Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Bab 4
“Hei, kenapa lama sekali? Siapa yang menelepon kamu? Pacarmu, ya?” tanya Merry dengan nada menggoda sambil menunggu di depan lift lantai dua puluh dua. Tatapannya penuh selidik, dan senyum kecil bermain di ujung bibirnya.
“Oh, bukan,” jawab Aryo sambil menyelipkan ponselnya ke saku celana. “Cuma salah sambung.”
Merry mengerutkan alis. “Kok lama banget kalau cuma salah sambung?”
“Ya gitulah, telemarketing yang menyebalkan,” ucap Aryo datar, mencoba menutupi sesuatu yang tak perlu dijelaskan. Terkadang berbohong ringan akan lebih aman daripada mengundang pertanyaan yang bisa menjerat diri sendiri.
Merry hanya mengangkat bahu. “Ya sudah, ikut aku. Aku antar ke Pak Carlo, ketua keamanan lantai dua puluh dua.” Ia sempat mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, memberi lengannya agar digandeng, tapi Aryo menggeleng halus — isyarat tegas bahwa ia menjaga batas profesional.
Ruangan ketua keamanan PamungkasCorps lantai 22 tidak besar, namun dipenuhi deretan monitor yang menampilkan rekaman CCTV dari berbagai sudut. Di salah satu layar, Aryo sempat melihat ruang kantor Meliana Andara, sang CEO. Dinding kacanya membuat ruangan itu tampak seperti akuarium berkilau — semua orang bisa melihat sosok elegan perempuan itu tengah berdiri di depan meja besar, memimpin rapat dengan aura dingin dan berwibawa.
Aryo menatap lama ke arah layar itu, diam, menahan sesuatu di dadanya.
“Dia tidak menggigit, kok,” celetuk Merry, menyadari arah pandangan Aryo. Nada suaranya ringan tapi menggoda.
Aryo menoleh pelan, tersenyum miring. “Tapi kamu menggigit tidak?” tanyanya, masih dengan nada main-main.
Merry membalas cepat, “Hanya di bagian yang bikin kamu geli.” Ia tertawa kecil, menepuk bahunya. “Oke, nanti hubungi aku kalau butuh bantuan. Posku di sana.” Ia menunjuk ke arah koridor selatan.
Aryo menatap kepergiannya sambil berkomentar lirih, “Merry, ya…” Sebaris senyum geli terbit di wajahnya.
Ia lalu mengetuk pintu ruang Pak Carlo. Suara berat dari dalam menjawab, “Masuk.”
Carlo, ketua keamanan lantai dua puluh dua, duduk di balik meja dengan tubuh tegap dan berotot. Kumisnya rapi, rambutnya disisir klimis ke belakang. Matanya tajam, memeriksa berkas di tangannya. Aryo tahu, itu surat penugasan miliknya.
“Silakan duduk,” ujar Carlo datar tanpa menatap.
“Terima kasih, Pak,” jawab Aryo sambil duduk tegap, postur tubuhnya menunjukkan disiplin yang terlatih.
“Saya Carlo. Kau petugas keamanan baru, ya?” tanyanya, kini menatap langsung ke wajah Aryo.
“Betul, Pak. Baru sekitar dua minggu.”
“Menarik,” Carlo menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Biasanya prosedur promosi tidak secepat ini. Biasanya ada masa percobaan dulu sebelum naik ke lantai ini. Lagipula, tim keamanan di lantai ini sudah lengkap.”
“Saya hanya menuruti perintah, Pak.”
“Perintah dari siapa?” tanya Carlo, matanya menyipit.
Aryo mengedikkan bahu seolah tidak tahu-menahu. “Kalau dari surat tugas yang Bapak pegang, bukankah di situ tertulis jelas asalnya?”
Carlo tersenyum samar. “Benar juga. Surat ini datang langsung dari Kamal Andara, pemilik PamungkasCorps. Tidak biasa lho, pemilik perusahaan ikut campur sampai ke urusan penempatan satpam. Kau pasti orang istimewa.”
Aryo menahan senyum. “Saya bukan siapa-siapa, Pak. Hanya petugas baru.”
“Dan Pak Kamal juga bukan siapa-siapa, hanya… pemilik PamungkasCorps,” Carlo menekankan kalimatnya, nada curiga kental terdengar. Ia menatap dalam, mencoba membaca wajah Aryo.
Ruangan itu tiba-tiba terasa hening. Dua pria itu saling pandang, tegang tanpa suara.
Akhirnya Carlo menghela napas. “Baiklah. Selamat bergabung di lantai dua puluh dua. Nanti Merry akan jelaskan detail tugasmu.” Ia menjulurkan tangan.
Aryo menjabat dengan mantap. “Terima kasih, Pak Carlo.”
Begitu Aryo keluar, Carlo menyalakan tablet kecil di mejanya. Jari telunjuknya menyentuh layar — tampilan CCTV lantai dua puluh dua muncul. Kamera mengikuti setiap langkah Aryo. Tatapan Carlo berubah tajam.
Tugas hari pertama Aryo dimulai. Merry menjelaskan semuanya dengan detail — mulai dari pos di area lift hingga jadwal patroli rutin. Di lantai dua puluh dua ini banyak tamu penting: klien asing, pejabat tinggi, hingga investor besar. Hampir semua ruangannya berdinding kaca, memberikan kesan terbuka namun penuh pengawasan.
