Tanpa gaun putih, tanpa restu keluarga, hanya akad sunyi di balik pintu tertutup.
Aku menjalani hari sebagai pelayan di siang hari… dan istri yang tersembunyi di malam hari.
Tak ada yang tahu, Bahkan istri sahnya yang anggun dan berkelas.
Tapi apa jadinya jika rahasia itu terbongkar?
Saat hati mulai berharap lebih, dan dunia mulai mempertanyakan tempatku…
Istri Siri Om Majikan adalah kisah tentang cinta yang lahir dari keterpaksaan, tumbuh di balik status yang tak diakui, dan perjuangan seorang perempuan untuk tetap bernapas dalam cinta yang ia tahu tak pernah boleh ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 30
Keesokan harinya…
Pagi yang dingin tak hanya datang dari langit Jakarta yang mendung. Tapi juga dari kabar yang menampar keras Jordan Atmadja.
Pintu apartemennya diketuk pelan. Jordan, yang sejak semalam tak tidur, hanya menatap kosong ke arah pintu. Ia tahu siapa yang berdiri di balik sana.
Langkah dan ketukan itu tak asing Kaelan, asisten pribadi sekaligus sahabat yang masih setia, satu-satunya yang sesekali menanyakan kabarnya.
Pintu terbuka. Wajah Kaelan tampak ragu, membawa satu map cokelat dan secangkir kopi panas yang tidak disentuh.
“Jo…” panggilnya pelan.
Jordan hanya menatapnya tanpa ekspresi. “Masuk aja,” ucapnya singkat.
Kaelan duduk di ujung sofa, menghembuskan napas panjang, lalu menyodorkan map di tangannya. Ada stempel keluarga Atmadja di pojok kanan, lengkap dengan tanda tangan yang sangat Jordan kenal ayahnya, Julian Atmadja.
“Apa ini?” gumam Jordan pelan, meski batinnya sudah mulai merasakan firasat buruk.
“Pernyataan resmi dari keluarga Atmadja... tentang pencoretan namamu dari daftar pewaris.”
Suara Kaelan pelan, hati-hati. Tapi tetap saja terasa seperti belati yang menembus dada.
Jordan menatap kertas itu tanpa benar-benar membacanya. Pandangannya kosong. Tak ada amarah, tak ada protes hanya terjadi keheningan.
“Mulai hari ini, kamu nggak lagi terdaftar sebagai pewaris utama. Semua saham yang selama ini atas namamu akan dialihkan ke Jonathan. Mereka sudah umumkan ini di kantor pusat pagi tadi. Bahkan media udah nyebar beritanya,” lanjut Kaelan dengan suara yang nyaris bergetar.
Jordan tak berkata apa-apa. Tangannya menggenggam map itu kuat-kuat, tapi matanya justru menatap keluar jendela, ke arah langit kelabu yang seperti ikut bersaksi atas jatuhnya nama besar yang dulu diagung-agungkan.
Bukan hanya kehilangan istri, bukan hanya kehilangan arah sekarang ia kehilangan nama keluarga dan arisan. Identitas.
“Maaf, Jo... aku juga nggak bisa berbuat apa-apa,” ucap Kaelan lirih.
Jordan mengangguk pelan. Ia bangkit, berjalan ke arah dapur, bukan untuk mengambil minuman, tapi hanya berdiri menatap gelas kosong.
“Mereka nyoret namaku… karena aku berhenti dari perusahaan, atau karena Syifa?” tanyanya pelan sambil tersenyum sinis.
Kaelan hanya terdiam. Ia tahu, pertanyaan itu tak butuh jawaban. Karena baik Jordan maupun dia sama-sama tahu jawabannya.
Semua ini bukan sekadar soal bisnis. Ini balas dendam. Ini penolakan.
Jordan kini tak punya apa-apa lagi kecuali nama yang kini tinggal sisa. Tapi anehnya tak ada amarah dalam dirinya. Yang ada hanya ruang kosong yang perlahan mulai diisi oleh satu hal yaitu kesadaran.
Bahwa mungkin inilah waktunya dia menjadi seseorang yang lain. Bukan pewaris dan bos lagi. Bukan suami palsu. Tapi laki-laki biasa yang sedang mencari siapa dirinya sebenarnya..Dan semuany dimulai dari kehilangan.
