NovelToon NovelToon
Bukan Sekolah Biasa

Bukan Sekolah Biasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Sci-Fi / Misteri / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Light Novel
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Vian Nara

Sandy Sandoro, murid pindahan dari SMA Berlian, di paksa masuk ke SMA Sayap Hitam—karena kemampuan anehnya dalam melihat masa depan dan selalu akurat.

Sayap Hitam adalah sekolah buangan yang di cap terburuk dan penuh keanehan. Tapi di balik reputasinya, Sandy menemukan kenyataan yang jauh lebih absurb : murid-murid dengan bakat serta kemampuan aneh, rahasia yang tak bisa dijelaskan, dan suasana yang perlahan mengubah hidupnya.

Ditengah tawa, konflik, dan kehangatan persahabatan yang tak biasa, Sandy terseret dalam misteri yang menyelimuti sekolah ini—misteri yang bisa mengubah masa lalu dan masa depan.

SMA Sayap Hitam bukan tempat biasa. Dan Sandy bukan sekedar murid biasa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vian Nara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4 : Kartu Takdir

Janji yang di buat olehku dengan Nayyara tiga hari lalu. Aku di temani oleh tiga teman kelasku, Bora, Rio dan ketua kelasku yang selalu stres karena mengurus murid absurb di kelas. Kenapa mereka bertiga bisa ikut denganku?

Semua ini bermula ketika sehari sebelum keberangkatan kita berempat.

"Alex!? Beben sama Adit bikin drama dadakan di dekat ruang guru! Judulnya 'Diantara Ruangan Penentu', tolong marahi dong!" Salah satu siswi memberitahu.

"Biarin aja nanti mereka masuk BK." Jawab Alex.

"Alex?! Penghapus papan tulis kita hilang di bawa kucing hitam, dia kira itu anaknya yang hilang." Kini siswa yang memberitahu masalah kelas kepada Alex.

"Tinggal minta yang baru ke TU. Susah amat, dah."

"Masalahnya itu penghapus udah menemani kita sejak kelas sepuluh."

"Bodo amat." Jawab Alex kesal.

"Alex! Bla~bla~bla......."

"Alex?"

"Alex?"

Begitulah yang di rasakan oleh ketua kelasku dalam kesehariannya di kelas. Menangani banyak murid dan masalah murid di kelas XI-MIPA 2.

Setiap harinya stres selalu di alami oleh Alex. Masalahnya, dia juga manusia yang pasti punya masalah sendiri.

Maka setelah aku melihatnya yang murung dan lelah—keputusan untuk mengajaknya itu lebih baik. Toh aku pun ingin semakin mengenal teman-temanku yang lain.

Jika Alex ikut karena aku mengajaknya. Berbeda dengan Rio yang justru malah punya tujuan aneh.

"Sandy... Jika kamu mengajak Alex, ajaklah aku juga. Di acara masak sana pasti ada banyak hal menarik dan inspiratif—maksudku adalah alat-alat canggih yang bisa nantinya aku masukan dalam penemuanku." Rio mengatakannya dengan mata yang berbinar-binar dan bersemangat.

Aku tidak mau mematahkan antusias itu, walaupun dia memiliki tujuan lain sebenarnya.

Setelah Rio yang meminta untuk ikut, Bora yang entah datang dari mana karena sejak tadi berbincang hanya ada aku, Alex dan Rio turut meminta izin untuk ikut.

"Aku juga ikut Sandy. Ada hal di sana yang harus aku pastikan sekaligus aku ingin menikmati waktu bersama teman-temanku."

Begitulah cerita singkat kenapa mereka bertiga bisa ikut denganku di hari Minggu ini.

....

Ruangan itu besar sekali, memang namanya juga studio TV. Kami berempat terpukau dengan kesibukan dan kehebatan studio TV yang kami kunjungi.

Banyak orang lalu lalang sana-sini, menyiapkan ini-itu dan masih banyak lagi. Dari sekian banyaknya tempat syuting yang kami lewati, tujuan kami hanyalah tempat syuting atau ruangan nomor 09.

