Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 4.
"Darah..." bisik Kodasih dengan suara nyaris tak terdengar. Matanya kosong, nanar, menatap bercak merah tua yang telah mengering di atas sprai putih yang belum sempat dirapikan oleh Mbok Piyah.
Warnanya sudah mulai kehitaman. Ukurannya besar, diameter sekitar tiga puluh sentimeter. Bentuknya tak beraturan, seperti tubuh amoeba, di perbesar atas kain. Mengerikan... sekaligus membingungkan.
“Nyi... darah siapa itu? Nyi lagi ngarap sari, datang bulan, ya? Tapi... rasanya tidak mungkin...” tanya Mbok Piyah pelan, suaranya gemetar, sorot matanya menyelidik Kodasih.
Kodasih hanya menggeleng pelan, tanpa berkata sepatah pun. Ia perlahan bangkit dari kursi. Dia biarkan suara, radio transistor tua masih menyala, hanya mengeluarkan suara kemresek, seperti bisikan dari dunia lain.
Mbok Piyah menunduk, memperhatikan bercak darah itu lebih dekat. Letaknya di dekat bantal. Tapi sesuatu menarik perhatiannya, selembar kertas terselip rapi di bawah bantal.
Ia menyipitkan mata. Tulisan tangan... halus dan rapi, meski agak goyah, seolah ditulis dengan tangan yang gemetar.
“Nyi... ini... surat? Dari siapa ini? Apa benar Tuan Menir datang semalam?” suara Mbok Piyah makin pelan. Ada ketakutan yang mulai menyusup masuk ke pori-porinya.
Kodasih menunduk. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca.
Tuan Menir dihukum mati sore kemarin. Begitu berita yang dibawa oleh Kang Pono.
Namun semalam... aroma cerutu itu... jejak sepatu lumpur di teras yang tiba tiba muncul..
Bulu kuduk Mbok Piyah berdiri seketika. Tengkuknya terasa dingin.
“Astaghfirullah... hantu... Tuan Menir jadi hantu...” gumamnya dengan suara bergetar. Tangannya refleks meraba tengkuk.
Kodasih yang kini berdiri di tepi tempat tidur, pelan-pelan meraih kertas di bawah bantal. Tangannya gemetar. Air mata meleleh diam diam di pipinya.
“Tubuh Tuan Menir semalam... dingin sekali, Mbok. Tapi dia memelukku, seperti biasa. Seperti... belum mati...” ucap Kodasih lirih dia tidak menjelaskan secara gamblang apa yang dilakukan semalam dengan Tuan Menir.
Tangisnya pecah. Suara isaknya menggema pelan di dalam kamar yang muram.
Mbok Piyah hanya terdiam. Ia tak bisa membaca. Ia hanya menatap Kodasih, berharap ada kejelasan dari surat itu.
“Nyi... Tuan Menir nulis apa?” bisiknya, perlahan.
Kodasih membuka kertas itu, tangan masih gemetar. Dia yang pernah sekolah di Sekolah Rakyat, meskipun tidak lulus. Mulai membaca tulisan itu. Tulisan itu tak serapi biasanya. Tuan Menir menulis dengan pena favoritnya, yang selalu ia bawa di saku jasnya.
Dan isi surat itu...
“Kodasih... meskipun ragaku telah tiada, jiwaku tak akan pernah meninggalkanmu. Tunggu aku di antara batas mimpi dan nyata... ”
Surat itu terlepas dari tangan Kodasih, jatuh ke lantai.
Di luar jendela, angin mendesir kencang. Aroma cerutu tiba-tiba tercium lagi. Samar. Tapi jelas.
Mbok Piyah menjerit kecil, lalu menutup mulutnya sendiri.
Sedangkan Kodasih... perlahan memejamkan mata..
“Benar, Tuan Menir sudah mati, Mbok...” ucap Kodasih pelan. Tubuhnya lemas terbaring di atas tempat tidur, matanya menatap kosong ke langit-langit kamar.
Mbok Piyah yang duduk di sampingnya langsung pucat. Tubuh gemuknya mulai gemetar, dan ia bergidik seperti baru saja disentuh angin malam.
“Dia… dia… jadi hantu, Nyi. Dia gentayangan di rumah ini… di loji ini,” gumam Mbok Piyah lirih, suaranya bergetar. Ia terduduk di tepi ranjang, kedua tangannya menggenggam erat ujung jarik.
Air mata terus mengalir di pipi Kodasih. “Dia tidak bisa pergi dariku, Mbok...”
