Sebuah insiden kecil membuat Yara, sang guru TK kehilangan pekerjaan, karena laporan Barra, sang aktor ternama yang menyekolahkan putrinya di taman kanak-kanak tempat Yara mengajar.
Setelah membuat gadis sederhana itu kehilangan pekerjaan, Barra dibuat pusing dengan permintaan Arum, sang putri yang mengidamkan Yara menjadi ibunya.
Arum yang pandai mengusik ketenangan Barra, berhasil membuat Yara dan Barra saling jatuh cinta. Namun, sebuah kontrak kerja mengharuskan Barra menyembunyikan status pernikahannya dengan Yara kelak, hal ini menyulut emosi Nyonya Sekar, sang nenek yang baru-baru ini menemukan keberadan Yara dan Latif sang paman.
Bagaimana cara Barra dalam menyakinkan Nyonya Sekar? Jika memang Yara dan Barra menikah, akankah Yara lolos dari incaran para pemburu berita?
Ikuti asam dan manis kisah mereka dalam novel ini. Jangan lupa tunjukkan cinta kalian dengan memberikan like, komen juga saran yang membangun, ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Be___Mei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hello, Mr. Actor Part 30
...-Aku adalah orang yang akan kembali mencarimu, meski di kehidupan mendatang-...
...***...
Senja terakhir di tanah air ... Jefrey menatap sendu ke luar jendela pesawat yang membawanya pergi.
.........
Setelah melalui pemikiran yang panjang, akhirnya Yara memutuskan untuk menerima lamaran Barra Betapa senang hati sang duda, ia langsung memeluk sang putri yang juga ikut dalam pertemuan keluarga kali ini.
Demi menjaga keputusan yang telah Yara ambil, dua hari setelah hari itu Barra dan Yara menikah. Dengan dihadiri para keluarga inti dari masing-masing pihak, juga Valery dan Emran.
Sungguh, ada rasa iba dihati mereka yang menyaksikan pernikahan itu. Keinginan dari masing-masing pihak harus tertahan untuk sementara waktu, sebab bukan hanya Yara yang memiliki pernikahan impian, Barra pun sama. Untuk memuaskan rasa hatinya, juga untuk menyenangkan hati sang calon istri, sebelumnya Barra telah menyiapkan mahar yang sangat tinggi.
Suara bergetar Barra saat mengucapkan ijab qobul, menggetarkan pula hati Ayara. Dan saat melihat Barra menyentuh ubun-ubun Yara kemudian membacakan doa, Arum langsung meloncat menghampiri mereka.
"Ayah udah boleh pegang Bunda. Jadi Bunda beneran jadi Bunda Arum? Cuman Bunda Arum?" Sorot mata gadis kecil ini penuh harapan, dia memegangi jemari Yara saat melontarkan tanya.
"Iya, sayang," jawab Barra dan Yara bersamaan.
"Yes! Terima kasih ya Allah udah dengerin dan kabulin permintaan Arum."
Melihat kebahagiaan Arum, Binar dan Jingga menangis haru. Gadis kecil ini begitu merindukan kasih seorang ibu, sebab dirinya masih begitu kecil ketika Raisa meninggal.
Sementara Sekar, diapun sama, menangis haru melihat pemandangan ini. Bagaiman dengan Latif? Dia menatap lurus pada Barra. Sebelum pernikahan ini diselenggarakan, dirinya mewanti-wanti Barra agar tak akan menyakiti Ayara. Jika hal buruk itu terjadi, tak segan-segan ia akan memboyong Yara kembali ke kediaman mereka.
"Mereka udah sah menikah secara agama. Semoga Abang ketemu cewek yang pengertian dan cocok sama Abang."
Pesan itu Valery kirimkan pada Jefrey, yang telah pergi dari negeri ini sehari sebelum Yara menikah.
Setelah acara pernikahan, kehidupan Yara dan Barra kembali pada arus masing-masing. Memang, untuk malam pertama Yara tidur di kediaman Barra. Tapi, dirinya belum terbiasa tinggal di sana. Saat subuh menjelang dia terlihat layu, sebab rasa kantuk masih sangat terasa.
