kehilangan bukan lah kesalahan ku, tetapi alasan kehilangan aku membutuhkan itu, apa alasan mu membunuh ayah ku? kenapa begitu banyak konspirasi dan rahasia di dalam dirimu?, hidup ku hampa karena semua masalah yang datang pada ku, sampai aku memutuskan untuk balas dendam atas kematian ayah ku, tetapi semua rahasia mu terbongkar, tujuan ku hanya satu, yaitu balas dendam, bukan jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
harapan
Pagi Hari di rumah sakit
Liora perlahan membuka matanya. Pandangannya masih kabur, dan kepala serta tubuhnya terasa sakit. Ia melihat Leon tertidur di kursi di sebelah ranjangnya. Selang oksigen nasal cannula masih terpasang di hidungnya, membuatnya sulit untuk berbicara.
Namun, karena gerakannya, Leon terbangun dan langsung mendekat. "Liora? Kau... kau sudah sadar? Sebentar, aku akan panggilkan dokter!" Leon segera berdiri hendak keluar ruangan.
Namun, tangan Liora dengan lemah menahan tangannya. Ia melepaskan nasal cannula dari hidungnya dan menatap Leon dalam-dalam.
"Aku baik-baik saja... aku tidak perlu dokter. Yang aku butuhkan hanya kau."
Ucapannya membuat suasana menjadi hening sejenak. Harapan itu masih terlihat di mata Liora, seolah-olah ia masih percaya bahwa mereka bisa kembali bersama. Padahal mereka sudah berpisah sejak lama, ya walau perpisahan itu hanya di setujui satu pihak saja, siapa yang menyangka mereka adalah sepasang mantan kekasih yang dipisahkan oleh keadaan.
Masa lalu indah yang mereka ukir berdua di atas kertas kosong, terlihat sangat mudah untuk di buka dan di jalani kembali, namun karena luka di hati yang belum juga sembuh, Leon tidak mau semua itu terulang kembali,
Leon duduk kembali, mencoba tenang. "Liora... hanya karena aku merawat mu sekarang, bukan berarti kita bisa kembali bersama lagi, Saat ini aku sedang dalam misi berbahaya. Nyawaku pun bisa melayang kapan saja jika memang harus."
Ia tahu mungkin ada kesalahpahaman, dan mencoba meluruskannya meski kondisi Liora belum sepenuhnya membaik.
"Aku tahu... Tapi bukankah kita punya tujuan yang sama? Orang yang ingin kita hancurkan... itu sama, Leon." tatapan Liora seolah mengatakan bahwa mereka bisa bekerja sama, dia mencoba untuk meyakinkan Leon,
Liora masih yakin, bahwa dengan bersatu, rencana mereka akan lebih mudah. Ada keyakinan dalam suaranya, keyakinan bahwa dendam bisa menjadi penyatu mereka.
"Ya, tapi... apa kau tahu siapa saja yang akan kau hancurkan itu? Dia adalah ayah kandungmu sendiri, Liora. Jika kau teruskan ini, bukan hanya satu, tapi dua orang terdekatmu yang akan terluka."
Leon berusaha menjelaskan bahwa balas dendam bukanlah jalan keluar. Dia tahu masa lalu Liora kelam ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, dibesarkan oleh orang lain. Tapi semua itu akan jadi lebih rumit ketika Liora tahu siapa yang sebenarnya berada di balik semuanya ini, dan siapa Zelena sebenar nya, jika dia gegabah maka dia tidak akan bisa bersama dengan ayah ataupun adiknya
"Dua orang? Leon, lihat aku. Aku dibuang dan dibesarkan oleh orang asing hanya karena seorang anak laki-laki yang dilahirkan oleh perempuan lain! Di mana keadilannya, hah?!"
Liora tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Saat dewasa, ia baru mengetahuinya. Namun, rasa haus akan kasih sayang telah berubah menjadi dendam yang membakar hatinya sejak kecil.
"Aku tahu. Tapi kasih sayang dari orang-orang yang membesarkan mu jauh lebih tulus dibandingkan dari ibu kandungmu sendiri."
"Maksudmu?" Liora menatap Leon dengan bingung.
Leon menatap matanya dalam. "Apa gunanya kau balas dendam, kalau sebenarnya kau sudah mendapatkan yang kau cari? Kasih sayang orang tua. Bahkan lebih dari yang kau bayangkan."
Liora terdiam. Kalimat itu seakan menghantam dinding keras dalam hatinya.
"Jika kau mengambil langkah yang salah, dua orang akan terluka. Bukan hanya ayahmu. Ingat itu, Liora."
"Sejak tadi kau terus bilang dua orang. Targetku hanya satu ayahku. Siapa satu orang lagi yang kau maksud?"
