Kondisi keluarga yang berantakan, membawa Freya menjadi sosok anak yang berandal.
Freya kerap menghabiskan waktunya di club dan menjerumuskan dirinya kedalam obat-obatan terlarang.
Sean Bagaskara hadir di saat Freya nyaris dilecehkan.
Setelah pertemuan itu, takdir seolah terus mengikat keduanya hingga perasaan cinta tumbuh dihati mereka.
Sayangnya, disaat cinta itu kian menggebu, Freya harus mengetahui kenyataan pahit bahwa Sean adalah seorang gigolo, lebih tepatnya Gigolo ibu tirinya sendiri.
Selanjutnya, apa yang akan dilakukan Freya?
Simak ceritanya hanya disini guys!!!!
JANGAN LUPA LIKE, KOMEN, VOTE, DAN SUBSCRIBE YA!!!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Virzha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia Hanya Temanku.
Setelah pergumulan panas dan penuh hasrat itu usai, Sean mengajak Freya untuk mandi bersama. Pria itu seolah belum puas merengkuh kenikmatan dunia bersama Freya sehingga rasanya tidak ingin terlepas sedikitpun. Mungkin kalau lutut Freya tidak lemas, pria itu masih akan menggempurnya. Freya tentu tidak akan tahan karena Sean benar-benar sangat kuat dan perkasa.
Bukankah itu memang yang dicari oleh para wanita yang menyukai Sean? Mereka suka karena Sean bisa membuat mereka mende sah selama berjam-jam lamanya. Berbeda dengan Freya yang masih sangat baru, ia masih belum terbiasa dan kadang saja tidak bisa berjalan jika Sean melakukannya terlalu lama.
"Sean, bisakah kau melepaskanku sebentar saja?" tegur Freya menyikut perut Sean yang sejak tadi asyik memeluk pinggangnya dari belakang, padahal wanita itu sedang memakai baju.
"Tidak bisa, kau wangi sekali," sahut Sean justru menciumi tengkuk Freya yang menurutnya terasa sangat manis.
"Enggak ada ya, tadi kau sudah melakukannya 5 kali, sekarang biarkan aku menyelesaikan ini dulu. Kau bilang ingin aku pulang," sergah Freya mengomel-omel kesal, ia curiga jika ia tidak segera mencegah Sean, bisa dipastikan pria itu akan menarik Freya kembali ke ranjang.
"Ya, tapi aku tidak melarangmu jika ingin datang kesini," kata Sean mengeratkan pelukannya, rasanya begitu tidak rela jika wanita yang belakangan ini selalu memenuhi hari-harinya akan tinggal jauh darinya.
"Untuk apa datang kesini? Tanam benih?" sembur Freya asal saja.
Sean terkekeh-kekeh mendengar ucapan Freya. "Kalau kau yang meminta, aku tidak akan menolak," kata Sean menciumi pipi Freya begitu gemas.
"Ihh Sean udah ah, aku mau pulang sekarang." Freya buru-buru menjauhkan dirinya, firasat buruk seolah menyertainya jika Sean sudah menciuminya seperti itu.
"Baiklah, aku akan mengantarmu pulang. Orang tuamu pasti akan bertanya nanti, biar aku yang menjelaskan," ujar Sean menghela nafas panjang, mencoba merelakan jika Freya benar-benar akan pergi.
"Buat apa? Aku bisa pulang sendiri kok, tenang soal orang tuaku." Freya mengibaskan tangannya, pertanda melarang pria itu untuk ikut. Lagipula untuk apa menemui orang tuanya, mereka pasti juga tidak akan memikirkannya.
"Tidak apa-apa, aku sudah membawa anak orang selama dua Minggu. Aku tetap harus menjelaskannya, ayo." Tanpa menunggu persetujuan Freya, Sean tetap mengandeng tangan wanita itu dan ingin mengantarkannya pulang.
Freya tertawa kecil, membuat Sean menatapnya dengan tatapan bingung.
"Kenapa kau tertawa?" tanya Sean begitu heran.
"Tidak, kau ini lucu sekali. Aku yang datang padamu 'kan? Jadi kau tidak salah apapun dalam hal ini," jawab Freya seadanya.