"Kamu udah bangun? Kau harus berangkat syuting, 3 hari baru balik"."
Belum memakai baju, Barra tak segan memperlihatkan tubuh bagian atasnya. Yara yang masih tiduran dengan mengenakan kerudung langsung memalingkan wajah. Ck! Wajahnya terasa panas, apakah dia mimisan melihat tubuh sang suami?
"Anda ... udah sholat subuh?" tanya Yara. Menarik napas beberapa kali, barulah ia bicara.
"Udah. Maaf, ya. Seharusnya kita sholat bareng. Tapi aku liat kamu kayak capek banget. Aku nggak tega bangunin kamu."
Yara mengangguk samar.
Barra menatap hangat pada sang istri, "Yara, kita 'kan udah nikah, kita bukan orang asing lagi. Bisa nggak ngomongnya nggak usah formal gitu."
"Hem, nanti aku coba, Pak Barra."
"Panggil Barra aja," pinta Barra.
Syaza bangkit dari tempat tidur." Iya, saya usahakan."
"Aku, bukan saya," sela Barra.
"I-iya," sahut Yara belum terbiasa. Setelahnya ia masuk ke dalam kamar mandi, Kemudian datang kembali dengan wajah yang lebih segar.
Yara berdehem kecil sebelum bicara, ia seolah mengatur tenggorokan agar lancar bicara menggunakan bahasa yang tidak kaku lagi. "Maaf, Bar. Karena aku telat bangun, kamu jadi liat aku yang berantakan tadi."
Barra tersenyum hangat. "Nggak pa-pa kok. Walaupun setel menikah kamu udah jadi milik aku, aku nggak menuntut kamu buat jadi orang lain. Tetaplah jadi diri kamu yang kayak biasanya. Mau udah rapi atau masih berantakan, itu hal biasa. Lagipula, muka kamu pas lagi tidur tu lucu."
"Lu-lucu?"
"Iya. Keliatan polos banget."
"Polos? Emangnya selama ini aku keliatan kayak gimana di mata kamu? Garang? Kejam? Atau tukang bikin masalah?"
Pria setinggi 1.90 ini tertawa, menghapus gambaran seorang Barra yang pemarah di mata Yara menjadi pria yang begitu ramah. "Aku nggak mau bohong. Awalnya kamu memang tukang bikin masalah."
Ayara mengantupkan bibir, andai ia berani untuk protes. Tapi sudahlah, ia tak mau pagi pertama mereka diwarnai dengan adu argumen. Wanita ini tak menyadari senyum Barra kembali mereka melihat dirinya saat ini.
Beberapa waktu kemudian Yara membantu Barra mengemasi barang-barangnya ke dalam koper besar.
Rasa terkejut tak bisa Yara sembunyikan, saat Barra menarik kerudungnya. "Kita udah mahram, kamu udah boleh melepas kerudung ini di depanku."
"Oh, i ... iya." Tangannya sedikit ragu saat melepas kerudungnya untuk pertama kali di hadapan sang suami.
Barra tak berkedip saat Yara melepaskan gelungan pada rambutnya, ternyata wanita ini memiliki rambut indah yang panjang. Dan, kecantikannya semakin bertambah saat tak mengenakan kerudung.
"Jalan kita menuju pernikahan tu nggak mudah, dan aku pikir mungkin kamu nerima aku karena Arum. Tapi Yara, aku cuman mau kamu tau, aku menikahimu memang karena cinta."
"Karena cinta, itu aja?" Yara bertanya.
"Cinta karena Allah." Dengan sangat yakin Barra memberikan jawaban.
Selain menerimanya karena Arum, dalam hati Yara juga menambahkan bahwa ia menerima Barra demi mengobati hati yang kecewa karena kasih tak sampai.
Maafin aku, Bar
"Terima kasih, udah mencintaiku karena Allah," ujarnya, kini tatapan mereka bertemu.
Perlahan mendekati wajah sang istri, Barra mendaratkan kecupan singkat di kening Yara."Terima kasih juga udah nerima lamaran aku."
