Sekuel dari novel Cintaku Dari Zaman Kuno
Azzura hidup dalam kemewahan yang tak terhingga. Ia adalah putri dari keluarga Azlan, keluarga terkaya dan paling berpengaruh di negara Elarion. Namun, dunia tidak tahu siapa dia sebenarnya. Azzura menyamar sebagai gadis cupu dan sederhana semua demi kekasihnya, Kenzo.
Namun, tepat saat perkemahan kampus tak sengaja Azzura menemukan sang kekasih berselingkuh karena keputusasaan Azzura berlari ke hutan tak tentu arah. Hingga, mengantarkannya ke seorang pria tampan yang terluka, yang memiliki banyak misteri yaitu Xavier.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kau adalah Luna-ku
"Aku tahu kamu ... kau putri dari Raja Zion dan pemilik seluruh elemen, Zanaya."
Mata Azzura semakin melotot tajam. "Ba—bagimana—"
Namun sebelum Azzura sempat bertanya lebih jauh, mata Xavier tiba-tiba berubah.
Cahaya keperakan tadi berubah menjadi merah menyala, menyiratkan sesuatu yang liar dan kuno.
Azzura melangkah mundur satu langkah. “M—matamu … kenapa?”
Grraaaaahhh!
Suara erangan pelan keluar dari dada Xavier. Tubuhnya bergetar, seperti menahan dorongan naluriah yang tak bisa dicegah. Nafasnya memburu, wajahnya memucat dan dalam sekejap…
Jleb!
“Aaaaaakhh!!” Azzura menjerit saat taring tajam Xavier menggigit pundaknya.
Rasa panas menjalar dari luka itu, tapi bukan rasa sakit biasa. Itu seperti aliran energi liar yang mengikat mengukir tanda pada jiwanya.
Azzura menatap Xavier dengan mata membelalak, shock.
“X—Xavier. .. a—apa yang kau lakukan?”
Xavier menatapnya tajam, suaranya berubah lebih berat. “Kau … adalah Luna-ku.”
Detik itu juga tubuh Azzura melemah. Dunia berputar di matanya. Sihir dalam dirinya kacau. Ia mencoba bicara namun tak ada suara keluar. Tubuhnya limbung, dan
Brugh!
Azzura pingsan.
Xavier langsung menangkapnya, memeluk tubuh gadis itu erat ke dadanya. Nafasnya mulai stabil. Luka-luka di tubuhnya kini telah sembuh sepenuhnya karena sihir cahaya milik Azzura.
Ia menggendong Azzura dengan mudah. Rambut panjang gadis itu menutupi sebagian wajahnya yang damai.
Auuuwooooooo!
Lolongan panjang terdengar dari kejauhan. Satu ... dua ... lalu disusul yang lain, menggema dari segala arah hutan.
Satu lolongan Alpha.
Satu tanda bagi seluruh kawanan.
Luna mereka telah dipilih.
Mata Xavier perlahan kembali hitam. Sorot tajam nan buas tadi memudar, tergantikan oleh sorot dalam dan ragu.
“Maafkan aku, Azzura,” bisiknya pelan.
“Aku tak punya pilihan. Kau satu-satunya yang bisa menyelamatkanku. dan menyelamatkan kami semua.”
Tanpa membuang waktu, Xavier melompat ringan ke atas pohon, lalu menghilang ke dalam kegelapan hutan membawa Azzura menjauh dari tempat yang kini mulai diburu oleh kawanan lain.
Setelah kepergian Xavier dan Azzura. Dalam sekejap, sesosok bayangan melesat menembus hutan begitu cepat hingga dedaunan berguguran oleh hembusannya. Tubuh tinggi, tegap, dibalut mantel hitam panjang yang berkibar liar.
Ia berhenti tepat di tempat Azzura pingsan tadi.
Mata merahnya menyala memindai sekeliling. Aroma darah masih segar.
“Terlambat,” gumamnya dengan suara rendah dan dalam.
Ia berjongkok, menyentuh bercak darah di atas tanah, lalu mendekatkannya ke hidungnya. Matanya menyipit tajam.
“Darah manusia,” bisiknya. “Dan Xavier.”
Wajahnya menegang. Rahangnya mengeras. Dua taring putih mengintip dari balik bibirnya yang mengatup erat.
“Sialan,” desisnya penuh kebencian. “Alpha itu berhasil lolos.”
Ia berdiri cepat, menatap ke arah jejak samar di tanah.
“Siapa yang berani menolongnya? Siapa yang cukup bodoh menyentuh kutukan itu?”
Kemarahan memenuhi matanya. Kilatan darah menari di irisnya, berputar seperti pusaran neraka. Suara lolongan serigala dari kejauhan terdengar samar dan itu cukup untuk membuatnya menggeram ganas.
“Kau pikir bisa bersembunyi dari kami, Xavier?” gumamnya dingin.
“Kami akan menemukanmu. Dan saat itu terjadi, kami akan membunuhmu, manusia serigala sialan.”
Hening sejenak. Angin berhenti berhembus. Lalu dalam sekejap..
Brak!
Pohon besar di dekatnya patah oleh pukulannya yang menghantam batangnya keras.
Tanpa menunggu, ia melesat pergi, lebih cepat dari bayangan. Secepat kilat.
Hilang dalam kedalaman hutan meninggalkan jejak darah yang menguap oleh amarahnya.
🍃🍃🍃
Udara malam mulai dingin, embun menempel di daun-daun dan tenda yang berjajar. Api unggun utama telah padam, menyisakan arang hangus dan asap samar. Para mahasiswa sudah kembali ke tenda masing-masing, kelelahan setelah rangkaian kegiatan.