Kami sudah mendapatkan izin masuk langsung dari Nayyara dan kami dianggap tamu oleh kru syuting di tempat gadis remaja tersebut akan melakukan demonstrasi masak.

"Silahkan lewat sini!" Salah satu kru menunjukkan tempat duduk kepada kami.

Kami berempat akhirnya duduk santai. Kabel-kabel dari kamera dan lampu berserakan di lantai studio. Kamera yang digunakan pun katanya adalah model paling baru, Rio sepertinya sangat antusias melihatnya.

Aku sempat bertemu dengan Nayyara langsung, dia sangat senang ketika melihat aku benar-benar datang ke acaranya. Wajah kesedihan yang tiba-tiba muncul waktu itu sepertinya sudah menghilang, namun pikiranku masih bertanya-tanya, apa yang sebenarnya waktu itu Nayyara bicarakan dan maksudnya apa? Dan kenapa setiap kali mengingat apa yang terjadi, entah percakapan atau penglihatan masa depanku semuanya terasa pusing?

"Kita akan mulai! Semuanya bersiaplah di posisi kalian! Artis, apakah kalian siap? Terutama Bintang kita hari ini Chef Nayyara,. apakah kamu siap?" Sutradara memberi perintah.

Semua menjawab pertanyaan Sutradara secara serentak.

"Baiklah, Take One, ACTION!" Sutradara berseru dan seketika acara di mulai.

Acara berlangsung cukup lancar. Nayyara sangat terampil dan berhati-hati menggunakan alat dapur salah satunya pisau.

"Hari ini saya akan memasak Sup Iga dan Ikan bumbu tradisional."

Penonton bersorak gembira memberi semangat. Mereka semua terpesona dengan cara Nayyara memasak dan juga parasnya yang cantik jelita.

"Peramal tadi sungguh jujur dan baik hati, ya?" Tanya salah satu orang dewasa kepada temannya.

"Betul sekali. Apa nama kartu untuk meramalnya tadi? Emm.... Oh, iya.... Namanya adalah Pilihan dunia." Jawab temannya.

"Namun katanya ada beberapa kartu yang tak boleh kita cantumkan dan pilih, kali tidak salah yang berwarna putih dan ungu."

Aku mendengar percakapan mereka sebentar lalu fokus kembali menonton Nayyara, tapi aku sedikit tertarik dengan pembicaraan mereka.

"Aku ingin ke toilet dulu." Bora tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya.

Kami hanya mengangguk saja. Di saat yang bersamaan dua orang dewasa memasuki ruangan sambil membicarakan sesuatu yang membuat mereka senang.

Akhirnya dia kembali. Setelah sekian lamanya tak ada kabar. Bora berbicara dalam hati.

Lamat-lamat aku perhatikan, Nayyara tidak memakai sarung tangan berwarna putih yang biasa dia pakai seperti saat Aku dan dirinya berbincang beberapa hari yang lalu serta beberapa waktu yang lalu.

Selang beberapa menit masakan yang di sebutkan oleh Nayyara telah jadi. Para artis yang menjadi bagian dalam acara memasak tersebut mencicipi satu persatu hidangan lezat yang sudah tersaji dengan baik. Mereka pun berkomentar banyak sampai-sampai membuatku malas mendengarnya.

"Hei, Sandy!" Alex berbisik memanggilku.

Aku balas panggilan Alex dengan Gerungan.

"Bora kemana? Bukannya dia terlalu lama ke toiletnya?" Tanya Alex.

"Kebelet BAB kali. Perutnya mules parah jadinya butuh waktu semedi yang lama." Rio menjawab dengan asal, tapi sedikit masuk akal.

"Mungkin benar apa yang Rio katakan." Aku membenarkan jawaban Rio.

"Memangnya kenapa?" Aku balik bertanya.

"Entah apa, tapi firasatku berkata bahwa teman kelasku sedang dalam bahaya besar." Wajah Alex berubah serius.

"Maksudmu?" Aku mengerutkan kening.