Hanya ruang keamanan yang tertutup rapat. Di sanalah Aryo punya meja kecilnya sendiri. Dari ruangan itu, ia bisa memantau seluruh lantai, termasuk ruangan Meliana.
“Kamu ini istimewa ya, bisa langsung naik ke lantai paling atas,” goda Merry saat Aryo menyalakan monitor.
Aryo menoleh dengan senyum tipis. “Istimewa seperti kamu, mungkin.”
Merry tertawa kecil, menunduk malu. “Kamu ada waktu kosong nggak malam ini? Jalan yuk.” Ia mendekat, tubuhnya sedikit condong, aroma parfumnya menyentuh udara.
Aryo bergeser pura-pura mengambil pena. “Kayaknya nggak bisa malam ini. Lain kali aja, ya?”
Merry mengangguk kecil, lalu mundur dengan tawa ringan. “Oke deh. Jangan nyesel, ya.”
Beberapa jam kemudian, Aryo berjalan berkeliling lantai dua puluh dua, memastikan keamanan di tiap sudut. Saat melintas di depan ruang rapat utama, ia melihat Meliana Andara berdiri di depan layar presentasi bersama seorang pria berjas mahal. Tatapan mata mereka bertemu sejenak. Tatapan dingin Meliana seolah menelanjangi dirinya.
“Tiga bulan,” batin Aryo dalam hati, “akan kubuktikan siapa yang pantas berdiri di sisimu.”
Siang menjelang sore. Aryo kembali ke ruang kontrol CCTV. Ia membuka aplikasinya di ponsel, yang ia sambungkan dengan sistem pengenal wajah. Sekali sentuh, layar ponselnya langsung menampilkan wajah Meliana. Pandangannya tertahan lama di sana — di sorot mata tajam, di bibir kaku yang jarang tersenyum, hingga di lekuk tubuhnya yang sempurna.
“Makhluk seindah itu,” gumamnya pelan, “dan sebentar lagi akan jadi milikku.”
Sore hari, Aryo kembali ke ruang Carlo untuk menyerahkan laporan pertamanya.
Carlo menatap tanpa senyum. “Siapa kau sebenarnya, Aryo Pamungkas?”
Aryo tetap tenang. “Satpam baru, Pak.”
Carlo menggerakkan jarinya di layar tablet, memutar sebuah rekaman CCTV. Tampak seorang pria melumpuhkan tiga perampok bersenjata di sebuah money changer dengan gerakan cepat dan akurat.
“Ini kau, bukan?” tanyanya tajam.
Aryo pura-pura mengernyit. “Kurang yakin, Pak. Gambar kadang suka mirip.”
Carlo mendengus. “Saya tahu bedanya amatir dan profesional. Gerakanmu tidak bohong. Pernah di militer?”
Aryo menarik napas panjang. “Mau tahu siapa saya sebenarnya?” katanya pelan. “Dengan satu syarat: jangan ceritakan pada siapa pun.”
Carlo mengangguk perlahan.
“Saya orang yang akan menikahi Meliana Andara,” ujar Aryo tenang.
Carlo terdiam sejenak — lalu meledak tertawa. “Lucu juga kamu. Oke, cukup bercandanya.”
“Mau percaya atau tidak, terserah, Pak,” jawab Aryo santai sambil beranjak. “Tapi tiga bulan lagi… Bapak akan lihat sendiri.”
Carlo hanya bisa menggeleng, separuh kikuk, separuh tidak percaya.
Aryo turun ke lantai tiga, hendak mengambil barang-barangnya yang masih tertinggal sejak pagi. Namun sebelum sampai ke ruang locker, seseorang menepuk bahunya.
Sania, perempuan berambut pendek dengan seragam yang sedikit ketat, menatapnya dengan senyum menggoda. “Kamu kosong malam ini?”
Aryo tertawa kecil. “Tergantung siapa yang ngajak.”
“Yuk, ikut aku dan teman-teman. Ulang tahunku malam ini.” Sania menarik tangannya tanpa memberi kesempatan menolak.
Aryo mengikuti, sebagian karena malas ribut, sebagian lagi karena… dia memang menikmati perhatian perempuan.
Mobil sedan Sania sudah menunggu di depan lobi. Begitu mereka masuk, Sania langsung memeluknya erat. “Kamu belum ngucapin selamat ulang tahun.”
Aryo mencondongkan wajahnya, berbisik lembut, “Selamat ulang tahun, Sania.”
“Hadiahku mana?” godanya.
Aryo tertawa pelan. “Aku nggak tahu kamu ulang tahun hari ini.”
“Kalau begitu, hadiahmu adalah… temani aku malam ini,” bisik Sania, suaranya menurun satu oktaf lebih lembut.
Aryo menyalakan ponselnya diam-diam. GPS mobil Meliana masih menunjukkan titik di parkiran gedung. Aman. Ia menghela napas lega.
Namun ia tak tahu, di belakang mobil Sania, sebuah sedan hitam berhenti. Di dalamnya, Meliana Andara duduk dengan wajah menegang. Ia memotret pemandangan di depan matanya — Aryo dan Sania berpelukan mesra di balik kaca mobil.
Tatapan Meliana menusuk tajam, rahangnya mengeras.
Mulutnya bergerak pelan, suaranya nyaris berbisik tapi penuh api.
> “Dasar cabul…”
“Dasar buaya darat…”
Dan di detik berikutnya, lampu kamera ponselnya berpendar — merekam sesuatu yang akan mengubah segalanya.
Bersambung.