kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Tangan yang Menjuntai
Pagi menyembul perlahan dari balik pucuk pohon di belakang rumah. Embun belum benar-benar hilang saat Erik bangun lebih cepat dari biasanya. Matanya masih berat, tapi kegelisahan malam tadi tak memberinya tidur yang layak.
Ia menatap ke arah pintu kamar. Di luar sana, ruang tengah masih diselimuti sisa kabut yang merambat dari dalam lorong malam tadi. Siska belum bangun. Atau mungkin, masih belum tidur sejak Aji pergi dini hari.
Dengan langkah pelan, Erik berjalan ke dapur. Tapi saat melintasi lorong, langkahnya terhenti. Ada bekas jejak kaki basah—kecil, seperti milik anak-anak—terlihat jelas di lantai kayu, menuju ke arah kamar belakang.
Erik menelan ludah.
Ia tahu betul, tak ada anak kecil di rumah ini.
Di meja makan, secangkir teh yang dibuat Siska semalam masih ada, sudah dingin. Erik duduk sebentar, mencoba mencerna segalanya.
Aji bilang, "jangan buka pintu kamar belakang", dan "jangan naik ke loteng". Dua larangan yang bahkan lebih sulit dipatuhi karena rasa penasaran itu sendiri.
Ia bukan orang yang mudah percaya dengan hal gaib. Tapi sebagai dokter, ia pun tahu bahwa ada batas di mana logika tak lagi mampu menjelaskan segalanya. Dan batas itu... semalam telah terlewati.
Tiba-tiba, suara sendok jatuh terdengar dari dapur.
“Ceplek!”
Erik segera bangkit. “Siska?” panggilnya.
Tak ada jawaban.
Ia menuju dapur dengan hati-hati. Tak ada siapa-siapa di sana. Tapi... pintu lemari atas sedikit terbuka. Ia mendekat, ingin menutupnya, ketika...
Sesuatu menjuntai keluar dari balik pintu itu.
Tangan.
Kecil. Kurus. Pucat. Jemarinya kaku.
Erik terpaku. Matanya melebar.
Tangan itu tak bergerak. Hanya tergantung begitu saja, seolah milik seseorang yang sedang berdiri di atas meja lemari dan tangannya menjulur ke luar.
Dengan gemetar, Erik perlahan membuka pintu lemari lebih lebar.
Kosong.
Tak ada siapa pun.
Tangan itu menghilang.
Ia terduduk. Keringat dingin mengucur di pelipis. Saat ia menoleh ke belakang, Siska sudah berdiri di ambang pintu dapur.
Wajahnya pucat. Matanya sayu. “Aku mimpi semalam,” katanya pelan. “Kita punya anak... tapi dia tak punya mata.”
Erik bangkit. “Sudah, sini duduk. Jangan pikirkan mimpi.”
Siska menggeleng lemah. “Kita tidak bermimpi, Mas... Kita sedang dilihat. Setiap malam. Dan aku... aku merasa mereka makin dekat.”
Menjelang siang, Aji kembali datang, kali ini membawa seorang lelaki tua dengan tongkat. Namanya Mbah Taryo—orang sepuh yang dulu tinggal satu kampung dengan Bu Kasih.
“Dulu waktu muda, Mbah pernah bantu ayah saya pindahkan gentong tanah dari rumah Bu Kasih. Katanya itu 'isian',” kata Aji.
Mereka bertiga—Aji, Erik, dan Mbah Taryo—duduk di ruang depan, sementara Siska tetap di kamar.
Mbah Taryo membuka pembicaraan dengan suara pelan.
“Bu Kasih itu warisan keturunan dari jalur sebelah selatan—keturunan dukun jaman dulu. Tapi bukan dukun biasa. Ia penjaga.”
“Penjaga apa, Mbah?” tanya Erik.
“Gerbang. Tapi bukan gerbang orang mati. Ini lebih tua... lebih dalam... tempat ‘mereka’ yang tidak bisa mati. Yang dikebiri waktu manusia masih hidup di hutan.”
Aji menimpali, “Ada portal yang disegel di rumah ini. Tapi segel itu lemah sekarang. Karena pemilik rumah meninggal tanpa mewariskan pelindungnya.”
Erik merasa merinding.
“Jadi, kami tinggal di atas semacam... penjara?”
Mbah Taryo tertawa kecil. Suaranya berat. “Bukan penjara. Lebih tepatnya... jalan masuk. Mereka bisa keluar kalau yang di dalam rumah ini membuka kuncinya.”
“Kunci?”
Aji menunjuk ke langit-langit. “Di loteng. Aku yakin ada benda pusaka di sana. Mungkin boneka. Mungkin keris. Atau boneka isi.”
Erik menegang. Ia baru ingat. Di malam pertama pindah, ia sempat melihat kotak kecil tergeletak di atas plafon saat memperbaiki kabel.
“Kalau begitu,” katanya pelan, “kita harus lihat apa yang ada di loteng.”
Mbah Taryo menatapnya dalam. “Kalau naik... jangan sendiri. Dan apapun yang terjadi, jangan buka kotaknya tanpa izin. Sekali terbuka, dia akan masuk ke siapa saja yang paling lemah jiwanya.”
Siska tiba-tiba muncul di balik pintu kamar, wajahnya gelisah.
“Kalau begitu... kita naik malam ini saja,” katanya pelan.
“Malam?” tanya Erik.
Siska menatap suaminya, lalu Aji. “Iya. Karena tadi pagi, aku lihat... ada tangan kecil menjuntai dari loteng, Mas. Tangannya menggenggam sesuatu. Kayak... kunci.”
Diam.
Tak ada yang bicara setelah itu.
Karena kini mereka tahu—bukan mereka yang akan membuka portal itu. Tapi portal itu... yang telah memilih mereka.