Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjuangan
Tidak sampai lima belas menit, motor itu sudah siap dikendarai kembali. Jelita membayar sesuai nominal yang disebutkan oleh abang bengkel, lalu kembali ke motornya. Ia mengenakan helm dan duduk di atas jok, siap berangkat.
“Sudah mau pulang, Mbak?” tanya Rian basa-basi. Padahal, ia jelas tahu wanita itu pasti pulang. Untuk apa lagi dia berada disana kalau bannya sudah selesai ditambal?
“Iya, Pak Lurah. Sekali lagi, terima kasih atas bantuannya,” jawab Jelita sopan, suaranya tenang namun terasa berjarak.
Rian tersenyum kecil. “Bukan hal besar kok, Mbak. Hmm… sepertinya lain kali panggil saya dengan nama saja, ya. Mas Rian, misalnya. Biar lebih akrab. Eh, tapi kalau mau akrab, saya harus tahu dulu dong nama Mbak siapa.”
Nada suaranya terdengar ringan, tapi matanya penuh rasa ingin tahu. Namun Jelita hanya tersenyum tipis.
“Saya pulang dulu. Sekali lagi, terima kasih,” ucapnya singkat sebelum memutar gas motornya.
Rian hanya bisa berdiri mematung, menatap punggung wanita itu yang perlahan menjauh di antara debu jalanan.
“Ini mah super duper kuadrat teganya…” gumamnya putus asa.
Abang bengkel yang sejak tadi memperhatikan dari belakang akhirnya maju, berdiri di samping Rian. Keduanya menatap ke arah jalan yang kini sudah kosong.
“Usaha lebih keras lagi, Pak Lurah,” ucap si abang sambil terkekeh. “Mbak-nya itu kayaknya tipe yang butuh perjuangan ekstra.”
Rian menoleh, masih bingung. “Maksudnya gimana, Bang? Memang kelihatan, ya?”
Abang bengkel mengangkat alisnya, menatap Rian dari ujung kepala sampai kaki, lalu nyengir. “Kelihatan banget, Pak Lurah. Dari cara Bapak liatin tadi aja udah beda. Kalau yang cuma basa-basi, pandangannya nggak sampai segitu fokusnya.”
Rian berdeham pelan, pura-pura cuek. “Ah, Bang ini bisa aja.”
Si abang hanya tertawa kecil sebelum menambahkan dengan nada menggoda, “Tapi jujur aja nih, Pak. Saya lihat-lihat, Bapak tuh lebih cocok sama Mbak yang tadi daripada sama si Nadya itu.”
Rian sontak menoleh cepat, wajahnya kaget setengah geli. “Bang tahu juga tentang Nadya?”
Abang bengkel tertawa keras. “Satu desa, Pak. Gosip jalan lebih cepat dari ban bocor.”
Rian tak kuasa menahan senyum, menepuk pundak si abang sambil menggeleng pelan. “Wah, kayaknya saya harus sering-sering ke bengkel sini, nih. Informasinya lengkap.”
“Siapa tahu, lain kali yang dibenerin bukan ban motor, tapi hati,” sahut abang bengkel santai.
Rian hanya tertawa, menyalakan motornya, tapi dalam hati ia diam-diam memikirkan ucapan abang bengkel itu.
“Apa hatiku akan rusak nantinya kalau sikap cewek itu seperti ini terus? Ah lemah… baru segini udah ciut. Perjuangkan!” batin Rian.
*
*
*
Jelita tiba di rumah saat langit mulai berwarna jingga keemasan. Di teras, Kakek Doni tampak duduk santai di kursi rotan kesayangannya. Di pangkuannya terletak sebuah buku dengan pembatas di tengahnya, sementara di meja kecil di sampingnya terhidang secangkir kopi hitam yang masih mengepul dan beberapa potong ubi rebus yang baru diangkat dari kukusan.
“Pasiennya ramai hari ini, Kak?” tanya Kakek begitu melihat Jelita memarkirkan motornya dengan rapi, bersebelahan dengan motor para pekerja rumah.
“Cuma dua, Kek,” jawab Jelita santai sambil melepas helm. Ia naik ke teras, menyalami tangan sang kakek, lalu duduk di kursi sebelahnya.
“Lho, terus kok pulangnya agak telat? HP kamu juga mati. Kakek kira kamu sengaja matikan karena lagi tangani pasien,” ujar Kakek Doni sambil menutup bukunya. Nada suaranya lembut, tapi matanya menyiratkan kekhawatiran.