"Kau tidak takut?" Sean menatap Freya dengan tatapan sedikit aneh.
"Takut?" Freya mengerutkan dahinya tidak mengerti.
"Kau begitu percaya padaku, bagaimana jika aku punya maksud jahat padamu?" kata Sean.
Freya masih mengerutkan dahinya, ia kemudian tertawa kecil. "Memangnya kau ingin apa? Ingin membunuhku? Bukannya kau masih membutuhkan tubuhku? Jadi, aku rasa kau tidak akan melakukannya," sahut Freya begitu santai, ia juga langsung menyelonong pergi dari hadapan Sean begitu saja.
Sean mengangkat alisnya, merasa ucapan Freya seperti melukai harga dirinya. Seolah ia hanya menginginkan tubuh Freya sebagai alat pemuas nafsunya, padahal Sean melakukan itu semua karena ...
"Cinta? Apa mungkin aku benar-benar mencintainya?" batin Sean menatap punggung Freya dengan pandangan yang sulit diartikan. Mencoba bertanya kepada hatinya kenapa ia bisa melakukannya dengan Freya yang notabennya orang asing untuknya.
Bahkan ia yang selalu mengalah pada wanita itu dan selalu menuruti keinginannya. Apakah benar semua ini Sean melakukannya atas dasar cinta? Tapi ia sendiri tidak menyadarinya sama sekali.
"Tidak mungkin, aku harus memastikannya lagi," gumam Sean tidak bisa langsung memutuskan begitu saja, ia butuh sesuatu yang kuat dan membuat ia percaya jika hatinya memang sudah terkunci pada wanita itu.
******
Sean memandang rumah megah bak istana yang ada didepannya dengan pandangan yang sulit diartikan. Rumah Freya sangatlah berbeda dengan rumah dirinya yang alakadarnya. Lalu mobil-mobil mewah yang berjajar rapi memenuhi garasi yang terbuka. Semakin membuat Sean merasa minder dengan dirinya sendiri. Terlihat jelas bagaimana perbedaan antara mereka berdua.
"Rumah bagus tidak menjamin seseorang untuk bahagia," ucap Freya secara tiba-tiba, membuat Sean langsung menoleh menatap dirinya.
"Setidaknya kau tidak perlu khawatir dengan masa depanmu dan apa yang akan dimakan besok," kata Sean mengulas senyum tipisnya.
Freya mengangkat bahunya acuh. "Sudah, aku sudah sampai rumah. Kau bisa pulang sekarang," kata Freya.
"Kenapa? Kau tidak ingin aku masuk ke rumahmu? Tenang saja, rumahmu tidak akan terkena kuman jika orang miskin sepertiku masuk kesana," celetuk Sean asal saja.
"Apaan sih!" seru Freya melotot begitu kesal, padahal ia sama sekali tidak berpikir seperti itu, ia hanya malas jika harus menghadapi Ayahnya yang pastinya akan bertanya macam-macam.
Namun, sayangnya kedatangan mereka itu sudah terlebih dulu diketahui oleh Morgan. Pria paruh baya itu sudah menunggu Freya didepan pintu rumahnya yang sangat megah itu. Jadi, tidak ada jalan lain selain Freya mengajak Sean masuk, lagipula Ayahnya mungkin tidak begitu peduli, begitulah yang dipikirkan Freya.
"Ayah ...," panggil Freya menggenggam tangan Sean yang ada disampingnya, ia mendadak gugup sendiri saat berhadapan langsung dengan Ayahnya.
Morgan bergeming, ia menatap Sean dari atas sampai bawah, seolah menilai penampilan pria itu dengan tatapan mata tajamnya.
"Selamat malam, Om." Sean yang merasa bertamu ke rumah itu, segera mendekati Morgan dan tanpa ragu mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
Morgan mengangkat alisnya, sedikit kaget dengan sikap Sean yang sangat sopan itu. Untuk sekedar basa-basi ia menyambut uluran tangan Sean.
"Saya Sean Om, maaf terlambat mengantarkan Freya pulang, Saya-"
"Masuklah." Morgan langsung menyela sebelum Sean menyelesaikan ucapannya, ia sempat melayangkan tatapannya pada Freya sebelum mendahului untuk masuk kedalam.
