Doni, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef bagi Naira Adani aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16. GARIS YANG DILANGGAR
..."Kadang, batas antara melindungi dan mencintai begitu tipis hingga dalam satu sentuhan, dua hati yang retak kembali belajar percaya pada kehangatan manusia."...
...---•---...
Wajah Naira langsung pucat. Piring hampir terlepas dari tangannya, tapi Doni cepat menahan. Naira mundur dari wastafel, napasnya memburu, pendek dan tersengal.
"Tidak... tidak... tidak..." Ia menggeleng cepat, tangan menekan dada seperti berusaha mencari udara yang hilang. "Dia tidak boleh datang. Dia tidak boleh di sini. Ini tempat aku. Dia tidak boleh..."
"Hai, hai, Naira, lihat aku." Doni meletakkan piring, berdiri di hadapannya tanpa menyentuh, tapi cukup dekat untuk menjadi pegangan di tengah badai. "Bernapas. Tarik napas lewat hidung, hitung sampai empat. Hembuskan lewat mulut, hitung sampai enam. Ikuti aku, ya."
Doni memberi contoh, menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Naira mencoba mengikuti, matanya terkunci pada mata Doni seperti berpegang pada satu-satunya hal yang stabil di tengah badai kepanikan.
Satu napas. Dua napas. Tiga napas. Perlahan, ritme napasnya mulai teratur. Tubuhnya masih gemetar, tapi serangan panik itu perlahan surut.
"Kenapa dia datang?" Suara Naira bergetar, nyaris berbisik. "Kami sudah cerai. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan."
"Dia bilang ingin menutup hubungan dengan baik. Tapi aku dan Ratna tidak percaya. Kami pikir dia punya motif lain."
"Tentu saja dia punya motif lain." Naira tertawa pendek, getir, tanpa sedikit pun tawa di matanya. "Rendra tidak pernah melakukan apa pun tanpa tujuan. Dia manipulator. Dia akan datang ke sini, pura-pura jadi mantan suami yang peduli, bilang khawatir dengan kondisiku, lalu pelan-pelan meracuni pikiranku lagi. Itu caranya. Selalu begitu."
"Maka itu, besok aku akan ada di sini. Ratna juga. Kamu tidak akan sendirian." Nada Doni mantap, tegas, sampai membuat Naira menatapnya. "Aku janji, aku tidak akan biarkan dia menyakiti kamu lagi."
"Tapi... kontrak. Pasal dua belas. Kamu tidak boleh terlibat..."
"Lupakan kontrak." Doni mengulang kata-kata Ratna. "Besok, yang penting cuma satu: kamu aman. Urusan lainnya nanti saja."
Naira menatap Doni, matanya berkilat basah. "Kenapa kamu lakukan ini? Kamu bisa kena masalah gara-gara aku."
"Karena itu yang benar. Karena kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu. Dan karena..." Doni terdiam sejenak. Kata-kata menggantung, terlalu berbahaya untuk diucapkan. Tapi tatapan Naira membuatnya tidak bisa mundur. "Karena aku peduli. Tentang kamu. Bukan sebagai klien, tapi sebagai... seseorang yang penting."
Keheningan turun seperti kabut dingin di dapur yang hangat. Udara seolah menahan napas. Mereka sama-sama tahu garis sudah terlewati. Kata sudah terucap, dan tidak ada jalan kembali.
"Doni..." Suaranya bergetar, tapi mantap. "Aku juga peduli. Tentang kamu. Dan itu menakutkan, karena aku pikir aku tidak akan bisa peduli lagi pada siapa pun setelah Rendra. Tapi kamu... kamu beda. Kamu membuat aku ingin coba lagi. Ingin percaya lagi."
Mereka berdiri sangat dekat sekarang, hanya beberapa sentimeter. Doni bisa mencium wangi lavender dari rambut Naira, bisa melihat setiap detail di mata cokelat gelapnya.
Tangannya terangkat tanpa sadar, hampir menyentuh pipi Naira. Tapi berhenti di udara, gemetar.
"Aku tidak bisa..." Suaranya serak. "Kalau aku sentuh kamu sekarang, aku tidak tahu apakah bisa berhenti."
"Lalu jangan berhenti." Naira yang menutup jarak itu. Tangannya meraih tangan Doni yang menggantung, menuntunnya ke pipinya sendiri.
Sentuhan itu seperti aliran listrik. Hangat, lembut, hidup. Doni bisa merasakan air mata Naira jatuh di telapak tangannya, bisa merasakan tubuh rapuh itu bersandar pada sentuhan yang mungkin sudah lama tidak ia rasakan.
"Besok, apa pun yang Rendra bilang, apa pun yang dia coba lakukan," ucap Naira di sela tangisnya, "aku janji tidak akan percaya. Karena aku punya sesuatu yang lebih kuat sekarang. Aku punya alasan untuk melawan."
"Apa itu?" Suara Doni nyaris berbisik.
Naira tersenyum di balik air mata. "Kamu. Nasi goreng jam tiga pagi. Pelajaran memotong bawang. Obrolan-obrolan yang membuat aku merasa hidup lagi. Aku tidak akan biarkan dia mengambil itu dari aku."
Doni menarik Naira ke dalam pelukannya. Melanggar Pasal dua belas, melanggar semua batas yang seharusnya dijaga, tapi ia tidak peduli. Naira menangis di dadanya, tangannya melingkar di pinggang Doni.
Dan Doni, untuk pertama kalinya sejak Sari meninggal, merasakan sesuatu yang ia pikir sudah mati di dalam dirinya: keinginan untuk melindungi seseorang, tidak peduli risikonya.
"Besok kita hadapi bersama," bisiknya lembut. "Kamu tidak sendirian lagi."
"Janji?"
"Janji."
Mereka tetap dalam pelukan itu sampai air mata Naira berhenti, sampai napasnya kembali teratur, sampai dunia di luar dapur tidak terasa semenakutkan tadi.
Dan di suatu tempat di malam Bandung yang dingin, Rendra Wiratama mungkin sedang merencanakan kunjungannya besok. Ia tidak tahu bahwa kali ini Naira tidak sendirian.
Kali ini, ada seseorang yang siap berdiri di depannya. Melindungi dengan segenap jiwa. Bahkan jika harus mengorbankan segalanya.
...---•---...
...Bersambung...