Leon menarik napas panjang. "Foto yang kau lihat di ponselku... Ibumu sedang menggendong seorang bayi, kan? Itu adalah adikmu, Zelena."
Liora membeku. Tak percaya.
"Darah yang mengalir dalam tubuhmu... juga ada di tubuh Zelena. Saat kau kritis, Zelena mendonorkan darahnya untukmu. Dia menyelamatkan nyawamu."
"Zelena...? Tapi... dari mana kau tahu bayi itu dia? Tidak mungkin dia adikku..."
Leon mengeluarkan selembar kertas dari tasnya. "Ini... hasil tes DNA antara kau, Zelena, dan Kenzo. Umurmu dan Kenzo sama. Hanya Zelena yang dua tahun lebih muda. Kenzo mewarisi darah dari ibu nya, sementara kau dan Zelena golongan darah kalian sama, yaitu golongan darah Ahmad "
Liora menatap kertas itu. Matanya membelalak saat melihat hasil tes: kecocokan 99%. Tak terbantahkan.
*
*
*
Di rumah Ahmad
Zelena membuka mata. Ia melihat Amira tertidur di sisi tempat tidurnya. Ia menatap jam dinding dan perlahan bangkit duduk.
Amira pun terbangun karena gerakan itu. "Kau sudah bangun, Zelena? Bagaimana perasaanmu?"
"Aku baik-baik saja... Semalam... Tama?"
Zelena tak melanjutkan kalimatnya. Ia tahu, Amira mungkin menyimpan perasaan kepada Tama.
"Ya, Tama yang membawamu pulang. Dia juga yang memintaku untuk menemanimu ke rumah."
Amira menatap jam, lalu buru-buru bangkit dan mengambil pakaiannya.
"Kau mau ke mana? Ini masih sangat pagi," tanya Zelena heran.
"Aku ada ujian hari ini—ujian masuk kampus," jawab Amira sambil berpakaian cepat.
Zelena terdiam.
"Kau tidak ikut?" Amira sibuk membereskan barang-barangnya.
"Aku akan kuliah tahun depan," jawab Zelena singkat, tersenyum kecil.
Amira keluar dari kamar dan melihat Kenzo yang juga sedang bersiap-siap kerja. Ia menyemprotkan parfum cukup banyak, menaikkan roknya sedikit hingga pahanya terlihat. "Kak!" panggilnya saat Kenzo hendak keluar rumah.
Kenzo menoleh. Fokusnya langsung tertuju pada pahanya yang terlihat jelas. Ia berdiri kaku.
"Boleh aku ikut, Kak? Aku ada ujian jam delapan."
Kenzo berusaha menahan diri. Ia tahu dirinya mudah tergoda, itulah sebabnya ia selalu menyuruh Zelena untuk berpakaian sopan.
"Kak?"
"Baiklah. Tapi Kakak harus ke bank sebentar dulu. Tidak masalah?" tanyanya.
Zelena yang mengintip dari atas rumah, merasa ada yang aneh. Ia bertanya-tanya—apa sebenarnya maksud dari semua ini? Siapa yang sebenarnya disukai Amira?
"Tidak masalah, Kak," jawab Amira dengan manja.
Padahal, hari itu Amira tidak ada ujian. Ia hanya ingin berduaan dengan Kenzo. Tujuannya hanya satu: merebut Kenzo dari sahabatnya sendiri Zelena.
Setelah dari bank
Kenzo mengantar Amira ke rumah sakit. Ia ingin menjenguk adik perempuannya Liora.
Sebelum keluar dari mobil, ia membuka jasnya dan memberikannya pada Amira. "Tutup lututmu. Hari ini panas, kulitmu bisa hitam nanti."
Amira terkejut. "Apa-apaan ini...? Apa Kak Kenzo jatuh cinta padaku? Ini lebih mudah dari yang kuduga."
Amira keluar dari mobil dan berjalan bersama Kenzo. Tapi anehnya, Kenzo tidak masuk ke kamar Liora. Ia hanya berdiri jauh menatap pintu kamar itu, diam.
Lalu ia menarik Amira menjauh. "Ayo."
Amira memandang wajah Kenzo. "Kak?"
"Ya, apakah sudah hampir telat untuk tesmu?" tanya Kenzo.
Deg...
Jantung Amira berdetak cepat. Entah mengapa, tapi kali ini ucapannya terasa tulus. Ia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.
Ada kabar bahagia buat kalian para pembaca setia novel ini, aku bakal adakan giveaway berupa hadiah uang tunai, untuk kalian yang beruntung, dengan syarat follow akun noveltoon aku yang ini, like, subscribe cerita nya, follow ig viola.13.22.26