Sean mengerutkan bibirnya, ia menatap Freya yang hanya bertampang datar saja. "Ayo masuk, jangan terlalu mengambil hati sikap Ayahku. Dia memang seperti itu," kata Freya menarik tangan Sean dan mengajaknya masuk.
Morgan sendiri sudah menunggu dikursi kebesarannya, wajahnya tampak berpikir keras dan hanya ia yang tahu apa yang sedang dipikirkan. Kini, ia melihat Freya dan Sean yang baru saja datang, mereka berdua duduk dihadapan Morgan langsung.
"Ada apa Ayah? Jika Ayah ingin menyalahkannya karena aku tidak pulang, maka Ayah salah. Aku pergi karena keinginanku sendiri, tanpa ada paksaan," kata Freya menjelaskan tanpa diminta.
"Siapa namamu tadi?" Morgan memilih mengabaikan perkataan Freya, ia fokus kepada Sean yang sejak tadi juga menatap dirinya.
"Sean Om," sahut Sean masih begitu sopan.
"Hanya Sean saja? Tidak ada nama keluarga?" Morgan kembali bertanya seolah sedang men interview calon karyawannya.
"Ehm ..."
"Apa yang Ayah tanyakan? Dia hanya temanku," sergah Freya melirik Ayahnya begitu kesal.
"Lalu, apa salahnya jika aku bertanya tentang keluarga dari teman putriku?" Morgan menyahut dengan santai.
Freya ingin membuka mulutnya, tapi Sean dengan cepat menahannya. Ia menggelengkan kepalanya, meminta Freya untuk diam.
"Nama saya memang Sean saja Om, tidak ada nama keluarga," ujar Sean tidak ingin menutupi apapun lagi.
"Oh ..." Morgan mengangguk singkat, sudah bisa menebak jika Sean ini dari kategori orang biasa-biasa saja. "Ketemu Freya dimana? Teman kuliahnya juga?" tanyanya lagi.
"Tidak, saya sudah bekerja, Om." Sean menyahut dengan tangan menggenggam erat, ia merasa gugup sendiri meski hanya ditanya biasa saja. Ayahnya Freya ini sangat bisa membuat orang terintimidasi hanya karena suaranya.
"Sudah bekerja? Bekerja apa?" Morgan menegakkan tubuhnya, merasa tertarik saat tahu jika Sean sudah bekerja.
Sean terdiam, ia bingung harus menjawab apa. Ia tidak mungkin menjawab jika pekerjaannya adalah memuaskan wanita, atau bisa disebut dengan gigolo.
"Aku rasa ini sudah cukup keterlaluan. Ayah tidak perlu seperti itu. Sean, tidak perlu menjawabnya, kau bisa pulang sekarang," kata Freya tidak ingin Sean semakin tertekan jika Ayahnya terus bertanya.
"Tenang saja Freya, apapun pekerjannya, Ayah tidak akan melarang mu untuk berteman dengan dia. Ayah hanya bertanya, dan Ayah rasa Nak Sean tidak keberatan, bukankah begitu Nak Sean?" ujar Morgan terdengar begitu ramah, ia juga mengulas senyum tipisnya yang membuat Freya mengernyitkan dahinya aneh.
"Iya tidak apa-apa, Om." Sean juga membalasnya dengan senyum tipis.
Freya menekuk wajahnya, benar-benar merasa janggal dengan sikap Ayahnya ini. Tidak mungkin Ayahnya langsung berubah sikap sikap hanya dalam waktu sekejap. Freya ingin bertanya langsung, akan tetapi tiba-tiba suara Andriana terdengar membuat semua pandangan teralihkan.
"Loh Mas, ada tamu ya? Kenapa tidak-" Andriana menuruni tangga rumahnya untuk menemui tamu yang datang. Namun, alangkah terkejutnya ia saat melihat sosok pria yang duduk bersama suami dan anak tirinya di ruang tamu.
"Sean ..."
Happy Reading.
TBC.
kaya dirinya paling benar aja...
anak zaen