Sepeninggal Kaelan, suasana apartemen kembali sunyi. Tapi bukan lagi sunyi yang memekakkan. Kali ini, ada sesuatu yang berubah.
Mungkin luka yang terlalu dalam tak lagi terasa atau mungkin karena hatinya mulai menerima kenyataan.
Jordan duduk di kursi dekat jendela, menatap langit yang perlahan cerah. Tangannya mengambil ponsel. Ada satu nama yang muncul di layar Fathan El Rumi.
Teman sejati, satu-satunya orang yang tahu siapa Jordan sesungguhnya. Satu-satunya yang tahu bahwa di balik wajah pewaris keluarga Atmadja, tersembunyi pria yang membangun kerajaan bisnisnya sendiri diam-diam, dalam bayangan. Fathan mengangkat dalam hitungan detik.
“Jo?” suara Fathan terdengar hangat tapi waspada, “apa kamu baik-baik saja?”
Jordan terdiam sejenak, lalu menjawab, “Aku baru aja dicoret dari daftar pewaris.”
Fathan tak langsung merespons. Ia tahu berita itu hanya persoalan waktu. Tapi kemudian suaranya terdengar lebih tegas.
“Lalu... apa kamu yakin? Sudah saatnya muncul ke publik sebagai pemilik perusahaan itu?”
Jordan menghela napas pelan, menatap pantulan wajahnya di kaca. Rambut acak, mata sembab, wajah berantakan. Tapi ada sesuatu di sana tatapan yang tak lagi kosong.
“Iya, Fathan,” ucap Jordan mantap, “sudah waktunya.”
“Dengan semua risiko?” tanya Fathan lagi.
Jordan tersenyum samar. “Aku kehilangan nama keluarga, warisan, dan bahkan... perempuan yang diam-diam membuatku merasa hidup. Apa lagi yang harus kutakutkan? Mereka mungkin mengira aku aku akan jatuh miskin seperti yang mereka inginkan!”
“Jadi ini bukan cuma balas dendam?”
Jordan berdiri, melangkah ke arah cermin. Ia menyapu rambut ke belakang, seperti mencoba melihat dirinya yang lama.
“Ini bukan soal dendam, Fathan,” tuturnya dengan nada dingin tapi penuh arah. “Ini tentang membuktikan bahwa aku bisa berdiri bukan karena nama belakangku. Tapi karena siapa aku sebenarnya.”
Fathan terdiam, tapi dari ujung telepon, terdengar tarikan napas lega.
“Kapan kau mulai bergerak?” tanyanya.
Jordan menatap langit, lalu menjawab dengan suara tenang, “Hari ini.”
Dan hari itu menjadi titik balik Jordan Atmadja yang dulu telah mati dalam sepi dan kehilangan. Tapi dari puing-puingnya, lahir seseorang yang baru lebih kuat, lebih tenang, dan lebih berbahaya.
Perusahaan itu telah berdiri lebih dari sembilan tahun. Tak ada yang tahu. Tak ada yang curiga bahwa di balik kemewahan nama besar keluarga Atmadja, Jordan diam-diam membangun kerajaannya sendiri dari nol, dari bawah, dari ruang-ruang sempit tanpa logo megah.
Nama perusahaan itu tidak mencatut nama keluarganya. Ia menyamarkannya dengan sangat cermat.
Bergerak di bidang otomotif rancang bangun kendaraan futuristik, suku cadang berteknologi tinggi, hingga inovasi mesin ramah lingkungan.
Elray Dynamics Corp.
Sebuah nama yang tak mencolok, tapi mulai diperhitungkan di lingkup Asia. Pabrik utamanya ada di pinggiran Surabaya, pusat risetnya tersembunyi di Semarang, dan kantor pengembangan strategisnya berada di Singapura. Sembilan tahun berlalu sejak ia menandatangani akta pendirian, hanya ditemani satu saksi Fathan El Rumi.
Kini, Elray Dynamics tak hanya sekadar startup. Mereka sudah berhasil mengantongi kontrak ekspor ke Korea Selatan, Jepang, bahkan Uni Emirat Arab.