"Aku sudah lama mengenal teman-teman kelas kita sejak kelas sepuluh. Tingkah mereka bahkan sesuatu yang memalukannya, aku pun sudah tahu. Ketika ada sesuatu yang janggal entah perilaku atau apapun tentang mereka, instingku sebagai ketua kelas akan aktif. Sekali lagi aku katakan hanya insting."

"Kalo begitu ayo kita cek." Aku ber usul.

"Kalian mau ngeliat orang lagi BAB? Ih... Jijik banget." Rio nyeletuk.

"Kita cuman memastikan saja, Rio." Alex menjelaskan.

Kami bertiga akhirnya sepakat lantas angkat kaki dari ruangan syuting. Aku menoleh ke arah Nayyara berharap dia melihat. Bukan karena ingin di lihat, tapi aku ingin memberikan isyarat pamit meskipun dengan lambaian tangan saja.

Namun sayangnya itu tidak berhasil alhasil aku meninggalkan catatan di kursi tempat kami duduk lalu benar-benar meninggalkan ruangan.

Telat. Ketika kami pergi Nayyara baru menoleh, syuting tak lama berakhir. Gadis remaja itu menunjukkan ekspresi sebal ketika tak lagi melihat kami ada di kursi penonton.

****************

"Akhirnya aku bisa menemukanmu..... Ivan." Bora menghampiri seseorang dengan jaket berwarna kontras ungu dan hitam serta bergambar karakter kartun mirip bom.

Bora melangkah lebih dekat di antara gang yang tak terlalu sempit dan terlalu luas serta bercabang nan sedikit gelap. Gang tersebut terletak tak jauh dari studio TV berada.

"Kenapa kau susah sekali di hubungi.... Kau tahu kan betapa cemasnya OSIS dan sekutu kita?" Ujar Bora.

Ivan menoleh ke arah Bora lalu kembali menunduk. Remaja tersebut sedang berjongkok, entah apa yang terjadi.

"Kenapa kau membisu..... Hei, Ivan!" Bora berseru dan langkahnya semakin dekat dengan orang yang di ajaknya mengobrol.

"BORA! JANGAN!" tiba-tiba seseorang meneriaki Bora.

Bora menoleh ke arah belakang. Betapa terkejutnya dia, ketika orang yang berada di depannya bukanlah Ivan yang sesungguhnya.

"Itu jebakan! Mereka dari organisasi itu!" Ivan kembali berseru lantas menghindari benda yang tiba-tiba jatuh.

"Terlambat." Orang di depan Bora tersenyum lalu mengambil pisau yang di sembunyikan dari saku jaketnya.

WUSH!

Meleset. Pisau itu tidak lebih cepat dari reflek dan gerakan Bora. Badan Remaja dengan tinggi seratus tujuh puluh itu begitu lentur. Pisau yang tadi hampir mengenai wajahnya berhasil dihindari dengan berubah posisi menjadi kayang.

BUK

Bora menendang orang yang menyerangnya itu lalu dengan gesit melakukan empat kali backflip hingga sampai ke posisi Ivan berada. Mereka berdua saling memunggungi dan memasang mata waspada.

"Kenapa kau sulit sekali untuk di hubungi?" Bora bertanya.

"Simpan saja pertanyaanmu untuk nanti. Kita sedang di hadapkan dengan musuh sekaligus anggota organisasi itu." Jawab Ivan memasang wajah sangat serius.

"Aku ternyata ada di dalam daftar incaran manusia berkemampuan mereka." Tambah Ivan.

"Tidak mungkin."

Suara tertawa terdengar dari dua arah. Bora dan Ivan telah di kepung. Tidak ada jalan untuk melarikan diri.Dua sosok terlihat jelas di mata Ivan dan Bora. Mereka berdua terdiri dari lelaki dan perempuan.

"Hei, S! Manusia-manusia ini sangat menarik. Sebelum kita bawa kehadapan organisasi..... Sebaiknya kita bersenang-senang terlebih dahulu dengan mereka, benar bukan?" Ujar sosok perempuan berambut panjang dan berwarna silver.

"Sabar TS. Kita harus tahu dulu kemampuan temannya ini. Sepertinya dia lumayan tangguh juga." Kini sosok lelaki ikut bersuara.

