NovelToon NovelToon
Kisah Nyata - Harga Sebuah Kesetiaan

Kisah Nyata - Harga Sebuah Kesetiaan

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah Karena Anak / Beda Usia / Kontras Takdir / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Sad ending / Janda
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 5 secerah harapan bersama anis

# Bab 5: Secercah Harapan Bernama Anis

Tiga tahun berlalu sejak Dewanga menjadi kuli bangunan.

Kini usianya dua puluh satu tahun. Tubuhnya sudah tidak sekurus dulu—berotot karena kerja keras, kulitnya legam terbakar matahari. Wajahnya tampak lebih tua dari usianya. Garis-garis lelah mulai terukir di sekitar matanya.

Tapi ada satu hal yang berubah dalam hidupnya yang keras itu.

Anis.

***

Mereka bertemu setahun yang lalu di pasar tradisional.

Saat itu Dewanga sedang membeli sayur untuk ibunya. Anis berdiri di depan lapak yang sama, sedang menawar harga tomat.

Mata mereka bertemu sekilas.

Anis tersenyum—senyum kecil yang sopan, seperti orang asing yang kebetulan berpapasan.

Tapi senyum itu cukup membuat jantung Dewanga berdebar untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun.

Seminggu kemudian, mereka bertemu lagi. Di pasar yang sama. Di waktu yang hampir sama.

Kali ini Dewanga memberanikan diri menyapa. "Maaf... kita pernah ketemu kan?"

Anis menoleh, lalu tersenyum lagi. "Iya, kayaknya pernah."

"Saya Dewanga. Biasa dipanggil Dewa."

"Anis." Gadis itu mengulurkan tangan.

Dewanga menjabatnya—tangannya yang kasar dan penuh kapalan bertemu dengan tangan Anis yang lembut dan halus.

Dan sejak saat itu, mereka mulai sering bertemu.

***

Anis bekerja sebagai penjahit di rumah. Setiap pagi ia ke pasar untuk membeli bahan kain atau benang. Dewanga yang kebetulan sering belanja untuk ibunya di waktu yang sama, mulai sengaja datang lebih awal agar bisa bertemu Anis.

Obrolan mereka sederhana.

Tentang cuaca. Tentang harga sayur yang naik. Tentang kesibukan masing-masing.

Tapi obrolan sederhana itu terasa hangat. Terasa menenangkan. Terasa seperti rumah.

Sebulan kemudian, Dewanga memberanikan diri. "Anis, boleh gak... kita ngobrol lebih lama? Mungkin di warung kopi deket sini?"

Anis ragu sebentar. Tapi lalu ia mengangguk pelan. "Boleh. Tapi cuma sebentar ya."

Mereka duduk di warung kopi sederhana. Memesan teh manis masing-masing.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Dewanga merasa... diterima.

Anis mendengarkan ceritanya tanpa menghakimi. Tentang ayahnya yang meninggal. Tentang ibunya yang sakit. Tentang pekerjaannya sebagai kuli.

"Kamu kuat banget, Dewa," kata Anis dengan mata berkaca-kaca. "Aku gak tau apa aku bisa bertahan kayak kamu kalau jadi kamu."

Dewanga tersenyum pahit. "Aku gak kuat, Nis. Aku cuma... gak punya pilihan lain."

Anis meraih tangannya di atas meja. Genggamannya lembut tapi erat.

Dan genggaman itu terasa seperti jangkar—sesuatu yang menahan Dewanga agar tidak tenggelam dalam keputusasaan.

***

Enam bulan berlalu. Hubungan mereka semakin dekat.

Mereka bertemu hampir setiap hari—kadang hanya lima menit di pasar, kadang satu jam di warung kopi, kadang hanya saling melambaikan tangan dari kejauhan.

Tapi setiap momen itu berharga.

Dewanga mulai bekerja lebih semangat. Ia mulai menabung—menyisihkan lima ribu, sepuluh ribu dari upahnya untuk rencana masa depan bersama Anis.

"Suatu hari nanti, aku mau nikah sama kamu, Nis," katanya suatu malam, dengan suara gemetar.

Anis menatapnya, pipinya merona. "Dewa... kamu serius?"

"Serius. Aku akan kerja lebih keras lagi. Aku akan cari uang lebih banyak. Aku akan lamar kamu dengan cara yang benar."

Anis tersenyum—senyum yang paling indah yang pernah dilihat Dewanga.

"Aku percaya sama kamu, Dewa."

***

Tapi kebahagiaan itu tidak bertahan lama.

Suatu sore, Anis datang ke tempat biasa mereka bertemu dengan wajah pucat dan mata sembab.

"Dewa... aku... aku harus bilang sesuatu," katanya dengan suara gemetar.

Dewanga langsung merasa ada yang tidak beres. "Kenapa, Nis? Ada apa?"

"Orangtua aku... mereka tau tentang kita."

Dewanga menegang. "Terus?"

Anis menunduk. Air matanya mulai jatuh. "Mereka... mereka gak setuju, Dewa. Mereka bilang... bilang kamu gak punya masa depan. Kerja gak jelas. Mereka gak mau aku hidup susah."

Dada Dewanga sesak. Seperti ada yang meremas jantungnya.

"Tapi kamu... kamu gimana, Nis? Kamu mau apa?"

Anis menatapnya dengan mata penuh air mata. "Aku... aku cinta sama kamu, Dewa. Tapi aku... aku takut."

"Takut apa?"

"Takut kita gak bisa bertahan. Takut kita gak punya cukup uang. Takut kamu... takut kamu gak bisa ngasih aku kehidupan yang layak."

Kata-kata itu menusuk seperti belati.

Dewanga terdiam. Tangannya mengepal erat.

"Nis... aku janji aku akan bekerja lebih keras. Aku akan—"

"Dewa, jangan." Anis menggeleng, tangisnya pecah. "Jangan bikin janji yang kamu sendiri gak tau bisa kamu tepatin. Aku... aku gak mau kita sama-sama menderita."

Hening.

Hanya suara tangis Anis yang terdengar.

Dewanga meraih tangan gadis itu. "Nis... jangan tinggalin aku. Kamu satu-satunya yang buat aku masih percaya kalau hidup ini ada gunanya."

Anis menatapnya—mata mereka bertemu, penuh dengan cinta dan kepedihan yang sama.

"Maafin aku, Dewa... maafin aku..."

Dan malam itu, Anis berdiri dan pergi.

Meninggalkan Dewanga duduk sendirian di warung kopi, dengan tangan gemetar dan air mata yang tidak bisa berhenti mengalir.

Untuk pertama kalinya sejak ayahnya meninggal, Dewanga merasakan patah hati.

Bukan hanya kehilangan cinta.

Tapi kehilangan harapan.

**[Bab 5 Selesai]**

---

#

1
Chanikya Fathima Endrajat
umur adeknya 20, dewa 22, telah bekerja 5 th sejak umur 17. wkt dewa kls 9, adiknya msh SD. setidaknya selisih umur mereka 3 th.
Seroja_layu
Astagfirullah nyebut Bu Nyebut
Dri Andri: nyata nya gitu kak
total 1 replies
Chanikya Fathima Endrajat
umur dewangga membingungkan, ketika ingin melamar anis umurnya br 19th, ketika falshback 10th yll, dewa sdh kls 9 (SMP) tdk mungkin umurnya wkt itu 9th kan thor
Dri Andri: ya saya salah maaf yaa...
karena kisah nya kisah nyata jadi saking takut salah pada alur intinya
alur di minta sama
peran, tempat di minta di random
maaf ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!