Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Soda Melon Dan Keseimbangan Yang Baru
Hari berikutnya di sekolah terasa seperti berjalan di atas lapisan es tipis.
Renjiro tiba di kelas 2-B dengan perasaan gugup yang aneh, seolah dia adalah karakter utama dalam sebuah komedi romantis canggung yang tidak pernah ia setujui untuk bintangi. Pikirannya terus berputar. Apa yang harus ia katakan pada Tsukishima Marika? Apa ia harus bersikap seolah kejadian di gudang olahraga kemarin tidak pernah terjadi? Atau haruskah ia... menyapanya dengan cara berbeda?
Suara Marika dewasa bergema di benaknya: "Jangan terburu-buru... perlakukan dia dengan baik, ya?"
Nasihat itu lebih mudah didengar daripada dilakukan.
Ketika Marika masuk ke kelas, tepat lima menit sebelum bel berbunyi seperti biasa, Ren merasakan jantungnya melompat ke tenggorokan. Marika berjalan melewatinya tanpa menoleh. Wajahnya lurus, seperti robot, seperti biasa. Tapi Ren, yang kini menjadi pengamat yang lebih jeli, melihat sesuatu yang baru.
Bahu Marika terlihat sedikit kaku. Dan saat dia duduk di bangkunya, dia tidak langsung mengeluarkan buku catatan. Dia diam sejenak, menatap kosong ke papan tulis, sebelum akhirnya memulai rutinitas paginya.
Dia tidak menatap Ren. Sama sekali. Bahkan saat Tanaka-sensei masuk dan memulai pelajaran Sastra, Marika tidak sekalipun menoleh ke belakang.
Bagi orang lain, itu adalah Tsukishima Marika yang normal. Tapi bagi Ren, penghindaran yang disengaja itu... jauh lebih berisik daripada omelan.
Dia malu, batin Ren, merasakan campuran aneh antara rasa bersalah dan... geli?
Pelajaran berlangsung seperti dalam kabut. Ren tidak bisa fokus pada puisi-puisi kuno atau rumus fisika. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal: cream soda melon.
Di mana Marika membelinya? Kenapa dia membelinya? Dan apa yang harus Ren lakukan dengan informasi itu? Marika dewasa tidak memberinya instruksi. Dia hanya bernostalgia.
Ini bukan misi, Ren mengingatkan dirinya sendiri. Ini... ini cuma rasa penasaran.
Saat istirahat makan siang, alih-alih pergi ke kantin yang ramai, Ren memutuskan untuk berjalan-jalan. Dia butuh udara segar untuk menjernihkan pikirannya. Kakinya membawanya ke area sekolah yang jarang ia kunjungi: di belakang gimnasium tua, tempat klub-klub olahraga yang kurang populer biasa berlatih.
Dan di sanalah dia menemukannya.
Terselip di sudut yang teduh di bawah pohon ginkgo yang daunnya sudah menguning, berdiri sebuah mesin penjual otomatis. Mesin itu sudah tua, catnya sedikit terkelupas, dan pilihan minumannya pun aneh. Tidak seperti mesin-mesin baru di dekat gerbang utama yang menjual teh oolong dan kopi kaleng populer.
Mata Ren langsung tertuju pada satu baris. Di sana, di antara jus anggur dan minuman jeli yang aneh, ada sebuah kaleng berwarna hijau terang yang mencolok.
"Cream Soda Melon."
Ren menatap kaleng itu untuk waktu yang lama. Jadi, di sinilah Marika melarikan diri kemarin. Ke tempat sepi ini, dan membeli minuman paling konyol yang bisa dia temukan, untuk merayakan—atau mungkin menenangkan—kekacauan emosinya setelah rahasianya terbongkar.
Ren merogoh sakunya, mengeluarkan koin 100 yen. Terdengar bunyi klak saat ia memasukkannya. Kenapa dia melakukan ini? Dia bahkan tidak suka melon.
Aku cuma ingin tahu... apa yang dia rasakan, pikir Ren sambil menekan tombol.
KLUNK.
Kaleng hijau itu jatuh ke nampan pengambilan. Ren mengambilnya. Kaleng itu dingin di tangannya.
"Baiklah... mari kita lihat," gumamnya.
Dia membuka segelnya. Suara psssst yang memuaskan terdengar. Ren menyesapnya.
Rasa manis buatan yang sangat kuat—seperti permen cair—meledak di mulutnya, diikuti oleh desisan soda yang agak lemah. Rasanya... aneh. Sangat aneh. Kekanak-kanakan, tapi juga kompleks. Ren mengerutkan kening. Kenapa ada orang yang sengaja minum ini?
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
Ren tersedak. Soda melon itu hampir menyembur keluar dari hidungnya. Dia terbatuk-batuk hebat, berbalik badan dengan mata berair.
Tsukishima Marika berdiri di sana, sekitar lima langkah di belakangnya. Dia tidak memegang buku catatan OSIS. Dia tidak terlihat galak. Dia hanya... berdiri di sana, menatap Ren dengan ekspresi paling campur aduk yang pernah Ren lihat.
