Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EMPAT : SOSOK MISTERIUS
Rasa tak nyaman kian menjadi, setelah Herman berdiri di dekat Gita. Dia bergeser perlahan, memberikan jarak dengan pria itu.
“Ada aturan dilarang membawa wanita kemari,” ujar Herman, berlagak sok bertanggung jawab sebagai wakil mandor.
“Saya kemari hanya untuk mengantarkan makanan. Lagi pula, kami tidak masuk.” Gita mencoba berani, dengan membantah ucapan Herman yang mengarah pada tudingan.
“Aturan tetap aturan. Apa pun alasannya, tidak dibenarkan melanggar sesuatu yang sudah jelas dan diketahui semua pekerja,” balas Herman cukup tegas.
Mandala yang malas meladeni, segera menutup pintu. “Ayo,” ajaknya tanpa memedulikan ocehan Herman. Dia berjalan begitu saja melewati sang wakil mandor, dengan diikuti Gita yang mulai resah karena takut terjadi sesuatu seperti kemarin malam dan tadi siang.
“Jadi, di mana kalian akan berbuat mesum?” tanya Herman sinis penuh sindiran. “Ah, ya. Ada tempat pembuangan sampah tak jauh dari sini," ledeknya.
Mandala langsung tertegun mendengar ocehan Herman. Dia berdiri sesaat, sebelum berbalik ke hadapan pria bertubuh tinggi besar itu. “Dengarkan aku, Herman,”ucapnya tenang, tapi penuh intimidasi. “Aku tidak takut masuk penjara karena membunuh sampah masyarakat bermulut kotor dan cabul.”
“Mas ….” Gita berusaha mengingatkan agar Mandala bisa menahan diri. Namun, dia tidak berani mendekat.
“Kalian dengar?” Herman melirik ke kiri dan kanan, pada kedua rekannya yang berdiri sedikit di belakang bagai ajudan. “Dia mengancam akan membunuhku.”
“Aku tidak menyebutkan nama,” bantah Mandala dingin. “Aku hanya mengatakan sampah masyarakat bermulut kotor dan cabul. Apa kamu merasa?”
Salah seorang rekan Herman berdehem pelan. Dia ingin tersenyum, tapi tak berani.
“Seperinya, Tuhan telah keliru,” ucap Mandala lagi. “Kenapa Dia menciptakan otak yang terlalu kecil, untuk tubuh sebesar ini?” Mandala tersenyum sinis, kemudian berbalik hendak berlalu dari hadapan Herman.
“Setelah ini kupastikan bukan hanya upahmu yang dipotong Pak Rais, tetapi juga tangan dan lidahmu, Brengsek!” ancam Herman kesal. Awalnya, dia hendak membuat Mandala terpancing emosi agar terjadi keributan lagi. Akan tetapi, justru dirinyalah yang tersulut amarah dengan sangat mudah.
Mandala tertegun sejenak, tapi tak memedulikan ucapan Herman. Dia melanjutkan langkah, mengajak Gita pergi dari sana.
“Apakah yang dikatakannya tadi benar, Mas?” tanya Gita ragu, seraya berjalan ke luar area proyek.
“Tentang apa?” Mandala balik bertanya.
“Mereka memotong upah Mas Maman.”
Mandala tertegun, lalu menoleh. “Hanya untuk biaya pengobatan Herman dan kedua rekannya,” jelas Mandala datar.
“Apa?” Gita terbelalak tak percaya. “Tapi, itu pasti cukup besar, Mas.”
Mandala hanya menanggapi dengan gumaman pelan.
“Ya, ampun. Mereka sudah bersikap tidak adil,” protes Gita setengah bergumam, seakan bicara pada diri sendiri. “Apakah upah Herman dan rekan-rekannya dipotong juga?”
“Menurut Pak Rais begitu. Namun, aku tidak tahu apakah benar-benar dipotong atau tidak.”
“Seharusnya, Mas Maman melakukan protes keras kepada Pak Rais.”
“Untuk apa?”
“Upah itu adalah hak Mas Maman yang tidak boleh diganggu gugat. Apalagi, Herman dan rekan-rekannya lah yang memulai keributan lebih dulu. Aku juga kalau jadi Mas Maman pasti akan melawan mereka.”
“Kamu bisa memukul kepala Herman menggunakan centong sayur atau menyiram wajahnya dengan kuah pedas. Tapi, kamu tidak melakukan itu.” Mandala menatap aneh sambil berkata demikian.
“Aku ….” Gita merasa tak nyaman. Gadis cantik 23 tahun itu tertunduk, seakan tak berani melawan tatapan Mandala.
