Alma, Si anak baru di Sub Bagian SDM Rumah Sakit Harapan Hati mendadak terkenal di hari pertama masuk kerja. Alasannya yaitu wajahnya yang mirip dengan dr Ilman, Si tampan dari poli anak. Tidak hanya wajah, nama mereka juga mirip, Alma dan Ilman.
Gara-gara ini, banyak yang mengira bahwa keduanya adalah saudara, padahal bukan. Adik dr. Ilman yang sebenarnya juga bekerja di divisi yang sama dengan Alma. Tapi, karena suatu alasan, dia tidak mau mengakui bahwa Ilman adalah kakaknya sendiri.
...
"Saya izinkan kamu buat pamer kalau kita berdua bersaudara. Kalau bisa, puji saya tiap hari biar pekerjaan kamu makin gampang.” - Ilman -
“Hahaha... Dokter bercanda, ya?” - Alma -
“Saya serius. Sombongkan saja nama saya. Bukankah bagus kalau kamu jadi adik dari orang yang jenius dan ganteng seperti saya?”
Dih! Bisa ya, ada orang senarsis dan sesombong ini. Dokter pula. Pasiennya tidak apa-apa, tuh?
Tapi, anehnya Alma merasa pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eggpudding, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Mengejar dan Menunggu
Saat tertidur, aku merasakan kasurku bergerak. Keras sekali seakan ada gempa yang cukup besar. Namun, ada sensasi lain yang membuatku berpikir bahwa aku tidak sedang berada di kamarku.
Aku memeluk seseorang dari belakang. Mungkin tepatnya aku digendong olehnya.
Dari suara deru napasnya, aku menebak bahwa orang yang menggendongku ini adalah Pralajaya. Entah ke mana dia membawaku saat ini. Bukankah sebelumnya dia dan Kinasih sedang berada di dalam goa?
Suasana malam begitu gelap, namun aku masih bisa melihat samar-samar. Sepertinya kebutaan Kinasih sudah mulai sembuh. Syukurlah jika demikian.
“Kinasih, sebentar lagi kita sampai di wanua tujuan kita.” ujar Pralajaya di tengah deruan napasnya.
“Benarkah, Kanda? Jadi, kita tidak perlu bermalam di hutan lagi?”
Langkah Pralajaya lalu berhenti. Dia menurunkan Kinasih, lalu membersihkan daun-daun yang berjatuhan di rambut gadis itu.
“Bagaimana matamu? Apa masih sakit?”
Kinasih menggelengkan kepalanya. Mengetahui bahwa adiknya baik-baik saja, Pralajaya pun tersenyum lega.
“Syukurlah. Kalau begitu, kau bisa lihat di sana… itu tujuan kita.”
Jari telunjuk Pralajaya menunjuk ke bawah. Rupanya kami berada di samping tebing. Di bawah tebing itu ada beberapa rumah yang terbuat dari kayu dan berbagai tumbuhan lainnya. Masing-masing rumah berjarak cukup jauh dan dibatasi oleh pagar-pagar yang bertujuan untuk membatasi tanah mereka. Tidak ada penerangan yang memadai di sana, hanya sebuah lentera di masing-masing halaman depan rumah.
“Wanua ini sangat terpencil dan merupakan daerah sima (bebas pajak), jadi jarang sekali bahkan hampir tidak mungkin orang-orang Ibu Kota datang ke sini.”
Syukurlah, sekarang mereka berdua bisa berhenti luntang-lantung. Paling-paling habis ini mereka tinggal membangun rumah mereka sendiri dan mencari makan di hutan untuk bertahan hidup.
“Kanda, ayo kita lanjutkan perjalanan. Dinda sudah tidak sabar untuk ke sana.”
Pralajaya mengangguk setuju.
“Baiklah, tapi sebaiknya tidak terlalu cepat. Sudah malam, kita harus berhati-hati.”
Kinasih dan Pralajaya pun melanjutkan langkah mereka. Namun, baru sekitar sepuluh langkah mereka berjalan, tiba-tiba Pralajaya berhenti.
“Ada apa, Kanda?”
Dahi Pralajaya berkerut dan beberapa bulir keringat nampak mengalir di sana.
“Jati mengirimkan pesan bahaya. Sepertinya dia akan sulit bertahan, jika aku tidak membantunya.”
Kinasih terkesiap.
“Bagaimana Kanda tahu?”
Akhirnya kamu menanyakan itu juga, Kinasih.
“Jati adalah khodam pemberian Kakek Prabu untukku, tentu saja aku tahu.” jelasnya singkat.
Kinasih sendiri agaknya juga baru tahu identitas Jati yang sebenarnya. Awalnya, kukira Jati itu semacam pelayan atau prajurit body guard. Tapi, ternyata dia bahkan bukan dari bangsa manusia.
Namun, Kinasih tidak terkejut dengan keberadaan khodam itu sendiri. Mungkin itu adalah hal yang biasa di zaman mereka.
“Apa Kanda akan pergi menyelamatkannya?”
“Lalu, bagaimana denganmu?”
Kinasih tidak yakin, namun dia menjawab, “Tidak apa-apa. Tujuan kita sebentar lagi sampai. Aku pasti akan baik-baik saja.”
Kekhawatiran semakin muncul di wajah tampan Pralajaya. Dia lalu menangkup kedua pipi adiknya dan menatap manik gadis itu.
