito berhasil menahan serangan dari Bowen. Gadis itu memejamkan matanya.

"Hee... menciptakan halusinasi?"

Bowen segera menghindari serangan Chloe.

"Kalian adalah rekan serumah dinas yang komplit. Si manusia jenius, dokter sihir, dokter penangkal, ninja pelarian, dan anak kaisar yang kabur"

Chloe mengerutkan keningnya menatap tajam pemuda di hadapannya. Sebelum pemuda ini menjadi penjahat berwajah ceria, ia dulunya bekerja sama dengan mereka dalam militer.

"Marito, muridmu itu... akan dihukum mati, tahu" Bowen mengatakannya sambil menyeringai.

Marito hanya memberikan tatapan dingin. "Lalu?" tanya Marito dengan santai.

"Aku benci orang yang berpura-pura" gerutu Bowen menatap kesal Marito sambil tersenyum sinis.

"Kau tidak malu? Kau menciptakan produk gagal-"

"Karena aku tidak mempunyai cukup alat"

Bowen menatap Marito tertegun. "Aku tidak memiliki seluruh perlengkapan sehingga aku menciptakan produk gagal"

Marito mengatakannya tanpa beban. "Cih, kenapa kau selalu saja bersikap tegar?!" gumam Bowen kesal. Ia meninju sebuah gedung hingga hancur.

"KENAPA KAU TIDAK MENJADI PENJAHAT? KAU MENDERITA BUKAN?!"

Marito diam. Chloe hendak maju menyerang menggunakan tangannya, untuk memberi isyarat mundur dan tetap tenang.

"Aku bukan dirimu. Dan hal sama juga terjadi, kau bukan diriku. Cara pandang kita sama. Jika kau merasa bahwa dunia ini terlalu kejam untukmu, maka aku merasa dunia ini terlalu adil untukku"

Bowen terdiam.

"Kau kehilangan banyak hal karena dunia, aku menerima berbagai keadilan karena dunia. Saat kau memiliki keluarga dan kau kehilangan mereka, itulah alasan kau menyebut dunia kejam bukan?"

Bowen tidak mampu menjawab.

"Sama halnya. Saat aku lahir, aku punya bakat dan dunia merebut banyak hal dariku agar aku berkembang. Itu adil"

Chloe menatap Marito. Ada sebuah rasa sakit yang tertahan jauh di dalam tatapan dingin itu.

Tatapan yang semakin lama berubah.

"Cih, apa alasan kau datang kemari? Kau seharusnya sudah tahu sejak awal aku di sini bukan?" tanya Bowen bersiap menyerang.

"Singkatnya, kau harus kembali dan terima hukuman atas tindakanmu" jawab Chloe segera.

Bowen tersenyum remeh. "Aku merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Sepertinya yang kulakukan kemarin benar" jawab Bowen sinis.

"Sulit sekali berbicara dengan batu" gumam Chloe menyiapkan senjatanya.

"Aku urus bagian kiri, dan kau kanan"

"Baiklah"

Di sisi lain,

"Rumah dinas?" tanya Ange terkejut setelah mengetahui Sean ternyata tinggal di rumah dinas.

Sean mengangguk sambil tersenyum. "Kau pasti selalu merasa aman bukan? Banyak orang yang melindungimu di sana" ujar Joy antusias.

"Tidak juga. Mereka bekerja, jadi aku juga harus bisa jaga diriku" jawab Sean terkekeh.

"Ange, bisakah aku... bertanya sesuatu?" tanya Sean tampak serius. Ia menatap Joy.

"Baiklah, ini pembicaraan serius" tutur Joy terkekeh lalu ia segera beranjak.

"Apa yang ingin kau tanyakan?" Ange terheran dengan kepergian Joy.

"Apa tujuanmu masuk akademi? Apa kau benar-benar ingin menjadi anggota militer atau... ada yang ingin kau balaskan?"

Ange terdiam. Ia tidak menyangka, Sean bisa berpikir sejauh itu.