"Siapa kalian? Jika kalian anggota organisasi itu, kami berdua tidak akan takut." Bora berbicara dengan tenang.

Kedua sosok lelaki dan perempuan itu tertawa kembali seolah baru mendengar lelucon uang sangat lucu.

"Kalian cukup berani rupanya..... Baiklah kami akan memperkenalkan diri..... Namaku S dan dia TS. Kemampuan kami itu saling melengkapi satu sama lain. Kalian berdua tidak akan mendapatkan kesempatan untuk menang." S memasang wajah menyeramkan sambil tetap memegang pisaunya yang tajam.

Gang itu lenggang sejenak. Pengap, sepi dan gelap adalah kombinasi yang baik untuk suatu peristiwa menegangkan yang akan terjadi.

"Sudah berapa banyak kau menggunakan kemampuanmu?" Bora bertanya pelan kepada Ivan.

"Mungkin sepuluh. Habisnya tadi aku haru melawan mereka berdua sendirian dan itu sangat sulit" Jawab Ivan dengan berbisik.

"Kenapa kalian berbisik, hei? Apa kalian tidak takut dengan kami?" S bertanya dengan kesal. Pisau yang di pegangnya mulai dia main-main kan.

"Sepertinya ini akan sulit. Kau harus menggunakan level selanjutnya.

"Dan resiko akan kemampuanmu biarkan nanti OSIS yang membantumu menanganinya." Bora memberitahu Ivan.

"Kartu apa yang tersisa saat ini? " Bora bertanya kembali.

"Setelah jeda, semuanya bisa digunakan." Jawab Ivan.

"Bagus, kita maju.... Sekarang!"

Bora berlari dengan cepat menuju ke arah S berdiri.

TIK! Suara jentikan jari menggema, memecah kesunyian lorong gang yang sempit.

Sepersekian detik berikutnya, dunia di sekitar Ivan dan Bora terbalik. Gravitasi seolah menguap, dan mereka berdua sontak melayang tak terkendali di udara, seperti boneka yang digantung. Benda-benda di sekitar mereka – sampah, reruntuhan, bahkan beberapa batu – ikut melayang-layang dengan aneh, membentuk kekacauan gravitasi. Hanya S dan TS yang tetap berpijak kokoh, seolah hukum fisika tak berlaku bagi mereka. Bola mata Bora membesar, keterkejutan jelas terukir di wajahnya.

"HAHAHAHAH!" Tawa renyah TS memecah keheningan, menggemakan ejekan. "Kau seharusnya mendengarkan temanmu, Tuan Pemberani?"

S bergerak. Bukan berlari di tanah, melainkan melesat di antara puing-puing melayang, menyeimbangkan langkahnya dengan kecepatan dan presisi yang nyaris sempurna di dinding gang yang vertikal. Setiap pijakannya stabil, kontras dengan kekacauan di sekelilingnya.

WUSH!

Hujaman pisau kembali menerjang, kali ini ditujukan ke arah Bora. Meskipun tubuhnya melayang tak berdaya, insting dan kelenturan Bora bekerja cepat. Ia memutar tubuhnya, sedikit mengayun, dan pisau S hanya mengiris udara kosong, meleset tipis dari wajahnya.

"Sudah kubilang, kau belum tahu kemampuan mereka!" Ivan menggerutu, suaranya dipenuhi amarah. "Dasar ceroboh!"

"Baiklah, baiklah, aku salah dan gegabah," Ujar Bora nada suaranya sedikit jengkel namun ada rasa untuk mengakui kesalahan. "Sekarang, beritahu aku, apa sebenarnya kemampuan mereka?"

"Kombinasi yang mengerikan," Ivan menjawab serius, alis matanya bertaut, jelas menunjukkan kekesalan pada situasi yang terjadi. "Seperti yang S dan TS katakan... Kombinasi antara kestabilan dan ketidakstabilan. Itu kekuatan mereka. TS bisa memanipulasi apa pun menjadi tidak stabil; entah itu gravitasi, energi, atau keseimbangan. Dan S, dia kebalikannya. Dia justru bisa menstabilkan apa pun yang dikehendakinya."