Sejenak dia terdiam, membuatku gugup tidak terkira. Seperti biasanya, Pralajaya selalu membuatku terbawa perasaan. Sayangnya, dia hanya ada di dalam mimpi.
“Maafkan Kanda. Tapi, Kanda berjanji cuma pergi sebentar.” ucapnya seraya mengecup kening Kinasih.
Kemudian, Pralajaya mengambil sesuatu dari kantungnya. Sebuah kalung berliontin kayu yang kemudian dia berikan pada Kinasih. Dari wanginya, aku tahu bahwa kayu itu berasal dari pohon cendana yang harum.
“Pakailah kalung itu. Jadi, jika ada bahaya, aku bisa langsung tahu keberadaanmu.” ucapnya lagi.
Kinasih mengangguk dan mengalungkannya di leher. Setelah itu, Pralajaya kembali mengecup keningnya lama. Desiran dalam hatiku pun semakin tidak karuan dibuatnya.
“Sampai jumpa. Tunggu Kakanda.”
Setelah mengatakan itu, Pralajaya pergi ke arah kami berasal tadi. Kinasih juga beranjak dari sana ke arah yang berlawanan.
Tinggal beberapa langkah lagi menuju wanua. Ini masih sore, mungkin jika minta ijin, Kinasih bisa dibolehkan tidur di bawah atap salah satu rumah.
Namun sayangnya, Kinasih yang lengah tidak tahu bahwa ada yang mengikutinya. Aku menyadarinya juga belum lama.
Semakin lama, suara langkahnya semakin mendekat dan akhirnya Kinasih pun sadar juga. Tapi, dia terlambat. Karena detik selanjutnya, Kinasih dibuat tak sadarkan diri oleh orang itu.
…
Aku terbangun dengan rasa penasaran yang luar biasa, meskipun beberapa jam telah berlalu sejak mataku terbuka.
Semalam itu hanyalah mimpi, tapi sanggup membuatku khawatir dengan Kinasih dan Pralajaya. Aku jadi semakin curiga kalau semalam itu bukan sekedar mimpi biasa. Lagian, kalau cuma mimpi biasa, mana mungkin sampai berlanjut seperti sinetron?
Tapi, sementara waktu, aku harus menepis rasa penasaranku. Karena, hari ini aku masih harus bekerja sampai jam satu siang nanti.
Well, kalau Sabtu begini tidak banyak juga yang dikerjakan, sih. Adapun bawaannya ingin libur melulu. Dan bukan hanya aku yang merasakannya.
Buktinya, Bu Dewanti alias Budhe yang notabene Kasubag Keuangan saja sudah bersiap-siap sejak pukul 12 tadi untuk pulang. Pak Surya yang Kepala Bagian juga sudah menenteng tasnya dan duduk di depan Pak Arif sambil mengobrol.
Keadaannya tetap seperti itu sampai akhirnya jam sudah menunjukkan pukul 14.00.
Aku yang sudah menata tasku pun beranjak dan memberi salam pada yang lain sebelum keluar dari ruangan. Tujuan pertamaku adalah ruang Kepala Bidang Pelayanan, karena katanya dr. Ilman dan dr. Dinda sudah menunggu di sana.
“Dek, kok datangnya telat 2 menit?”
Ucapan dr. Ilman tadi langsung dibalas dengan pukulan maut dari dr. Dinda yang mengenai kepalanya.
“Mayang, ini gue baru sampoan tadi, Njir!” sergah dr. Ilman dengan suara lirih.
“Botakin aja sekalian biar tambah bersih! Atau lepuhin sekalian pakai air raksa!” seru dr. Dinda yang langsung merangkulku dan membawaku berjalan meninggalkan dr. Ilman.
Aku sudah bilang belum, ya? Nama panjang dr. Dinda itu Adinda Mayang Sari, makanya dr. Ilman memanggilnya dengan nama Mayang. Sampai sekarang aku belum tahu alasannya memakai panggilan yang tidak umum.
“Lo tuh ngapain ajak Ilman juga sih, Al. Kalau mau jalan-jalan, ajak gue aja cukup loh. Ilman mah gak penting!”
Setuju banget, Dok. Tapi, tanpa dr. Ilman, abang saya bisa saja gagal mendapatkan Anda. Begitu ucapku dalam hati.
Kami bertiga menuruni lift bersama, lalu ke parkiran untuk menemui Bang Salman yang katanya sudah menunggu.
“Abwaaangkuw~” panggilku seraya memeluk pria paling tampan di galaksi itu.
“Gimana Dek, udah siap?” tanyanya yang kujawab dengan anggukan.
“Kalau gitu, ayok!” ajak Bang Salman sambil membuka pintu mobilnya.
Aku juga membukakan pintu belakang untuk mempersilakan dr. Dinda agar masuk lebih dulu.
Nah, di sini nih fungsinya dr. Ilman. Pria yang sudah mengganti scrub dan snelinya dengan pakaian kasual itu kemudian merangkulku.
Grep!
Pintu belakang Porsche itu kututup, kemudian pergi bersama dr. Ilman ke mobil Tesla merahnya.
“Hari ini saya pengin naik Tesla, Dok. Dokter Dinda sama Abang saya aja yaa!” seruku seraya mengambil langkah seribu bersama dr. Ilman.
Kami berdua lari sekencang-kencangnya sebelum dr. Dinda bisa mengejar. Mobil dr. Ilman juga lebih dulu melaju, karena letaknya berdekatan dengan pintu parkiran. Untuk hal ini, dr. Ilman did nice job banget, sih.