Dalam diam, Jordan telah membuktikan bahwa dirinya bukan hanya pewaris. Ia adalah arsitek dari visinya sendiri.
Dan hari ini setelah namanya dicoret dari daftar pewaris keluarga besar Atmadja, Jordan berdiri di depan jendela apartemennya bukan sebagai mantan siapa-siapa, tapi sebagai pemilik sah dari perusahaan yang akan mengguncang pasar otomotif Indonesia.
“Aku nggak butuh warisan, Fathan,” gumamnya lirih, “karena aku sudah punya tahta yang kudirikan sendiri.”
Hari itu, Elray Dynamics bergerak tidak seperti biasanya. Dari pabrik hingga kantor pusat, kabar kedatangan seorang sosok misterius menyebar seperti api yang menjilat cepat.
Bukan sembarang tamu. Bukan sekadar investor. Tapi Presiden Direktur sekaligus pemilik asli perusahaan.sosok yang selama ini hanya dikenal di kalangan atas sebagai “pendiri bayangan”.
Fathan El Rumi, sang CEO kedua yang selama ini memegang kendali operasional, diam-diam mengatur semuanya.
“Tidak ada media. Tidak ada pengumuman publik. Ini bukan soal popularitas. Ini tentang fondasi yang kita jaga sejak hari pertama,” tegas Fathan kepada seluruh manajemen.
Acara penyambutan disiapkan dalam waktu singkat namun elegan. Hanya dihadiri oleh para kepala divisi, tim riset, dan beberapa karyawan lama yang tahu betul sejarah berdirinya Elray Dynamics. Tanpa panggung mewah.
Tanpa karpet merah. Hanya suasana hangat penuh rasa hormat dan kekaguman. Beberapa karyawan berbisik pelan di lorong kantor.
“Serius dia pemilik aslinya?” “Gila… berarti selama ini dia yang danain semua proyek besar itu?” “Namanya aja nggak pernah disebut di rapat strategis.”
Dan ketika mobil hitam tanpa pelat khusus memasuki area basement gedung pusat Elray, suasana seketika menegang. Beberapa orang menghentikan pekerjaannya jantung mereka berdegup.
Pintu lift terbuka di lantai 18 lantai eksekutif. Jordan Atmadja melangkah masuk.
Dengan jas abu gelap, rambutnya kini dirapikan, wajahnya bersih dari brewok meski tubuhnya masih tampak kurus. Tapi tatapan matanya penuh ketegasan dan visi.
Fathan menyambutnya dengan senyuman. “Selamat datang, Tuan Direksi Bayangan.”
Jordan tersenyum tipis. “Sudah waktunya aku berhenti jadi bayangan, Fan. Aku datang.bukan untuk unjuk gigi. Tapi untuk memastikan bahwa semua ini tetap berjalan sesuai niat awal kita.”
Suara Jordan tenang, tapi cukup dalam untuk membuat seisi ruangan terdiam. Di hadapan para manajer dan kepala departemen, Fathan berdiri di sampingnya.
“Teman-teman, izinkan saya memperkenalkan siapa sebenarnya yang selama ini berdiri di belakang Elray Dynamics,” ucap Fathan mantap.
Jordan melangkah maju, menatap semua yang hadir.
“Aku bukan pewaris keluarga besar mana pun lagi. Tapi aku berdiri di sini sebagai pemilik dan pendiri Elray Dynamics Corp perusahaan yang kita bangun bukan dengan nama besar, tapi dengan kerja keras, kepercayaan, dan mimpi yang sama.”
Tak ada tepuk tangan heboh. Hanya keheningan yang dalam dihiasi tatapan hormat.
Bahkan beberapa orang menunduk dengan mata berkaca-kaca. Mereka tahu orang ini bukan pemilik biasa. Ia pernah jatuh, dibuang, dilupakan. Tapi kembali dengan kepala tegak.
Dan hari itu menjadi awal baru bagi Elray Dynamics. Bukan hanya sebagai perusahaan otomotif inovatif sebagai simbol bahwa kekuatan sejati bukan dari nama keluarga, tapi dari keberanian membangun sesuatu dalam diam.