“Ban motor Jelita bocor, Kek,” jelas Jelita, mengambil sepotong ubi dari piring. “Jelita ke bengkel dulu, makanya agak lama.”
“Bocor?” Kakek Doni menegakkan duduknya. “Di mana? Kamu dorong motornya atau ada yang bantu?”
“Bocornya di jalan panjang yang kiri kanannya sawah itu, Kek. Untung ada yang bantuin. Dia yang bawa motor Jelita sampai ke bengkel, terus nungguin sampai selesai,” jawab Jelita tenang.
“Orang yang kebetulan lewat?” tanya Kakek dengan alis terangkat.
“Iya. Tapi orangnya ternyata kenal Kakek juga,” ucap Jelita sambil menyeruput air putih.
“Kenal Kakek? Siapa?”
“Pak Lurah,” jawab Jelita datar.
“Pak Lurah?” ulang Kakek Doni dengan ekspresi yang langsung berubah penasaran.
“Iya. Katanya Kakek kenal sama dia.”
“Jangan-jangan Nak Rian?” tanya Kakek memastikan, matanya menyipit seolah mencoba mengingat wajah yang disebut.
“Kalau nggak salah sih, iya. Tadi dia nyebut nama itu.”
Kakek Doni langsung menyandarkan punggung, tersenyum kecil, matanya berbinar penuh arti. “Terus… apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada penuh semangat.
“Nggak ada apa-apa, Kek,” jawab Jelita pelan sambil mengunyah ubi. Ia melirik kakeknya, bingung dengan antusiasme yang tiba-tiba muncul.
Kakek Doni berdeham, mencoba menahan senyum. “Terus, kamu bilang nama kamu siapa ke dia?”
“Belum,” jawab Jelita singkat, menggeleng pelan.
“Bagus!” seru Kakek Doni sambil menepuk pahanya, membuat Jelita memandangnya heran.
“Bagus kenapa, Kek?”
“Ya bagus. Biar dia cari tahu nama kamu pakai usaha sendiri. Jangan dikasih tahu, ya. Biar sekalian Kakek tahu seberapa niat anak itu.”
Jelita menatap kakeknya tak percaya. “Kek… cuma mau tahu nama aja harus diuji segala?”
“Harus,” jawab Kakek mantap. “Kakek udah bilang juga ke orang-orang di rumah, kalau anak itu nanya soal kamu, jangan kasih tahu namanya.”
Jelita menatap Kakeknya sambil menghela napas, antara geli dan bingung. “Kek ini kayak main sandiwara aja.”
“Bukan sandiwara, tapi ujian kecil,” ujar Kakek Doni sambil meneguk kopinya. “Kalau dia benar-benar tertarik, pasti dia bakal nemuin caranya. Kalau cuma penasaran sesaat, ya pasti berhenti di tengah jalan.”
Jelita berdiri, menaruh kulit ubi di piring kecil. “Kalau Kakek sampai jadi jodoh-jodohan Jelita sama orang itu, Jelita kabur ke rumah Papa Mama, deh,” ujarnya setengah bercanda.
Kakek tertawa kecil. “Kakek nggak maksa, kok. Cuma… Kakek pengin lihat aja, apakah masih ada pemuda yang tahu cara berjuang, bukan cuma asal suka.”
“Hmm…” Jelita hanya menanggapinya dengan gumaman kecil. Ia berjalan masuk ke rumah, tapi sebelum menutup pintu, ia sempat menoleh dan berkata pelan, “Kakek ini aneh, tapi lucu.”
Kakek Doni hanya tertawa puas, menatap ke arah pintu kamar cucunya yang baru saja tertutup. Ia lalu menyesap lagi kopinya sambil berucap pelan, seolah berbicara pada diri sendiri.
“Lihat saja, Nak Rian… apakah kamu cukup sabar menembus es cucuku itu.”
cabe setan 1 kg 90
rawit 1 kg 70.... ya allah.....😭😭😭😭😭 bawang merah 1 kg 50
Rian harus siapkan mental menghadapi papa Fadi dan kakek Doni
😁
Pak Lurah tolong ya diperjelas, statusnya Nadya buat pak Lurah itu apa. Jangan sampai warganya bergosip lagi lho😂