WOPF!

Sebelum S sempat melancarkan serangan berikutnya, Ivan melayangkan tangannya. Dua kartu melesat dari antara jemarinya, menancap di tanah tepat di hadapan S dan TS. Kartu pertama berwarna oranye terang dengan gambar burung gagak yang menakutkan, dan yang kedua berwarna biru cerah dengan gambar matahari yang bersinar.

S dan TS mengalihkan perhatian, pandangan mereka tertuju pada kartu-kartu itu. S menyeringai, matanya memandang Ivan dengan ejekan. "Gagak dan Matahari, hm? Trik nasib payah apa lagi yang kali ini kau gunakan, wahai bocah kartu pilihan dunia?" Ia tertawa sombong. "Berhubung kalian sedang tidak beruntung, maka kami akan menerima permainan nasib payahmu itu."

"TS?" S melirik rekannya.

"Dengan senang hati," jawab TS, senyumnya semakin lebar.

BRAK! BRUK!

Seketika itu juga, semua benda yang melayang kembali jatuh ke tanah dengan suara berdebam keras, termasuk Ivan dan Bora. Bora mencoba bangkit berdiri, namun seolah ada benang tak kasat mata yang menariknya ke bawah. BRUK! Tubuhnya kembali ambruk. Setiap kali ia mencoba menegakkan diri, keseimbangannya menghilang, seolah ia berdiri di atas tali sirkus yang sangat tipis di tengah badai.

"Apa ini?!" seru Bora, kebingungan dan frustrasi mulai merayap di wajahnya.

"TS telah memanipulasi keseimbangan kita," Ivan menenangkan, suaranya sedikit serak karena posisi tengkurapnya. "Tapi jangan khawatir, mereka terlalu sombong. Kartuku kali ini akan sangat efektif walaupun hanya dua kartu saja."

"Kau bisa melawannya, Bora?" Ivan menoleh ke arah Bora, meskipun ia sendiri masih kesulitan bergerak.

S melangkah perlahan, matanya yang dingin menatap kedua targetnya. Dengan keseimbangannya yang sempurna, ia berjalan di tengah medan yang terus bergoyang dan menukik, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Pisau di tangannya diputar-putar, memancarkan kilatan mengancam.

Tiba-tiba, TS yang berdiri di belakang S terhuyung. Wajahnya mengernyit, seolah ada pukulan tak terlihat yang menerjangnya.

"Akh!" gumam TS, tangannya refleks memegangi kepalanya, ekspresinya berubah.

S berhenti melangkah, menoleh ke belakang dengan terkejut. "TS? Ada apa?" Kelabang tiba-tiba melewati kaki S begitu saja.

"Sial... kenapa... kenapa aku merasa pusing dan mual sekali? Padahal tadi tidak ada hal makhluk itu." TS terhuyung lagi, pandangannya mengabur. Ia tak bisa menahan diri, dan tubuhnya ambruk ke tanah, muntah di samping kakinya sendiri. Itu semua di sebabkan karena satu hal.... Dia di gigit oleh kelabang.

"Kartu Gagak bekerja," Ivan berbisik, seringai tipis muncul di wajahnya. "Nasib buruk yang cepat datang dan cepat pergi. Nasibmu di gigit oleh makhluk berkaki banyak itu sungguh sial sekali."

BRUK

Sebuah barang jatuh dari atas gedung megarah pada S. S begitu gesit, reflek yang tidak kalah cepat sama dengan Bora. Baang tersebut tidak jadi mengenai S, tapi malah menimpa kaki TS.

"AAWWW!"

Tidak ada jeda. Entah itu barang, hewan ataupun kerusakan tiba-tiba terus terjadi dan terus menghantui S serta TS, tapi sialnya hanya TS yang selalu menjadi korbannya.

"Sakit.... " Suara tangisan terdengar.

Sosok gadis kecil yang lumpuh tidak berdaya sambil memegangi bonek beruang terlihat jelas dalam benak S ketika melihat TS kesakitan.