Ange menghela nafas. "Keduanya benar" jawab Ange mulai menunjukkan ekspresi berbeda.

Kini bocah itu menunduk dalam. Raut wajah sedih, kesal, marah yang lama ia simpan, semua menjadi satu bagian utuh dan membentuk ekspresi itu.

"Aku ingin bekerja sebagai anggota militer, agar aku bisa membunuh kakakku sendiri"

Sean yang mendengarnya terdiam dan menatap Ange tidak percaya.

"Mem... bunuh?"

Ange kini memberanikan diri menatap Sean. Sejujurnya, bocah itu tidak terlalu suka menceritakan kisahnya yang rumit.

Tapi entah kenapa, juniornya seakan memiliki magnet untuk menarik dirinya sekaligus sebuah kunci untuk menjaga rahasia.

"Aku punya seorang kakak laki-laki yang usianya 7 tahun lebih tua dariku. Dia membunuh orang tuaku, dan klan kami. Hanya dirinya, dan aku yang tersisa. Namanya sudah tersebar luas sebagai buronan yang begitu dicari"

Sean menatap iba senior di hadapannya.

"Aku benci dirinya, dia-"

"Kau hanya marah, Ange"

Ange diam menatap bocah itu.

"Maksud... mu?" gumam Ange terheran.

"Kau tidak membencinya bukan? Rasa sayangmu padanya mengalahkan fakta bahwa ia pembunuh"

Ange tidak bisa menjawab dugaan itu. Siapa Sean ini sebenarnya? Siapa ayahnya? Ibu? Atau siapapun kerabatnya? Mengapa ia, begitu pintar?

"Kau selalu berusaha meyakinkan dirimu bahwa kau membencinya, padahal rasa sayangmu lebih besar dari rasa benci itu. Sehingga yang terbentuk ialah rasa marah yang berlebihan"

Ange menunduk. Bulir-bulir bening berkilau tanpa terasa mulai menetes dari mata emas Ange.

"Aku sudah terlalu buntu, Sean"

................

"Aku pulang" gumam Sean memasuki rumah. Ia mendapati rumah kosong. "Aku, sendiri?" gumam Sean ada rasa takut.

Ketika ia akan berjalan menaiki anak tangga.

"Sepertinya kakekmu merawatmu dengan baik"

Langkah Sean terhenti. Ia menoleh ke sumber suara. Wajahnya memucat mendapati orang asing di dalam rumahnya.

"Siapa kau?!" Sean segera waspada. "Siapa aku itu bukanlah hal penting, Nasution"

Sean memiringkan kepalanya bingung. "Nasution? Apa kau ini orang gila yang menyelinap masuk ke rumah orang? Namaku Sean Colbert. Sejak kapan Sean bisa berubah menjadi Nasution?"

Pemuda yang duduk santai di sofa hanya menatap Sean dengan tatapan dingin.

"Aku bisa melihat dengan jelas takdirmu itu. Mata biru bagaikan lautan, akan memperlihatkan betapa mengerikannya dunia ini"

Pemuda itu bangkit berdiri. "Apa maksudmu? Aku akan laporkan kau pada guru dan yang lain, kau ini siapa? Atau kau ini kriminal?!"

"Guru, yah?" gumam pemuda itu membelakangi Sean. "Sampaikan salamku padanya, senang berkenalan denganmu. Kuharap kau tidak mengikuti jalanku, anak baru"

Setelahnya pemuda itu menghilang. Sean tidak bisa mengenali wajah pemuda itu karena ditutupi tudung dari jubah pemuda itu.

"Tapi saat aku melihat warna matanya, matanya mirip... Ange"

Setelah kejadian itu, malamnya rumah kembali ramai. Ia memutuskan untuk tidak menceritakan hal tersebut pada mereka, terutama Marito.

"Sihir ciptaanku?" tanya Marito terkejut setelah mendengar niatan Sean ingin mempelajari sihir buatan Marito sendiri.

