Karna, seorang pemuda sebatang kara yang dipungut sejak masih bayi oleh Mpu Angalas pada masa kerajaan Majapahit. Karna kemudian dididik berbagai ilmu kesaktian yang mengambil inti sifat Alam, yaitu Tirta Gumulung (Air), Tapak Dahana (Api ), dan Bayu Bajra (Angin). Di samping itu, Karna yang kemudian dikenal sebagai Ksatria Angker mendapat anugerah ilmu dari Alam Semesta yang merangkum semua sifat alam dalam ajian Sapu Jagad yang bersifat Langit dan Bumi. Ilmu inilah yang harus disempurnakan oleh Ksatria Angker dalam setiap petualangan dan pertempuran.
Setelah dinyatakan lulus belajar ilmu kerohanian dan bela diri oleh gurunya, Ksatria Angker berangkat ke Kota Raja Majapahit. Di sana ia bertemu dengan Mahapatih Gajah Mada dan direkrut sebagai Telik Sandi ( mata-mata) yang bertugas melawan musuh-musuh Negara yang sakti secara pribadi untuk mewujudkan impian Gajah Mada mempersatukan Nusantara.
Novel fantasi dunia persilatan ini bukan hanya bercerita tentang perkelahian dan jurus2 yang mencengangkan, namun juga ada intrik politik masa silam, strategi tugas mata-mata, juga dilengkapi dengan berbagai latar belakang sejarah, istilah-istilah Jawa Kuno yang diterjemahkan, serta penggambaran cara hidup masa lalu yang diharapkan mampu membuat pembaca ikut tenggelam ke alam pikiran pada masa Majapahit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agus Amir Riyanto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31 PASUKAN ULAR
" Shri Krishna? Shri Krishna siapa? Apa kemampuanmu berani menyuruh aku untuk tidak menyentuhnya?"
" Aku tidak peduli kau sesakti apapun, tapi sekali saja kau berani memperlakukan arrca Dewa itu tanpa hormat, kami semua akan memburumu sampai mati! Dan kau akan terkutuk di tiga dunia!"
" Hahaha....Dewa apa? Suruh dia membela dirinya sendiri kalau benar-benar punya kekuatan. Aku jadi ingin merobohkan patung itu. Bikin sempit tempat tidurku saja!"
Karna yang belum tahu rencana Julig terkejut mendengar Kidang Panah akan merobohkan patung Bathara Kresna. Itu pelanggaran hukum yang tidak boleh dilakukan siapapun. Karna berteriak untuk memperingatkan, " Kang!"
Kidang Panah menoleh ke arah Karna, memberi isyarat kedipan mata menyuruhnya diam. Karna segera paham dan menduga Kidang Panah akan menggunakan trik sihirnya lagi.
" Kuperingatkan untuk yang terakhir kali, " Penjaga itu berteriak, " Jangan sentuh arca Kresna!"
" Ooooo...takut sekali aku pada ancamanmu, Penjaga Goa, " ujar Kidang Panah dengan nada mengejek. " Baiklah, aku tidak akan menyentuhnya. Aku akan merobohkan dengan mendorongnya pakai dahan pohon, biar kau lega. Yang penting tanganku tidak menyentuhnya kan?"
Kidang Panah mengambil dahan besar yang tergeletak di tanah. Kemudian berjalan menuju patung Kresna. Tanpa buang waktu ia sorongkan ujung dahan menyentuh arca Kresna. Didorongnya perlahan sembari menciptakan ilusi sihirnya.
Arca Kresna seolah-olah bergoyang miring akan roboh. Wajah penjaga goa itu memucat. Andai ia nekat melawan dengan menerjang tubuh Kidang Panah, pasti sia-sia belaka karena lawannya terlalu sakti.
Sementara arca Kresna makin miring....
Penjaga itu tiba-tiba memukul dinding luar goa yang berbentuk agak menonjol. Terdengar suara dengung. Rupanya itu bagian goa yang dapat mengeluarkan bunyi seperti gong jika dipukul. Dan itu adalah isyarat bahaya untuk dikirim bagi seluruh orang yang ada di dalam goa, termasuk Panembah Swara sendiri. Artinya ada kondisi darurat yang harus ditangani.
Benar saja. Tak lama kemudian terdengar suara gemuruh banyak orang dari dalam goa.
Pintu goa bergeser sedikit namun tidak cukup untuk keluar masuk orang.
" Apa yang terjadi? Mengapa kau pukul tanda bahaya?' terdengar suara dari dalam.
" Sampaikan pada Guru, ada orang gila ingin merobohkan arca Bathara Kresna!" sahut sang Penjaga. " Jangan buka pintu goa! Jangan sampai mereka menerobos masuk. Mereka sangat sakti!"
Tiba-tiba dari dalam goa terdengar suara yang bernada sangat berwibawa, " Kau larilah. Selamatkan dirimu. Aku atasi dari dalam.'