"Kakak..... Kamu ada dimana?" Gadis kecil dalam pikiran S kemudian meneteskan air mata.

"Satu hal lagi..... Kartu matahariku adalah bisa melipat gandakan kekuatan nasib sama seperti tiga kartu lainnya namun dengan situasi yang berbeda. Kau tahu artinya? Matahari artinya kalian akan mendapatkan nasib buruk selagi matahari bersinar terus." Ivan tertawa puas.

S mengalihkan pandangannya tajam ke arah Ivan dan kartu-kartu di tanah. "Kau...!"

Sementara S terpaku dan TS kesakitan, Bora melihat celah. Ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan mereka. Dengan sisa tenaga dan tekad kuat, ia memfokuskan dirinya. Tubuhnya memang kehilangan keseimbangan, tapi bukan refleksnya. Ia memanfaatkan goyangan yang dibuat TS sebagai momentum tak terduga.

BUK!

Dengan gerakan mendadak yang aneh, Bora melancarkan pukulan uppercut dari posisi setengah terlungkup, mengarah tepat ke dagu S. Pukulan itu mungkin tidak sekuat biasanya karena ia tidak bisa menapak, namun S terkejut. Meskipun S bisa menstabilkan dirinya, ia tidak menduga serangan dari posisi yang seharusnya tidak bisa ia kendalikan.

S terdorong ke belakang, langkahnya sedikit goyah. Bora tidak berhenti. Dengan gerakan yang lebih mirip berguling dan melompat dalam ketidakseimbangan, ia melesat maju, kakinya melayang tinggi.

BRUKK!

Tendangan samping Bora menghantam pinggang S dengan keras. S membentur dinding gang, menghasilkan suara gedebuk yang memekakkan telinga. Untuk pertama kalinya, ekspresi tenang S berubah menjadi murka. Ia tidak menduga akan terpukul oleh seseorang yang seharusnya tak berdaya di medan yang diciptakan rekannya.

"SIALAN!" S membentak, matanya memancarkan amarah yang membara.

TS, meskipun masih terhuyung dan mual, berhasil mengangkat kepalanya. Ia menatap S yang baru saja terpukul, lalu matanya beralih ke Ivan dan Bora dengan tatapan penuh dendam.

"Mereka... mereka membuat kita terlihat konyol," geram TS, suaranya dipenuhi kemarahan. Ia mengusap sisa muntahan dari bibirnya, mata yang tadinya buram kini memancarkan aura mengerikan. Meskipun masih merasakan kesakitan akibat mual, pusing, di gigit kelabang dan kakinya tertimpa barang berat, TS cepat sekali meredakan rasa sakitnya,.

"Cukup bermain-main," suara S menggeram. Darah segar menetes dari sudut bibirnya akibat tendangan Bora. "Kau benar, TS. Ini saatnya menunjukkan kekuatan yang sebenarnya."

"Berani-beraninya kau menyakiti adikku.... "

Gang itu tiba-tiba terasa lebih berat. Tekanan udara seolah meningkat drastis. Gravitasi yang tadinya hanya dipermainkan oleh TS kini terasa seperti beban ribuan ton yang menekan tubuh Ivan dan Bora. Udara bergetar, dan dari S serta TS, aura energi yang pekat mulai terpancar, mengubah wajah mereka menjadi lebih dingin dan mengancam.

"Kalian tidak akan selamat," desis S, suaranya lebih dalam, mengiris udara. "Kalian telah membangkitkan kemarahan kami. Sekarang, rasakan perbedaan antara manipulasi dan penghancuran yang sesungguhnya."

...KARTU PILIHAN DUNIA...

...Milik Ivan...

1
Vian Nara
menarik
sang kekacauan
lanjut
sang kekacauan
kalau 80 berapa ro aku mulai aktif membaca kembali
sang kekacauan
nggak konsisten
Vian Nara: Maaf ya, karena sulit untuk konsisten bagi saya karena saya mengidap penyakit mental yang di mana lamuna sedikit saja sudah membuat cerita yang baru serta kompleks jadinya sulit /Frown/
sekali lagi mohon maaf
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!