"Semua murid guru menguasainya bukan?"

"Tidak"

Sean tampak terkejut. "Hanya Zoe yang tidak menguasai sihir ciptaanku" Marito bangkit berdiri.

"Kak Zoe? Kenapa guru tidak mengajarinya?" tanya Sean terheran. "Zoe itu tidak sepenuhnya diajar Marito, dia sudah diajar seseorang lebih dulu sebelum Marito"

Sean kini beralih menatap Zoe yang sudah tertidur di sofa. "Jika kau ingin kuajari sihir itu, lebih baik besok saja. Ini sudah malam, dan besok adalah akhir pekan"

Sean merenung kembali. Perkataan pemuda tadi, masih terngiang dengan jelas.

Siapa dia? Apa tujuannya mengatakan itu?

"Aku sudah mengantuk, jadi aku akan beristirahat" Sean beranjak menuju kamarnya.

"Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikirannya" tutur Jiali setelah Sean menghilang.

"Mengapa kau menduga demikian?" tanya James yang menyelimuti Zoe. "Dia selalu belajar setiap malam, dan bocah itu tidak mengenal rasa kantuk" jawaban Marito membuat mereka diam.

"Kau mau ke mana?" tanya Marito terheran ketika Daisuke beranjak. "Tidur" jawabnya tanpa menoleh. Marito tahu maksud rekannya itu.

Daisuke beralih naik dan menghampiri kamar Sean. "Masuk saja" perintah Sean ketika pintu diketuk.

"Kau tidak menguncinya?" tanya Daisuke setelah berada di dalam kamar. "Guru berpesan agar akh tidak mengunci pintu" jawab Sean segera.

Bocah itu tampaknya sudah sempat termenung. Ia duduk di pinggir ranjangnya, dan seolah pikirannya kini berisik akan sesuatu di sana.

"Apa yang mengganggu pikiranmu?" tanya Daisuke bersandar di pinggiran pintu.

Sean diam tidak menjawab. Dia sudah membaca sifat-sifat para anggota militer di rumah ini.

Apalagi setelah ia tahu Marito membunuh penyihir yang hampir membunuh Sean, itu membuatnya cukup takut untuk mengadu.

"Katakan saja, sifatku dengan Marito tidak sama"

Sean menatap Daisuke terkejut.

"Aku bisa melihat dengan jelas takdirmu itu. Mata biru bagaikan lautan, akan memperlihatkan betapa mengerikannya dunia ini"

Sean diam beberapa saat.

"Apa lautan itu mengerikan, oniisan?" tanya Sean ragu. "Lautan? Ya, di sana juga ada tempat tersembunyi bagi para musuh" jawab Daisuke membenarkan pertanyaan itu.

"Apa takdirku sama mengerikannya dengan lautan?" tanya Sean tanpa menoleh. Daisuke tentu terkejut mendengarnya.

"Apa kau diganggu temanmu? Mengapa kau membicarakan hal aneh semacam itu?" tanya Daisuke terheran dan kini ia menghampirinya.

"Tidak, aku hanya... takut aku akan kehilangan beberapa hal ketika aku sudah menjadi anggota militer nanti"

Daisuke menghela nafas memaklumi. Ia tertawa kecil mendengarnya.

"Apa yang lucu?" tanya Sean kesal.

"Kau tahu, apa yang kau katakan ini mirip sekali dengan rekan setimku yang sudah mendiang" ujar Daisuke tertawa kecil.

Sean menunjukkan ekspresi terkejut.

"Dia takut akan kehilangan orang-orang terdekatnya saat baru pertama kali menjadi anggota militer. Tapi dia tetap bekerja keras"

Daisuke menunjukkan senyuman menahan sedih mengingat beberapa hal-hal indah di masa lalu.