Namun Sania, yang satu tenda dengan Azzura, tampak gelisah.
Ia duduk di tepi matras, menatap pintu tenda yang masih kosong.
“Ra … kamu ke mana sih,” gumamnya.
Setelah beberapa menit tanpa kabar, Sania memutuskan keluar tenda. Langkahnya cepat menyusuri sekitar area perkemahan.
“Sora, lo liat Azzura gak?” tanya Sania pada salah satu teman sekelasnya yang baru keluar dari kamar mandi darurat.
“Tadi dia bilang mau cari Kenzo, San.”
“Kenzo?” alis Sania langsung bertaut. “Udah jam segini.”
Ia memutar badan, menatap area gelap dekat pepohonan. Dan tepat saat itu, dua sosok muncul dari arah bayangan Kenzo dan Rica.
Kenzo masih dengan jaket BEM-nya yang dibiarkan terbuka, dan Rica, si primadona kampus, merapikan rambutnya dengan senyum tipis di wajah. Langkah mereka santai, seolah baru saja dari "jalan-jalan malam."
Sania langsung menghampiri mereka, ekspresinya tak main-main.
“Kenzo!” panggilnya tajam.
Kenzo menoleh santai. “Eh, Sania. Kenapa? Kangen?”
Rica tertawa pelan di sampingnya.
“Jangan main-main. Azzura mana?” tanya Sania langsung.
Kenzo mengerutkan dahi. “Azzura?”
“Iya, Azzura. Dia nyari kamu dari tadi. Sampe sekarang belum balik.”
Kenzo mengangkat bahu seenaknya. “Terus kenapa nanyanya ke aku?”
Sania menatapnya tajam. “Karena dia pergi, nyari kamu!”
Kenzo menatap Sania sejenak, lalu terkekeh. “Lha terus? Memangnya aku suruh dia nyari? Salah sendiri sok perhatian. Aku gak nyuruh apa-apa.”
“Dasar cowok nggak punya hati,” desis Sania, suaranya mulai bergetar.
Kenzo mendekat satu langkah, matanya mengejek. “Dia bukan siapa-siapaku. Ngapain aku repot?”
Rica menambahkan sambil tersenyum sinis, “Lagipula, Azzura tuh terlalu baperan.”
Sania mengepal tangan. “Kalau sampai terjadi apa-apa sama Azzura, kalian berdua bakal aku cari!”
Kenzo mendengus. “Ngomong aja gede. Nggak usah drama. Udah sana, tidur. Jangan ngerecokin orang yang lagi santai. Dasar gadis miskin.”
Dengan penuh keangkuhan, Kenzo dan Rica berjalan pergi, tertawa pelan di balik bayangan pohon. Mereka tidak peduli sedikit pun pada kekhawatiran Sania.
Sania berdiri diam beberapa saat, napasnya berat, matanya mulai berkaca-kaca.
“Ra … kamu di mana sih,” bisiknya.
***
Langit timur mulai berwarna abu keunguan. Fajar hampir menyingsing. Ombak memecah lembut di tepian pasir putih. Angin laut meniup pelan daun-daun kelapa yang menjulang di sepanjang garis pantai.
Di ujung pesisir yang sepi dan tak terjamah, sebuah vila megah berdiri tenang, diselimuti pepohonan rindang dan dikelilingi hutan tropis yang padat. Kawasan itu tidak tertera di peta wilayah tersembunyi milik Xavier.
Dari dalam hutan, suara langkah kaki terdengar. Lalu muncul sosok tinggi berjaket kulit gelap, membawa seseorang di dalam pelukannya.
Xavier.
Tubuh Azzura yang lemas masih ada dalam gendongannya, kepalanya bersandar di dada pria itu. Luka di pundaknya masih samar terlihat, namun aura sihir di sekitarnya mulai mereda.
Begitu Xavier melangkah ke area vila, seorang pria lain muncul dari arah bangunan utama.
Pria itu tinggi, berambut pendek dan rapi, dengan ekspresi tegas. Ia langsung berlutut dengan satu lutut menyentuh tanah, menundukkan kepala dalam-dalam.
“Selamat datang kembali, Alpha,” ucapnya tegas dan hormat. Dia adalah Beta, tangan kanan sang alpha.
Xavier mengangguk singkat. Matanya tak berpaling dari Azzura.
“Alex,” panggilnya datar.
“Saya mengerti,” jawab Alex tanpa menunggu pertanyaan.
Matanya sekilas melirik sosok perempuan dalam pelukan Xavier. “Jadi ... dia Luna?”
Xavier mengangguk pelan.
“Tanda sudah diberikan. Ikatan sudah terbentuk.”
Alex menarik napas perlahan, lalu berdiri tegak. “Bangsa dan pack yang lain tidak akan tinggal diam, apalagi setelah ini.”
Xavier menatap lautan yang tenang di depan mereka. “Aku tahu. Tapi aku tak akan mundur. Tidak setelah apa yang terjadi malam itu.”
Alex menunduk hormat lagi. “Saya akan perintahkan penjagaan diperketat. Tidak ada satu pun yang menyentuh Luna tanpa perintahmu.”
Xavier mengangguk, lalu melangkah masuk ke dalam vila. Suara ombak mengiringi langkahnya. Cahaya fajar mulai menyinari wajah Azzura yang masih tertidur dalam pelukannya.
“Siapkan kamar pribadi. Jauh dari kawanan. Dia butuh waktu,” ucap Xavier tanpa menoleh.
“Tentu, Alpha.”
Begitu Xavier menghilang ke dalam vila, Alex berdiri diam di halaman depan. Tatapannya menatap jauh ke arah hutan.
“Luna baru. Dunia tidak akan sama setelah ini.”
🌹 ☕ 4u..