Siapa sangka putri tertua perdana menteri yang sangat disayang dan dimanja oleh perdana menteri malah membuat aib bagi keluarga Bai.
Bai Yu Jie, gadis manja yang dibuang oleh ayah kandungnya sendiri atas perbuatan yang tidak dia lakukan. Dalam keadaan kritis, Yu Jie menyimpan dendam.
"Aku akan membalas semua perbuatan kalian. Sabarlah untuk menunggu pembalasanku, ibu dan adikku tersayang."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31
"Hahaha!" suara tawa Fang Ling pecah lebih dulu, menggema di dalam ruangan.
"Adik, jangan terlalu keras!" ujar Fang Hua, menatap waspada ke arah pintu.
"Maaf, Kak! Tapi wajah pelayan itu benar-benar lucu. Sedikit gertakan saja, dia sudah gemetar seolah hendak dihukum mati," jawab Fang Ling, masih terpingkal.
Lin Lian hanya menggelengkan kepala melihat keempat putrinya. Meskipun tampak seperti sedang bermain-main, ia tahu betul bahwa ini bagian dari siasat mereka.
Siapa sangka, baru sehari menginjakkan kaki di kediaman Bai, mereka sudah mendapatkan seorang kaki tangan. Pelayan itu sendiri yang tanpa sadar menyerahkan dirinya karena kebodohannya sendiri.
"Aku lebih takjub dengan cara bicaramu yang begitu lancar," komentar Yu Jie sambil melirik adiknya.
"Hehehe, itu karena aku pandai membaca situasi," jawab Fang Ling dengan bangga.
"Tentu saja, aku belajar dari kakak-kakakku juga," timpalnya cepat.
"Aku tidak menyangka si bungsu dapat diandalkan," timpal Fang Li.
"Kakak pikir aku ini tidak bisa apa-apa," protes Fang Ling dengan wajah cemberut.
"Sudah, sudah!" Lin Lian menengahi.
"Lebih baik kalian beristirahat dulu," timpal Lin Lian.
"Ibu selalu saja membelanya," keluh Fang Hua setengah bercanda.
"Ibu tidak membela siapa-siapa. Tapi kalau tidak ditengahi, kalian berdua bisa ribut sampai malam," jawab Lin Lian sambil tersenyum tipis.
"Ibu benar. Sekarang selagi keadaan masih tenang, kita perlu menyusun rencana," ucap Yu Jie, suaranya serius kembali.
"Kakak, aku penasaran kapan kakak membuat obat mengerikan itu?" tanya Fang Ling sambil mendaratkan bokongnya ke kursi di samping Yu Jie.
"Seingat ku, setiap kali adik ketiga membuat obat atau racun dengan ramuan baru pasti akan memberitahu kita agar berhati-hati saat mengambil obat," timpal Fang Hua.
"Tentu saja aku tidak pernah membuat obat yang seperti itu," ucap Yu Jie santai sambil menuang teh ke dalam cangkir yang sudah tersedia di atas meja.
"Hah! Apa?" teriak Fang Ling dan Fang Hua bersamaan.
Fang Li langsung mendekati kedua adiknya dan mencubit daun telinga mereka satu-satu.
"Aw! Aduh! Sakit kak!" Fang Ling dan Fang Hua berteriak kesakitan serentak.
"Li'er, jangan terlalu keras!" ujar Lin Lian lembut.
Yu Jie tak kuasa menahan tawa. Ketiga saudarinya memang selalu seperti ini. Kadang lucu, kadang menyebalkan. Tapi semua itu justru menghangatkan hati.
"Ibu, mereka berdua senang sekali berteriak. Jika saja ini di kediaman kita, aku tidak masalah. Saat ini kita berada di kediaman seorang wanita ular. Tembok saja bisa mendengar dan berbicara pada wanita itu," jelas Fang Li tanpa melepas kedua tangannya dari telinga Fang Ling dan Fang Hua.
"Kakak, lepaskan dulu tanganmu baru bicara," rengek Fang Ling.
"Kalian mau percakapan kita terdengar penjaga istana wanita itu?" tanya Fang Li dingin.
Dua adiknya menggeleng cepat. Fang Li akhirnya melepas kedua tangannya.
"Sudahlah kak. Kau menyakiti mereka," ucap Yu Jie sambil menahan tawa.
Yu Jie sendiri bingung antara kasihan dengan adik dan kakaknya, lucu melihat tingkah mereka, dan setuju dengan penjelasan kakak pertamanya. Tiga rasa itu bercampur menjadi satu.
"Awas jika kalian berteriak lagi!" tegas Fang Li.
"Iya kak. Aku tidak akan teriak lagi," ucap Fang Ling.
"Aku juga berjanji tidak akan teriak lagi. Aku akan mulai belajar menahan diri," ucap Fang Hua.
Akhirnya, setelah mendapat kesepakatan, Fang Li melepas kedua adiknya. Fang Li dan Fang Hua langsung menggosok telinga mereka.
"Aduh! Hampir saja aku kehilangan telingaku," keluh Fang Ling sambil mengusap daun telinganya.
"Mau ku cabut sekalian?" ancam Fang Li dengan suara datar.
Fang Ling langsung menggeleng sambil menutup kedua telinganya dengan tangan.
"Kalian ini, seperti segerombolan siluman kecil," gumam Lin Lian sambil menghela napas.
Namun di dalam hati, ia bersyukur. Keempat gadis ini mungkin bukan anak kandungnya, tapi mereka adalah darah daging dalam takdirnya.
Dulu, saat Lin Lian memutuskan menjadi pelayan di kediaman keluarga Wang, ia mengubur impian sederhana untuk hidup damai bersama suami dan anak-anak di desa terpencil.
Tapi takdir membawanya pada sesuatu yang lebih besar. Tanpa seorang pria di sisinya, ia menjadi ibu dari empat gadis muda yang masing-masing memiliki keahlian luar biasa.
"Jie'er, selanjutnya bagaimana?" tanya Lin Lian.
"Untuk sementara kita ikuti saja alurnya. Saat musuh tenang, kita bergerak dalam diam. Tapi ketika musuh mulai melangkah, kita diam dan mengawasi," jawab Yu Jie dengan pandangan tajam.
“Eh, adik! Bukankah saat musuh menyerang, kita harus melawan?” tanya Fang Hua, sedikit bingung.
"Aku bukannya meragukan adik ketiga. Aku juga bukan ahli berperang, tapi sepengetahuanku jika musuh menyerang bukannya kita harus melawan. Apa aku salah?" jelas Fang Hua.
"Strategi bukan hanya tentang pedang. Kadang, menahan diri lebih tajam daripada seribu jurus," jawab Yu Jie.
"Percayalah pada adik ketiga. Dia mungkin tak berkata banyak, tapi pikirannya tajam," kata Fang Li.
"Kau sendiri paham maksudnya?" tanya Fang Hua dengan alis terangkat.
Fang Li mengangguk tenang.
"Ibu, sebaiknya ibu satu kamar dengan Fang Hua," saran Yu Jie.
"Tapi kak, kakak tahu sendiri aku sangat takut tidur sendiri di tempat yang baru," keluh Fang Ling.
"Kau tidak akan tidur sendiri. Aku akan meminta Cai Hong untuk menemanimu. Jika aku tidak salah mengamati, Mei Yin akan mendekatimu lebih dulu," jelas Yu Jie.
"Maksud kakak, kakak menjadikanku umpan," sindir Fang Ling.
"Kau memang cocok dijadikan umpan," ledek Fang Hua.
"Aku bukan menjadikanmu umpan, tapi sedang membuka celah untuk Mei Yin agar mudah didekati," jelas Yu Jie sabar.
Fang Ling berdiri tegap, menautkan kedua tangan di depan dada dan membungkuk, layaknya murid kepada gurunya. "Baik, Kakak. Adik siap menerima tugas."
Puk
"Aish, kakak kedua kenapa memukul pantatku?" Fang Ling tak terima.
Yu Jie, Fang Li, dan Lin Lian hanya bisa tertawa melihat kelakuan kakak beradik itu.
_____
Sementara itu, di aula utama kediaman bagian barat. Cai Hong melangkah masuk dengan langkah ringan, namun penuh kewaspadaan. Dai Lu sudah menunggu di dekat pilar.
"Bagaimana hasilnya?" tanya Dai Lu begitu melihat rekannya masuk.
"Mereka sedang beristirahat. Kamar utama sudah tenang," lapor Cai Hong.
"Sebentar lagi makan malam. Saat makanan penutup disajikan, nyonya memerintahkan kita menaburkan obat tidur," bisik Dai Lu, matanya melirik sekitar.
"Apakah bukan terlalu cepat bertindak?" tanya Cai Hong pelan.
"Nyonya ingin memastikan wajah asli mereka," ujar Dai Lu.
"Jadi, nyonya mencurigai bahwa yang kita lihat hanyalah penyamaran?" gumam Cai Hong
Dai Lu mengangguk, "Mmm, Bagaimana menurutmu?"
"Aku rasa wajah mereka asli. Bekas luka, tanda lahir, mana mungkin bisa dibuat sedemikian rupa," ujar Cai Hong yakin.
"Aku juga berpikir begitu. Tapi, kita hanya pelayan. Laksanakan perintah, dan jangan banyak tanya," ucap Dai Lu.
"Kau benar. Kita hanya pelayan yang menjalankan perintah saja," timpal Cai Hong.
Cai Hong dan Dai Lu segera menyelesaikan pekerjaan mereka di aula utama. Setelah selesai mereka berdua berjalan meninggalkan aula utama.
"Kita bagi tugas saja. Masing-masing ada lima kamar, bearti ada lima orang yang harus kita urus. Biar aku bagian kamar utama dan dia kamar yang berada tidak jauh dari kamar utama. Kau cukup menangani dua kamar yang lain," saran Cai Hong sambil berjalan.
"Kenapa harus dibagi? Bukankah lebih baik kita kerjakan bersama?" tolak Dai Lu.
Cai Hong terdiam. Ia harus mencari cara agar bisa menyelinap dan memberi peringatan pada Tabib Lin.
"Kenapa kau mendadak diam?" tanya Dai Lu curiga.
"Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?"