Arjuna dikenal sebagai sosok yang dingin dan datar, hampir seperti seseorang yang alergi terhadap wanita. la jarang tersenyum, jarang berbicara, dan selalu menjaga jarak dengan gadis-gadis di sekitarnya. Namun, saat bertemu dengan Anna, gadis periang yang penuh canda tawa, sikap Arjuna berubah secara drastis.
Kehangatan dan keceriaan Anna seolah mencairkan es dalam hatinya yang selama ini tertutup rapat. Tak disangka, di balik pertemuan mereka yang tampak kebetulan itu, ternyata kedua orangtua mereka telah mengatur perjodohan sejak lama. Perjalanan mereka pun dimulai, dipenuhi oleh kejutan, tawa, dan konflik yang menguji ikatan yang baru saja mulai tumbuh itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ivan witami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Pacarku
“Eh, itu kenapa anak baru digendong pak bos? Beruntung banget dia,” bisik salah satu karyawan.
Dengan tatapan sinis salah satu karyawan itu mencibir,“ Bukan beruntung, tapi ngelunjak, gak tahu diri. Anak baru sok-sokan akrab sama bos. Ganjen.”
Anna mendengar itu pun menepuk pundak Juna. Juna yang paham pun menurunkan Anna. Anna perjalan sedikit pincang ke arah wanita yang membicarakannya itu.
“Bilang apa tadi? Ngelunjak? Sok akrab sama pak Juna. Ganjen?” selidik Anna.
“Ih, perasaan banget kamu di omongin. Lagian kalau gak ganjen, kenapa kamu pakai baju tanpa lengan gini, gak sopan.”
Anna melihat tangannya, ia baru teringat sweaternya tidak ada. Ia lupa entah dimana ia meletakkannya. Juna menghela nafas panjang meninggalkan mereka.
Karyawan itu pun tertawa mengejek karena Juna pergi.
Anna tersenyum, mengingat peraturan kantornya yang membebaskan pakaian untuk bekerja.“Bukannya kantor ini membebaskan karyawannya untuk berpakaian ya?Lagi pula, pakaianku masih sopan. Kenapa? Matamu terganggu.”
Juna kembali dengan membawa sweater Anna.“Sudah cukup, ini sweater kamu, tadi pagi ketinggalan di mobil,” ucap Juna sambil mengenakan Sweater di pundak Anna.
“Saya peringatkan jangan ada lagi yang bicara jelek tentang Anna. Anna pacarku. Apa salah aku menggendongnya?” tegas Juna lalu tanpa permisi membopong Anna, karena tahu kaki Anna masih sakit.
Anna masih sedikit syok dan terus melihat wajah Juna yang rupawan itu, ia juga bingung mengapa Juna membelanya dan menyebutnya sebagai pacarnya. Padahal, mereka baru saja bertemu pagi tadi.
Juna menurunkan Anna disofa. Ia berlutut melepaskan sepatu Anna. Ia mencoba memeriksa kaki Anna yang terkilir.
“Pak Bos, kamu … kenapa tiba-tiba membela aku seperti itu?” tanya Anna lirih, matanya masih terpaku pada wajah Juna yang sungguh tampan, dengan tatapan penuh perhatian dan sedikit cemas.
“Aku tidak suka orang bergosip.”
“Tapi kita baru kenal beberapa jam yang lalu, kenapa kamu bisa secepat itu bilang aku pacarmu?”
Juna menghela nafas panjang, kemudian berkata, “Diam, aku mau pastiin kaki kamu.” Juna dengan hati-hati meremas kaki Anna yang tampak bengkak, membuat Anna mengerang sedikit kesakitan.
“Kamu serius? Ini kakiku bisa tambah parah kalau kamu salah pijit,” kata Anna sambil menarik wajahnya kesakitan.
“Tidak terlalu parah, hanya terkilir biasa. pasti cepat sembuh,” ujarnya Juna yakin.
Anna mengangguk, perlahan mulai merasa nyaman dengan perhatian dan kehangatan yang ditunjukkan Juna. Namun rasa penasaran akan alasan Juna masih membekas di pikirannya.
“Pak Juna, bisa jelasin kenapa bilang aku pacar kamu? Aku bingung,” desak Anna.
Juna menatap dalam mata Anna, seolah mengukur keberaniannya untuk berterus terang.” Aku menyukaimu,” ucap Juna menatap Anna.
“Heehh, mana bisa begitu? Kita saja baru ketemu.”
“Baru ketemu saja kamu berani menciumku tiba-tiba? Dan itu aku anggap kamu sudah jadi pacarku,” tegas Juna semakin mendekatkan wajahnya pada Anna yang sudah mundur bersandar di sofa.
“Anggapan macam apa itu? Itu hanya sepihak, lagipula kejadian tadi pagi di mobil aku sudah minta izin sama kamu, dan kamu mau melakukan itu. Sedangkan saat ini? Aishh… nyebelin.”
Juna terus menatap wajah Imut Anna, Anna sedikit takut dan memejamkan mata, tetapi Juna mengira Anna menunggu untuk dicium. Juna pun meraih dagu Anna dan mencium bibir Anna.
Anna terkejut melebarkan matanya. Ia berusaha mendorong Juna.“Apa-apaan sih, Pak? Tiba-tiba cium aku.” Ana benar-benar kesal lalu ia bangkit dari duduknya.
Anna menjauh dari Juna dengan berjalan sedikit pincang menuju meja kerjanya. Juna tersenyum melihat Anna kesal. Ia juga kembali ke tempat duduknya sendiri, melanjutkan pekerjaannya. Mereka berdua melanjutkan pekerjaannya masing-masing tanpa ada yang bersuara, hanya saling curi-curi pandang.
Wajah kesal Anna masih terlihat jelas, ia makan dimsum yang ia bawa dari kantin tanpa menawari Juna.
Terdengar bunyi perut Juna, sepertinya Juna sudah merasa lapar. Anna melirik Juna yang acuh.
Anna tidak seegois itu, ia masih mempunyai rasa kasihan. Ia pun bangkit memberikan satu porsi dimsumnya dan meletakkan di meja Juna.
“Makan, sudah jam empat sore. Sudah waktunya jam pulang, aku gak mau angkat kamu kalau nanti pingsan gara-gara kelaparan. Gak lucu kan pewaris perusahaan sebesar ini pingsan karena kelaparan,” Anna menatap tajam Juna lalu kembali ke tempatnya.
“Hari ini lembur,” ucap Juna tanpa melihat Anna.
Anna hanya diam sekilas melihatnya kesal, mengapa pria didepannya itu tiba-tiba mengajaknya lembur,padahal ia baru saja bekerja. Anna pun tidak bisa berbuat banyak, bagaimanapun ia hanyalah bawahan.
Anna mengambil ponselnya dan menghubungi sang Papa.“ Halo, Papa. Nana, hari ini gak jadi ikut kumpul keluarga ya. Nana keterima kerja langsung suruh lembur,” jawabnya manja.
“Iya, gak apa-apa. Padahal hari ini mau Papa kenalkan kamu sama calon suamimu.”
Anna melihat Juna karena Anna mengaktifkan loudspeaker ponselnya, sehingga Juna mendengar semuanya.
Konsentrasi Juna buyar setelah mendengarkannya. Ia menghentikan jarinya di keyboard laptopnya.
Anna menonaktifkan loudspeaker ponselnya lalu berbisik,“Pa.., sudah ya. Bosku nanti marah. Lagian aku gak mau dijodohin.” Anna mematikan sambungan ponselnya.
“Aku kerja juga terpaksa karena diuber-uber penagih hutang, yang utang siapa yang bayar siapa. Kalau aku jujur sama Papa pasti dilunasi sih, tapi aku juga gak mau diomelin mama, apalagi. Isshhh, kenapa aku dulu bego sih, mau aja dikibulin cowok kresek. Eh, brengsek kayak kresek.” batin Anna.
“Ihhh… nyebelin!” teriak Anna tanpa sadar membuat Juna tersedak dimsum karena terkejut.
“Huohh, Pak Bos. Maaf,” ucap Anna.
“Duh,, takut si bos ngira aku ngatain dia lagi. Ih, mulut ku,” ucap Anna dalam hati sambil melirik Juna yang saat ini sedang minum.
“Kalau kamu gak mau libur malam ini, besok tidak usah kerja lagi,” ucap datar Juna.
“Mau, Pak. Mau! Tapi tolong sediakan makanan dulu, aku gampang lapar. Kalau lapar, pikiranku gak konsentrasi.”
Juna hanya diam dan masih menatap Anna. Gadis di depannya itu bisa membuat tawa tapi juga menyebalkan.
Gadis dua puluh tiga tahun itu, bangkit dari duduknya lalu menuju sudut meja. Anna memperhatikan desain yang belum sepenuhnya selesai dan sepertinya baru setengah pengerjaan.
“Pak, ini desain Bapak?”
“Iya, itu desain baju pengantin almarhum pacarku. Belum aku selesaikan.”
“Wah, bagus banget,” puji Anna hendak menyentuh desain tersebut tetapi suara Juna menghentikannya.
“Jangan sentuh!” tegas Juna bangkit dari duduknya.
Anna menarik tangannya. Seperti bosnya itu memang marah, terdengar jelas dari nada bicaranya yang tegas tetapi tidak seperti biasanya yang ada sedikit kelembutan.
“Aku peringatkan sekali lagi. Jangan sentuh meja ini. Apalagi yang ada diatasnya. Ini wilayah pribadiku.” Juna menunjuk meja yang ada disudut itu.
Anna bukan takut, ia justru heran dengan sang bos.“ Wilayah pribadi itu dirumah, Pak. Bukan di kantor,” ucap Anna lalu meninggalkan Juna.
“Kamu–” Juna tidak melanjutkan kalimatnya, ia menghela nafas panjang, memang ada benarnya ucapan Anna, jika wilayah pribadi seharusnya di rumah, bukan di kantor.