“Apakah dia selalu memperlakukanmu seperti itu?” tanya Mandala penuh selidik.
Gita tidak menjawab. Dia terus menunduk, tak berani menjelaskan apa pun kepada Mandala. Sepertinya, ada sesuatu yang membuat gadis dengan cardigan hijau sage itu teramat takut.
“Maaf. Aku tidak bermaksud ____”
“Tidak apa-apa, Mas. Aku justru sangat berterima kasih atas semua yang mas Maman lakukan.”
“Aku tidak melakukan apa pun,” bantah Mandala datar.
“Mas Maman membelaku kemarin malam. Itu sungguh luar biasa.” Gita mengangkat wajah, memberanikan diri menatap Mandala. Dalam keremangan lampu penerang jalan yang berwarna kuning, dia dapat melihat luka lebam di sudut bibir dan dekat pelipis.
Mandala. Pria itu baru Gita kenal sekitar dua minggu yang lalu. Biasanya, dia tak pernah banyak bicara atau sekadar berbasa-basi. Namun, kali ini Mandala terasa begitu berbeda sehingga Gita bisa mendengar suara beratnya cukup sering.
“Aku harus kembali ke warung,” ucap Gita, setelah terpaku beberapa saat, sambil menatap Mandala yang entah tengah memikirkan apa.
Mandala menoleh, lalu mengangguk samar. “Terima kasih. Lain kali, jangan masuk lagi ke area proyek.”
“Iya, Mas.” Gita mengangguk, diiringi senyum manis. Paras cantiknya terlihat kian menawan. Sungguh merupakan pesona luar biasa, yang menjadi daya tarik kuat bagi gadis berkulit kuning langsat tersebut.
Mandala mengarahkan tangan ke depan, sebagai isyarat agar Gita segera kembali ke warung nasi. Sementara itu, dia tetap berdiri sambil memperhatikan, sekadar memastikan Gita kembali ke tempat kerjanya tanpa ada gangguan.
Namun, baru menjauh beberapa langkah, tiba-tiba Gita berhenti, lalu berbalik. “Besok malam aku libur, Mas! Bagaimana kalau kita pergi ke alun-alun kota?” tawar Gita, setengah berseru.
Bukannya menjawab, Mandala justru menautkan alis.
“Kutraktir makan bakso, Mas!” seru Gita lagi, tanpa melepas senyum manisnya.
“Aku tidak suka bakso!” tolak Mandala halus, meski dengan nada cukup datar.
“Kalau mie ayam?” Gita pantang menyerah.
Kali ini, Mandala menyunggingkan senyum kecil. Jawaban yang dirasa cukup, meski tanpa ungkapan kata.
“Pukul 19.30, Mas!” Gita tersenyum lebar, sebelum berbalik. Hanya sebentar, sosoknya hilang dari pandangan Mandala.
Mandala menggumam pelan, kemudian menghadapkan tubuh ke jalan raya, dengan lalu lintas yang tidak terlalu padat. Tatapannya menerawang jauh, pada segala hal yang telah terlewati dalam hidupnya.
Mengapa orang-orang menganggap Mandala merupakan sosok aneh dan misterius? Apakah dia memang menyembunyikan banyak rahasia, yang ditutup rapat dari dunia luar?
Ya. Mandala tak ingin ada seorang pun yang mengulik kehidupannya. Itulah kenapa, dia selalu mengasingkan diri di tengah keramaian. Namun, kebutuhan hidup memaksanya untuk berbaur. Selain itu, Mandala juga ingin membuktikan bahwa dirinya bisa kembali, dari jurang yang telah menenggelamkannya.
“Man!” panggil Arun.
Mandala yang tengah termenung, segera tersadar. Dia menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke depan. Tak dipedulikannya Arun yang sudah mendekat.
“Apakah Gita mengantarkan makanan ke bedeng?” tanya Arun, membuka percakapan.
“Seharusnya, kamu mencegah dia masuk ke area proyek.”
“Aku sedang makan. Dia berlalu dengan cepat. Terlihat sangat bersemangat,” kilah Arun menjelaskan.
Namun, Mandala hanya menanggapi dengan gumaman pelan. Itu membuat Arun bingung harus bicara apa. Alhasil, ada kebisuan hingga beberapa saat, sampai Arun kembali bersuara. “Jangan terlalu dekat dengan Gita.”
“Kenapa?”
woy kalian berdua tuh ada apa sebenernya
Gita kan Lom tahu sipat asli kalian berdua