Senyuman manis Yara, rasanya sudah cukup untuk menjadi bekal Barra ke luar kota. Tanpa menikmati malam pertama, pasangan halal ini akhirnya tinggal berjauhan untuk tiga hari lamanya.
...***...
Betapa senang hati Arum, akhirnya dia diantar oleh sang bunda untuk pertama kalinya ke sekolah dengan status ibu dan anak. Kehadiran Yara di sana tentu menyita perhatian para guru, terutama Manda.
"Eh, Yar. Ngapain kamu ke sini?" Manda menghampiri Yara yang sedang duduk pada sebuah kursi di taman bermain.
"Nungguin Arum."
Jawaban Yara membuat Manda memiringkan kepala,"Kamu 'kan dipecat karena ayahnya, dan sekarang kamu jadi pengasuhnya. Yang bener aja?!"
Pengasuh Arum ... boleh juga ocehan Manda. Profesi ini akan Yara gunakan sebagai kedok untuk menemani Arum kemana saja mereka pergi.
"Takdir yang bikin aku jadi pengasuh Arum. Memangnya ada yang bisa menghindar dari ketentuan Allah?"
Manda memberengut mendengar ucapan Yara."Kalau aku jadi kamu, aku nggak sudi jadi pengasuh dia."
"Dan aku bukan kamu. Terserah sih kamu mau kayak gimana. Yang jelas, aku nggak akan biarin orang lain mengatur hidup aku!" Yara menegaskan.
"Aku cuman ngasih tau, gitu aja sewot!" Keadaan sudah mulai panas, Manda langsung pamit undur diri dari hadapan Yara.
Selain Manda, Yara juga berbicang bersama Gita hari ini. Tak seperti Manda yang bicara sesuka hati, Gita lebih mengayomi pada Yara. Ia menyemangati Yara yang sempat kehilangan pekerjaan karena Barra, dan kini malah diambil sebagai pengasuh Arum.
"Kehidupan ini lucu, ya. Nggak ada yang tau apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi yang jelas, berdamai dengan keadaan adalah salah satu kunci hidup bahagia. Aku salut sama kamu." Gita berkata sembari mengusap lembut punggung tangan Yara
"Kalau nggak sudi berdamai, apa kita harus terus membuang waktu dengan menyesali takdir. Nggak ada gunakan 'kan Bu?" ucap Yara. Dia tersenyum dan senyumnya mendapat balasan dari Gita.
"Bundaaaa, Arum lapaaarr!" Gadis kecil itu berlari kecil menghampiri Yara.
"Dia masih manggil kamu 'Bunda'?" tanya Gita.
Mengangguk masih dengan senyuman "Ya."
"Ucapan adalah doa. Gimana kalau akhirnya kamu memang jadi Bundanya? Bunda yang sebenarnya?' tanya Gita lagi.
"Hemmm, entahlah. Saya nggak pernah kepikiran sampai sana," jawab Yara sedikit gugup. Ibu kepala sekolah ini seperti cenayang, seolah tahu tentang kebenaran yang telah terjadi.
Usai ibu kepala sekolah pamit, Arum dan Yara kini menikmati makan siang bersama.
Arum dengan sombongnya memamerkan kedekatannya bersama Yara di hadapan murid yang lain. Mungkin karena rindu, para murid banyak yang iri akan kedekatan mereka itu.
"Bundaaa, Hana juga mau disuapin!"
"Caca juga mau, Bundaaa!"
"Aku dulu, Bunda. Suapin Sena dulu!"
Siang itu Yara seperti primadona, dikerumuni para murid yang merindukan dirinya. Melihat hal itu Gita berniat untuk merekrutnya menjadi tenaga pengajar lagi. Ia juga telah mengabadikan kedekatan mereka dengan ponselnya. Dalam rapat para wali murid nanti, ia akan membicarakan hal ini.
...To be continued ......
...Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa like, komen, dan kasih saran yang membangun, ya....
Kamu seorang laki-laki ... maka bertempurlah sehancur-hancurnya!
Yakin tuh ga panas Barra 😄
Gitu dong, lindungin Yara..
Masa iya Yara bener mamanya Arum