Sejenak hening. Hanya suara dedaunan di luar jendela yang berdesir.
Tiba-tiba, Kodasih menoleh pelan ke arah Mbok Piyah. “Mbah Jati… suruh suamimu panggil Mbah Jati. Aku butuh dia. Sekarang juga…”
Nama itu membuat dahi Mbok Piyah mengernyit. “Mbah Jati? Yang dukun itu?”
Kodasih hanya mengangguk pelan. Ia pernah datang ke Mbah Jati sebelum menjadi gundik Tuan Menir. Memohon agar Tuan Menir jatuh cinta padanya. Dan permintaan itu dikabulkan. Tapi kini, setelah kematian Tuan Menir, ada sesuatu yang kembali...
“Saya ingat… iya, iya. Mbah Jati bisa usir roh roh jahat, arwah penasaran…” ujar Mbok Piyah cepat, walau ia sama sekali tak tahu soal masa lalu Kodasih dengan sang dukun.
Dengan harapan yang meletup-letup, Mbok Piyah bangkit berdiri dan berlari keluar kamar.
“Pak! Pak!” teriaknya parau sambil terus keluar dari kamar.
Dan terus melangkah tergopoh gopoh ke ruang depan..
“Eh, ada apa, Mbok?” sahut suara dari arah teras.
Mbok Piyah segera menoleh. Di sana, Pak Karto, suaminya, sedang duduk di lantai teras bersama Kang Pono dan Arjo.
Tanpa basa-basi, Mbok Piyah berlari menghampiri mereka.
“Pak… Pono… benar, Tuan Menir memang sudah mati. Yang datang tadi malam itu… bukan manusia. Itu hantu… hantu Tuan Menir!”
Tiga laki-laki dengan usia berbeda serempak menoleh ke arah Mbok Piyah. Wajah mereka dipenuhi ekspresi yang campur aduk.. kaget, takut, dan nyaris tak percaya.
“Jadi benar, Pak. Hantu yang kuceritakan tadi malam… itu hantu Tuan Menir,” ucap Mbok Piyah lagi, suaranya bergetar.
Kang Pono menatapnya tajam, mencoba membaca apakah ini hanya ketakutan atau sesuatu yang lebih dalam.
“Nyi Kodasih sudah dengar berita dari radio, Mbok?” tanyanya sambil mencondongkan tubuh.
Mbok Piyah menggeleng. “Belum. Suara radio cuma kemresek. Tapi... waktu aku bersih bersih kamar Nyi Kodasih tadi, aku lihat ada darah di tempat tidurnya. Dan... ada sepucuk surat. Surat itu dari Tuan Menir. Tapi tangannya… tangan itu sudah mati!”
Kang Pono menarik napas dalam-dalam.
“Tuan Menir memang mati, tapi jiwanya belum bisa pergi dari Nyi Kodasih. Dia masih di sini, gentayangan,” lanjut Mbok Piyah pelan.
“Kalau begitu,” ucap lelaki tertua dari mereka, Pak Karto, “kita harus segera ke rumah Mbah Jati. Minta dia datang ke loji ini sekarang ini juga. Hanya dia yang bisa mengusir arwah sekuat itu.”
Arjo mengangguk. Tapi sebelum ia melangkah, Kang Pono , angkat bicara...
“Mbok, kalau menurutku… lebih baik Nyi Kodasih dan semua pekerja meninggalkan loji ini. Cepat-cepat. Tadi pagi Pak Wiro bilang, berita di luar sana, Belanda sudah resmi menyerah pada Jepang. Kota kota sudah mulai kacau. Loji-loji besar mulai ditinggalkan. Apa gunanya kita bertahan di sini kalau yang hidup saja pergi, apalagi yang mati malah datang kembali?”
Semua terdiam. Hening panjang menggantung di antara mereka, seolah angin pagi pun enggan berembus.
Lalu suara lirih Mbok Piyah memecah keheningan.
“Tidak semudah itu, Pon. Nyi Kodasih pasti tidak mau pergi begitu saja... karena dia belum selesai dengan Tuan Menir.”
Ketiga laki laki beda usia itu pun kembali saling pandang. Mereka bertiga menganggukkan kepala dan segera bangkit berdiri.. Mereka terus melangkah meninggalkan lokasi loji Tuan Menir.
Langkah Pak Karto, Kang Pono dan Arjo berderap cepat menuruni jalan setapak menuju rumah Mbah Jati. Langit mulai memerah, matahari menggantung rendah di balik pepohonan yang ber dahan lebat.. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah ada sesuatu yang menunggu malam datang.
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk