NovelToon NovelToon
PESONA TETANGGA BARU

PESONA TETANGGA BARU

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa
Popularitas:7.4k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"

Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.

Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.

Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

16

Maya berbaring di samping Tama, matanya menatap langit-langit kamar yang gelap. Suami-nya sudah terlelap, dengkurannya mengisi kesunyian. Namun, Maya tak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh Arya. Pujian-pujiannya, tatapan intensnya, sentuhan-sentuhan 'tak sengaja' yang disengaja.

Ada perasaan aneh yang bergejolak di dalam dirinya.

Sebuah campuran antara-rasa senang dan rasa bersalah. Senang karena ia diperhatikan, dihargai, dipuji dengan cara yang tak pernah ia dapatkan dari Tama. Senang karena ia merasa... diinginkan. Tapi rasa bersalah itu begitu kuat, menekan-nekan dadanya. Ia sudah bersuami. Ia tahu ini salah. Tapi mengapa perasaan ini begitu kuat?

Ia memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan Arya. Namun, justru wajah pria itu yang muncul. Senyum tipisnya, mata tajamnya yang menyimpan misteri. Hati Maya berdesir. Ia tahu, ia sedang bermain api. Dan api itu semakin membesar, membakar seluruh logikanya.

***

Dua hari berikutnya, Arya tidak terlihat di rumah.

Maya menjalankan rutinitasnya seperti biasa, membersihkan dan merapikan. Tapi setiap sudut rumah terasa kosong tanpa kehadirannya. Rasa penasaran itu semakin menggerogoti Maya. Ia ingin tahu, apa yang Arya lakukan di luar sana. Apakah ia juga memikirkannya?

Pada hari ketiga, saat Maya sedang menjemur pakaian di area laundry dekat taman belakang, ia mendengar suara mobil Arya. Jantungnya langsung berdebar. Ia segera menyelesaikan pekerjaannya, lalu bergegas menuju dapur.

Benar saja, Arya sudah ada di dapur, sedang meneguk air dari gelas. Ia mengenakan kaus polos abu-abu dan celana pendek olahraga, rambutnya sedikit basah.

Penampilannya santai, namun tetap memancarkan aura maskulin yang kuat.

"Selamat sore, Tuan," sapa Maya, berusaha terlihat tenang.

"Sore, Mbak Maya," jawab Arya, ia menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya. "Sudah selesai semua pekerjaan hari ini?"

"Sudah, Tuan," jawab Maya.

"Rajin sekali," puji Arya, matanya menatap Maya dengan senyum yang kali ini terasa lebih hangat. "Saya baru saja selesai berolahraga. Gerah sekali."

"Iya, Tuan," kata Maya. Ia melihat tetesan keringat di dahi Arya.

Arya mengambil handuk kecil yang ia letakkan di meja, lalu mengelap dahinya. "Mbak Maya juga pasti gerah, ya? Seharian bersih-bersih."

"Sedikit, Tuan," kata Maya. Ia merasa canggung dengan tatapan Arya yang tak lepas darinya.

"Mau minum dingin?" tawarnya, menunjuk kulkas. "Ada jus jeruk atau air mineral."

"Tidak usah, Tuan. Terima kasih," tolak Maya. Ia tahu ini adalah pola yang sama, tawaran untuk berinteraksi lebih lama.

Arya mengangkat alisnya sedikit, sebuah senyum menggoda muncul di bibirnya. "Kenapa selalu menolak?

Saya tidak akan meracuni Anda, Mbak Maya."

Maya tersipu. "Bukan begitu, Tuan. Hanya... tidak enak saja."

"Jangan tidak enak. Saya justru senang kalau Anda mau minum di sini. Anggap saja rumah sendiri," kata Arya, suaranya pelan, seolah hanya untuk didengar Maya. Matanya menatap Maya dalam. Sebuah undangan yang tak terucapkan.

Jantung Maya berdesir. Kata 'rumah sendiri' itu memiliki makna yang dalam baginya. Sebuah harapan yang tersembunyi.

"Baiklah, Tuan. Air mineral saja," kata Maya, akhirnya menyerah.

Arya tersenyum puas. "Bagus." Ia mengambil sebotol air mineral dari kulkas, lalu menuangkannya ke gelas. "Ini untuk Anda."

Maya mengambil gelas itu. Jari-jari mereka bersentuhan sesaat. Sentuhan yang singkat, namun terasa panas di kulit Maya. Maya segera menarik tangannya, merasakan pipinya memanas.

"Terima kasih, Tuan," katanya, meneguk air itu pelan.

Arya tidak segera pergi. Ia bersandar di meja island, mengamati Maya minum. Tatapannya begitu intens, membuat Maya merasa gelisah sekaligus anehnya, menikmati.

"Jadi, Mbak Maya," Arya memulai percakapan, "Bagaimana perasaan Anda kerja di sini? Nyaman?"

"Nyaman, Tuan. Saya suka. Rumahnya bersih, sepi," jawab Maya.

"Sepi, ya?" Arya tersenyum tipis. "Anda tidak suka keramaian?"

"Saya... tidak terlalu suka," kata Maya. Ia berpikir tentang Tama yang suka suasana ramai di bengkel, obrolan dengan teman-temannya.