Dan di tangannya, ada koin 100 yen.
Keheningan yang menyiksa menggantung di antara mereka. Keduanya membeku. Marika menatap kaleng hijau terang di tangan Ren, lalu menatap wajah Ren yang masih memerah karena tersedak.
Wajah Marika memerah dalam sekejap. "Ke-kenapa kamu di sini?! Dan... dan kenapa kamu minum itu?!"
Dia tertangkap basah. Dua kali. Ren panik. Otaknya mencari-cari alasan.
"A-Aku?! Aku cuma... haus!" kata Ren, suaranya agak serak. "Mesin di depan penuh. Jadi aku jalan-jalan... dan ya, ini. Aku... aku suka melon?"
Itu adalah kebohongan terburuk dalam sejarah umat manusia.
Marika menyipitkan matanya. Dia jelas tidak percaya. Dia tahu Ren mengikutinya? Tidak, dia tidak mungkin tahu. Dia di sini untuk membeli minumannya sendiri!
"Itu minuman aneh," kata Marika pelan, lebih seperti pernyataan pada dirinya sendiri. Dia terlihat sangat canggung, tidak tahu harus meletakkan tangannya di mana.
Ren melihat koin di tangan Marika. Dia sadar. Marika kembali ke sini untuk membeli minuman itu lagi.
Kejadian kemarin... pujian Ren... itu membuatnya cukup senang untuk kembali lagi ke minuman "aneh" ini. Hati Ren menghangat.
Marika dewasa benar. Dia rapuh.
Ren menarik napas dalam-dalam. Oke. Tidak ada naskah dari masa depan. Hanya ada dia, Marika, dan soda melon yang rasanya aneh.
"Oh, iya," kata Ren, berusaha mengalihkan pembicaraan dari minuman itu secepat mungkin. Dia harus menggunakan satu-satunya topik yang mereka miliki bersama. "Tsukishima-san. Soal... festival."
Perubahan topik itu tampaknya berhasil. Marika mengerjap, seolah baru saja ditarik kembali ke mode ketua kelas. "Festival? Kenapa?"
"Pekerjaan di gudang kemarin. Kita belum selesai mendata semuanya," kata Ren. "Dan Yamada-kun mungkin tidak akan banyak membantu. Kita... kita harus membuat rencana."
Ini adalah pertama kalinya Ren mengajukan diri untuk melakukan pekerjaan panitia.
Marika menatapnya, curiga. "Kamu? Mau membuat rencana? Bukannya kamu akan pura-pura sakit perut lagi?"
Wajah Ren memanas. "Itu... kemarin aku tidak pura-pura!" (Setengah bohong). "Maksudku, ini pekerjaan kita berdua. Aku hanya tidak ingin nilai kelasku jelek karena seksi perlengkapan gagal."
Marika mengamatinya sejenak. Ren bisa melihat otaknya bekerja keras, menganalisis situasi. Akhirnya, dia menghela napas, ketegangannya sedikit mengendur.
"...Baik. Kamu benar. Yamada tidak bisa diandalkan," katanya. "Besok sepulang sekolah, temui aku di ruang OSIS. Kita buat daftar tugasnya dengan benar. Jangan terlambat."
"Oke," kata Ren, merasa lega.
"Dan..." Marika ragu-ragu. Dia melirik buku sketsa yang tidak ada di sana, seolah-olah dia bisa melihatnya di udara. "Soal yang... kemarin. Di gudang."
Jantung Ren berhenti.
"Jangan salah paham," kata Marika cepat, wajahnya kembali memerah. "Aku tidak peduli kamu berpikir gambarku bagus atau tidak. Itu... itu cuma hobi bodoh. Jangan besar kepala."
"Aku tidak besar kepala," balas Ren lembut, mengejutkan dirinya sendiri. "Dan itu bukan hobi bodoh."
Dia menatap mata Marika langsung. "Aku serius, Tsukishima-san. Kalau klub drama butuh desainer kostum, kamu harusnya mencoba. Sayang sekali kalau bakat itu hanya disimpan di gudang."
Marika terdiam. Dia terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu yang pedas, tapi tidak ada kata yang keluar. Dia hanya menatap Ren, bibirnya sedikit terbuka.
"...Ruang OSIS. Besok. Jangan terlambat," ulangnya, suaranya jauh lebih pelan kali ini.
Dia berbalik, tidak jadi membeli minumannya, dan berjalan cepat kembali ke gedung sekolah.
Ren ditinggalkan sendirian di bawah pohon ginkgo, masih memegang kaleng cream soda melon yang setengah penuh. Dia menatap kaleng itu, lalu tersenyum kecil.
Dia mengangkat kaleng itu ke udara, seolah bersulang pada Marika dewasa yang entah ada di mana.
Lalu dia menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Rasanya masih aneh. Tapi sekarang, dia mulai menyukainya.