"Menurutku kau harus lumayan bersyukur, bocah. Pada zamanku dulu, anak-anak seusiamu gugur dalam perang. Mereka yang memiliki bakat seperti Marito akan diluluskan cepat, dan harus menyelesaikan berbagai misi berbahaya"

Daisuke menghampiri jendela kamar bocah itu. Ia menatap langit malam dipenuhi bintang-bintang bercahaya yang ia tidak tahu seberapa besar ukuran bintang itu sebenarnya.

"Kalau soal takdir yang mengerikan, semua memiliki takdir menakutkan di masa depan. Mau apapun yang kau pertahankan, manusia tetap akan ditakdirkan mati"

Sean tertegun. Perkataan yang sama juga pernah diucapkan Arie padanya.

"Ya ampun, karena kau jenius begini kau jadi penuh bimbang. Kau dan Leon benar-benar guru dan murid"

Sean tertawa kecil seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Tidurlah, besok latihanmu pasti berat" pesan Daisuke hendak keluar.

"Oniisan, tunggu" ujar Sean menghentikan Daisuke sejenak. "Hmm?" gumam Daisuke tanpa menoleh.

"Apa yang oniisan lakukan saat oniisan kehilangan rekan oniisan ketika misi?" tanya Sean ragu. Daisuke tersenyum simpul.

"Merelakan"

Sean menatap punggung lebar Daisuke penuh kagum. "Selamat malam" Daisuke akhirnya menghilang dari pandangan.

Sean akhirnya merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Bocah itu memandangi langit-langit kamarnya yang gelap.

"Hey, bocah"

Sean dibuat terkejut mendengar suara itu. Ya, suara yang berasal dari dalam dirinya sendiri.

"Tampaknya kau merenung sepanjang hari setelah mendengar ucapan murid Marito itu"

Sean kembali mengubah posisinya menjadi duduk. "Apa maksudmu?!" bocah itu tentu terkejut.

"Sayang sekali dia tidak menunjukkan keseluruhan wajahnya. Dia orang yang dicari selama ini, dan menurutku dialah murid Marito paling berhasil di antara yang lain"

Sean kini menatap fotonya dengan Marito yang dibingkai. "Siapa namanya?" tanya Sean.

Namun suara itu menghilang. "Cih, menyebalkan" gerutu Sean kesal.

"Dengan siapa kau berbicara, Sean?" tanya seseorang berhasil membuat bocah itu mematung.

Perlahan ia menoleh ke sumber suara. Marito. Mata birunya tampak menyala dalam kegelapan.

"Guru..." gumam Sean terkejut. "Tidurlah, aku tidak mau kau besok menunjukkan berbagai kelemahanmu" gadis itu berbalik dan meninggalkan bocah itu.

Sean mengerutkan keningnya.

"Pantas saja kau menghilang, ternyata karena guru datang"

...****************...

"Kau sudah bangun, Sean?" tanya Jiali baru selesai memasak. "Sudah, aku harus mengisi perutku sebelum latihan" jawab Sean terkekeh.

"Yang lain... mana?" tanya Sean terheran. "Astaga aku lupa. Bisakah kau membangunkan James? Dia punya janji berkunjung ke rumah keluarganya"

Sean menurut dan berjalan menuju kamar James. "Kak James..." panggil Sean mendapati James masih tertidur pulas.

"Kak, bukankah kau punya janji dengan keluargamu?" tanya Sean berbisik. "Astaga! Aku lupa" James langsung tersadar.

Sean tertawa kecil. Setelahnya ia kembali ke ruang tamu, dan mendapati Chloe yang masih setengah mengantuk. Tampaknya ia kurang tidur.

"Sean, Marito dan Daisuke sedang di kantor sejak tadi malam. Tunggu saja di rumah dengan Zoe, jangan pergi tanpa ditemani

Jiali dan Chloe tampaknya akan pergi. "Baiklah" jawab Sean paham.

Ketika suasan rumah sudah sepi, Sean menikmati sarapannya sendirian.

"Selamat pagi" sapaan itu berhasil mengejutkan Sean. Zoe baru saja bangun.