"Saya juga. Kadang saya merasa... lelah dengan keramaian. Ingin sekali pulang dan merasakan ketenangan," kata Arya, suaranya sedikit melankolis. "Dulu, saat istri saya masih ada, rumah tidak pernah sepi. Selalu ada tawa, obrolan."

Maya menatap Arya. Ada kesedihan yang tulus di matanya. Sisi rapuh Arya kembali terlihat. Maya merasa ada dorongan aneh untuk menghiburnya.

"Saya turut prihatin, Tuan," kata Maya pelan.

Arya tersenyum pahit. "Hidup memang begitu, Mbak

Maya. Kadang kita harus merelakan apa yang kita cintai."

Ia menatap Maya, matanya mencari sesuatu di wajah Maya.

"Apakah Anda... merasakan hal yang sama?"

Jantung Maya berdesir. Pertanyaan itu begitu pribadi, begitu menusuk. Ia merasakan kehampaan dalam pernikahannya. Rasa tidak dicintai, tidak diinginkan.

Apakah Arya bisa melihat itu?

Maya menggeleng pelan. "Saya... saya tidak tahu harus bilang apa, Tuan."

Arya tersenyum tipis, seolah mengerti tanpa kata.

"Tidak apa-apa. Saya tidak memaksa Anda bicara." Ia meneguk air mineralnya.

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Tapi kali ini, keheningan itu terasa lebih dalam. Maya merasa ada ikatan tak terlihat yang terbentuk di antara mereka, ikatan karena kesamaan luka dan kesepian.

"Saya harus segera mandi," kata Arya, memecah keheningan. "Terima kasih sudah menemani, Mbak Maya."

"Sama-sama, Tuan," kata Maya.

Arya melangkah pergi menuju kamar mandi. Maya hanya bisa menatap punggungnya. Perasaan yang bergejolak di dalam dirinya semakin kuat. Rasa bersalah itu masih ada, tapi kini bercampur dengan perasaan kasihan, simpati, dan gairah yang membara.

Beberapa hari berikutnya, interaksi mereka semakin intens, semakin personal. Arya sering mencari alasan untuk berbicara dengan Maya, bahkan untuk hal-hal sepele.

Seperti suatu sore, Maya sedang merapikan lemari pakaian di kamar Arya. Ia sedang melipat tumpukan kaos yang baru saja kering. Arya tiba-tiba masuk, mengenakan handuk di pinggangnya, baru selesai mandi. Rambutnya masih basah, meneteskan air ke dadanya yang bidang. Aroma sabun dan parfum maskulin yang pekat langsung memenuhi kamar.

Maya terkesiap. Ia segera membuang pandangannya, pipinya memerah. Ia tidak menyangka Arya akan muncul dalam kondisi seperti itu.

"Oh, maaf, Mbak Maya," kata Arya, nadanya santai, seolah tidak ada yang aneh. Ia melangkah menuju lemari, tak peduli dengan kehadiran Maya. "Saya lupa ambil pakaian ganti."

Maya memalingkan wajah, merasa sangat canggung. Ia berusaha fokus pada kaos di tangannya. Namun, matanya tak bisa menolak untuk mencuri pandang. Arya berjalan telanj4ng dada, tubuhnya terbentuk sempurna. Otot-ototnya, dadanya yang bidang, dan rambut-rambut halus yang tumbuh di sana. Sebuah pemandangan yang membuat Maya menahan napas.

Arya meraih beberapa pakaian dari lemari, lalu berbalik. Ia berjalan melewati Maya, sangat dekat. Terlalu dekat. Maya bisa merasakan hembusan napasnya, dan kehangatan kulitnya.

"Maaf kalau mengganggu," bisik Arya, suaranya serak, tepat di telinga Maya saat ia melintas. Tangannya 'tak sengaja' menyentuh lengan atas Maya, sedikit mengusap.

Sentuhan itu singkat, namun terasa panas, sebuah sengatan yang menjalar ke seluruh tubuh Maya.

Jantungnya berdegup kencang, darahnya berdesir. Arya tidak langsung menarik tangannya. Sentuhan itu sedikit terlalu lama, sebuah usapan halus yang disengaja.

Maya menahan napas, matanya memejam. Aroma Arya memenuhi indra penciumannya. Ia merasa lumpuh, tak bisa bergerak.

"Saya pergi dulu," bisik Arya lagi, suaranya lebih rendah, lalu ia melangkah menjauh.

Maya membuka mata. Arya sudah keluar dari kamar.

Ia segera menyentuh lengannya, tempat Arya tadi menyentuh. Panas itu masih terasa.

Rasa bersalah pada Tama kembali muncul, lebih kuat dari sebelumnya. Ia tahu ia sudah melewati batas. Tapi sentuhan Arya, bisikan Arya, tatapan Arya... semua itu begitu memabukkan. Ia seperti tersihir. Dan ia tahu, ini baru permulaan. Sebuah awal dari sesuatu yang lebih berbahaya, lebih terlarang.

1
Mar lina
kalau sudah ketagihan
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya
lestari saja💕
klo sdh kondisi gtu setan gampang bgt masuk menghasut
lestari saja💕
ya pasti membosan kan bgt.bahaya itu
lestari saja💕
mampir,penulisannya bagus,semoga ga berbelit2
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!