" Baik, Guru." ujar Penjaga yang percaya bahwa perkataan gurunya bisa diandalkan.
Mendengar kata ' Guru' diucapkan, Karna dan Kidang Panah tahu bahwa yang sedang berbicara di balik pintu goa adalah Panembah Swara. Secepat kilat keduanya melesat ke depan pintu goa yang telah terbuka sedikit namun tetap tidak cukup untuk dimasuki. Hanya bisa untuk menyalurkan suara.
" Rahayu, Bapa guru Panembah Swara, kami minta ijin bicara, " ujar Karna dengan hormat.
" Bicara apa? Apa seperti itu adab orang yang ingin bicara?"
" Mohon maaf jika cara kedatangan kami menimbulkan salah paham. Maksud kami sebenarnya tidak ingin menimbulkan keributan, tapi kami tidak punya cara lain untuk bertemu dengan Bapa guru yang mulia."
Panembahan Swara memperdengarkan tawa mengejek, " Hahaha.... sudah terlambat, bocah tak kenal adab. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sekarang kalian pergi dari sini atau kalian akan pulang tanpa nyawa."
" Bapa Guru, kami hanya ingin sobekan surat Mahapatih. Itu milik kami, hak kami!"
Tapi Panembah Swara tidak menjawab. Tiba-tiba terdengar suara seruling bambu yang sangat merdu. Bukan seperti suara seruling tadi sore yang melengking menusuk melukai gendang telinga. Nada-nadanya sangat indah, mendayu menyayat kerinduan seperti memanggil-manggil kekasih.
Karna beberapa masih mencoba berkomunikasi menerangkan maksudnya, namun Panembah Swara tetap memainkan seruling dengan indah. Karna dan Kidang Panah saling berpandangan tidak mengerti maksud tiupan seruling itu.
Tiba-tiba....
" Zzzzzzz....."
" Zzzzzzz...."
" Zzzzzzz...."
Terdengar desis bersahutan.
Kidang Panah dan Karna serentak menoleh ke arah desisan itu.
" Zzzuuuuutttt....!" seekor ular Lanang ( King Cobra) berukuran sangat besar menyambar Kidang Panah. Kidang Panah yang sangat gesit dengan mudah menghindar.
Namun kemudian, setelah Kidang Panah menendang kepala ular itu hingga terlempar jauh, 5 ekor King Cobra yang lain telah menyusul dari belakang. Karna dan Kidang Panah terpojok di depan pintu goa dihadang 5 ekor ular besar yang sangat berbisa. Mereka mendesis-desis siap menyerang. Karna dan Kidang Panah baru sadar bahwa tiupan seruling merdu itu untuk memanggil ular.
Menghadapi 5 ekor ular Lanang yang kesemuanya mendirikan lehernya siap menyerang, bukan masalah besar buat Karna dan Kidang Panah. Dengan menggunakan ranting, keduanya beraksi memukul 5 ekor ular itu hingga terlempar ke dalam kegelapan.
Tapi, tiba-tiba dari keremangan obor samar-samar memantulkan bentuk-bentuk mengkilap bergerak-gerak melata.
Mata Karna dan Kidang Panah yang sangat awas dan terbiasa hidup di hutan segera menyadari, dari segala penjuru alas Ketonggo berdatangan ribuan ular berbagai jenis. Ribuan ular itu melata berjalan pasti mengepung mereka.
" Kakang, ke sini. Jangan jauh-jauh dari saya!" teriak Karna pada Kidang Panah.
" Apa yang harus kita lakukan? Kita tidak mungkin mampu melawan ribuan ular!
Karna tidak menjawab. Ia berkonsentrasi dan menata napas untuk memancarkan hawa panas Tapak Dahana ke sekeliling dirinya sejauh 2 Depha ( 4 meter). Seketika hawa panas tercipta dalam radius 2 depha sehingga ular-ular tidak berani mendekat karena terpanggang bara. Kidang Panah menghembuskan napas lega.
Namun, tiba-tiba terjadi bahaya lain. Ular-ular yang tersengat hawa panas Tapak Dahana menjadi panik dan bertingkah buas. Ratusan ular menggeliat melata berbalik arah mencari hawa yang lebih dingin.
Mereka merayap naik ke pohon. Ratusan ular yang sangat berbisa merangkak merayap ke pohon di mana Julig dan Bregas berada!
Karna dan Kidang Panah panik menyadari nyawa Julig dan Bregas terancam bahaya yang sangat besar.
" Bagaimana ini, Karna?" bisik Kidang Panah sangat khawatir.
***
alurnya TDK terfokus pada satu pemeran
author mencoba gaya novelis zaman ko ping ho
matur nuwun 🙏
berkah untuk Jaka Julig
sungguh sukses mampu mencampuradukkan perasaan 😆