"Hampir saja jiwaku melayang" gumam Sean terkekeh. "Di mana yang lain?" tanya Zoe terheran. "Kak James pergi ke rumah keluarganya, guru dan oniisan masih di kantor, kak Chloe dan kak Jiali pergi berdua"

Zoe mendengar dengan seksama. "Tunggu, kak Chloe dan kak Jiali... pergi berdua?!" tanya Zoe terkejut.

"Ya... mereka mengenakan pakaian yang rapi dan bagus" jawab Sean membenarkan.

"Sean, ayo lihat isi buku album!" ajak Zoe antusias.

"Buku album?"

Beberapa saat,

"Woah, rambut guru ternyata lebih panjang saat remaja" Sean tampak terkejut dengan perubahan gurunya. "Oniisan juga dulunya berambut pendek, kenapa ia membiarkannya panjang sekarang?" gumam Zoe juga terkejut.

Mereka mengganti halaman demi halaman. "Perempuan cantik ini... siapa?" tanya Sean menunjuk seorang wanita berambut pirang panjang dengan mata abu-abunya.

"Dia kakak ipar guru, seorang dokter" jawab Zoe mengenali siapa yang dimaksud.

"Kakak ipar?" gumam Sean terkejut. "Guru punya kakak laki-laki, dan kakaknya sudah menikah" jawab Zoe tersenyum memperhatikan foto itu.

"Apa kakak laki-laki guru itu hebat?" tanya Sean penasaran. "Sangat hebat! Dia juga jenius, walau guru seniri lebih jenius darinya"

Sean tentu mulai mencari foto dari laki-laki yang menjadi saudara gurunya di buku album itu.

Beberapa saat ia mencari, ia akhirnya menemukan sebuah foto. Ia tentu dibuat terkejut.

Ada seorang pria, dengan 3 anak laki-laki dan satu orang anak perempuan.

"Mereka ini siapa, kak?" tanya Sean penasaran. "Mereka? Pria ini tuan Johnson, lalu mereka ini murid-muridnya. Guru, oniisan, kakak guru, lalu dia rekan setim guru dan oniisan" Zoe menunjuk setiap orang di sana.

Sean mengerutkan keningnya. Ia mengenali pria yang berfoto dengan keempat anak-anak itu.

"Bagaimana wajah kak Chloe penasaran?" tanya Sean mengalihkan topik untuk menghilangkan rasa penasarannya yang berlebih.

"Ahk dia? Ini" Zoe membuka halaman demi halaman. "Ini dia!" Zoe akhirnya menemukan yang ia cari. "Woah? Siapa mereka ini?" tanya Sean terkejut dengan ketiga wajah dalam foto itu.

"Yang kanan ini kak James, lalu kiri kak Chloe, yang di tengah kak Jiali" jawab Zoe lagi.

"Woah, kak Jiali sangat cantik sejak dulu" gumam Sean kagum. "Oniisan saja dulu sempat naksir pada kak Jiali" Zoe menjelaskan itu dengan senyuman bangga terukir di bibirnya.

"Yang benar saja, oniisan juga tampan. Kenapa mereka tidak menikah saja?" tanya Sean terheran. "Tidak cocok, oniisan itu lebih baik bersanding dengan guru saja!"

Zoe mencari sebuah foto. "Lihat, mereka cocok bukan?" tanya Zoe menemukan foto Daisuke dan Marito hanya berdua.

"Mereka seperti pasutri baru" gumam Zoe jahil. "Kak Zoe!" pekik Sean menyadari dua orang berdiri di belakang Zoe.

"Ada apa?" tanya Zoe terheran dengan ekspresi ketakutan Sean. "Ternyata kalian sedari tadi di sini?" tanya suara seseorang.

Zoe mematung. Namun perlahan ia berbalik badan.

Ya, Marito dan Daisuke.

"Cepat bersiap! Sekarang!"

"BAIK!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!