Reza Sulistiyo, penipu ulung Mati karena di racun,
Jiwanya tidak diterima langit dan bumi
Jiwanya masuk ke Reza Baskara
Anak keluarga baskara dari hasil perselingkuhan
Reza Baskara mati dengan putus asa
Reza Sulistiyo masuk ke tubuh Reza Baskara
Bagaimana si Raja maling ini membalas dendam terhadap orang-orang yang menyakiti Reza Baskara
ini murni hanya fanatasi, jika tidak masuk akal mohon dimaklum
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 AH KALIAN SALING CURIGA
Semua orang terdiam. Ruangan itu hening. Tak ada satu pun bantahan, semua yang dikatakan Reza terasa masuk akal.
Galih mulai panik. Ada rasa bersalah yang menyusup perlahan ke dalam hatinya. Tapi yang paling penting sekarang… adalah saldo di rekeningnya. Itu yang harus diselamatkan.
Jika benar-benar raib… Bukan hanya rekening pribadinya yang terguncang. Tapi keuangan seluruh perusahaan bisa ikut goyah.
Kismin adalah orang yang paling panik. Ia ingat betul. Sudah meletakkan BLACK CARD itu di lemari Reza. Tapi sekarang, kartu itu hilang.
Jika benar-benar lenyap… Dan Galih memutuskan melakukan penyelidikan—
Melibatkan kepolisian— Maka hanya ada satu nama yang akan jadi tersangka adalah dirinya.
Dimas dan Vanaya tidak mungkin mau menanggung kesalahan ini. Kalaupun dia buka suara kepada pihak berwajib maka tetap saja dia yang akan dikorbankan, untuk menyelamatkan nama baik keluarga baskar. Perasaan menyesal mulai hinggap, harusnya dia mendapatkan untung tapi kenyataanya kismin berada diujung jurang yang tidak ada jalan kembali,
Dimas melirik ke arah Kismin. Tatapannya tajam. Menelusuk.
Ia mulai curiga. Kismin mungkin tidak menjalankan tugas dengan benar. Dan kalau benar BLACK CARD itu hilang…Hilang bersama saldonya—Maka bukan hanya Kismin yang terseret. Ayahnya tidak mungkin memasukan dia kepenjara tapi hukuman potongan uang jajan sudah menunggu atau mungkin dia tidak akan mendapatkan uang jajan sama sekali.
Kismin langsung menggeleng. Wajahnya tegang, panik, dan bingung. Jelas ada yang tidak beres.
Ia menatap wajah Reza yang tampak menyedihkan. Terlalu menyedihkan.
Kalau penyelidikan benar-benar dilakukan…Orang-orang tidak akan percaya Reza pelakunya. Terlalu tidak masuk akal kalau menetapkan reza sebagai tersangka, kondisi fisiknya sangat tidak memungkinkan, fisik terluka, apalagi mental sudah lama rusak karena berbagai hinaan
Apa lagi beberapa hari ini reza mengalami berbagai penyiksaan, hingga sempat dinyatakan mati, kemudian disekap sampai kesurupan dan membenturkan kepalaya sendiri, menunjukan kalau reza sudah rusak secara lahir dan bantin.
Vanaya juga gelisah. Matanya bergerak cepat, memindai kamar. Ada rasa panik yang ia sembunyikan di balik raut datarnya.
Kalau BLACK CARD itu benar-benar hilang… Artinya, hari ini jatah bulanannya tidak akan cair.
Dipotong 25 persen saja dia bisa frustrasi. Apalagi kalau tidak diberi sama sekali
"Hahah... senang sekali aku melihat kalian panik dan heran," pikirnya, menikmati pemandangan di depannya.
"Kenapa masih pada diam?" batin Reza, seolah panggung drama ini belum cukup ramai.
Reza sudah tidak sabar lagi. Adegan selanjutnya akan mengguncang rumah ini, dan dia siap menjadi sutradaranya. Dengan nada yang sengaja dibuat dramatis, suaranya terdengar lemah namun penuh makna, ia berucap:
"Yah... sebaiknya Ayah segera cari BLACK CARD itu. Sebelum saldonya raib."
Reza menarik napas dalam, pandangannya menatap langit-langit kamar yang usang, seolah mencari inspirasi dari sana. "Jangan hiraukan aku, Yah. Aku akan baik-baik saja," ucapnya lirih, sebuah kalimat yang terdengar tulus namun menyimpan seribu makna tersembunyi.
Kata-kata Reza itu bagai sambaran petir yang menyadarkan Galih. Betul! Bukan anaknya yang "lemah" ini yang perlu dikhawatirkan sekarang, tapi BLACK CARD-nya yang raib bersama saldonya!
"Cepat cari! Geledah semua kamar!" teriak Galih, suaranya menggelegar, memecah kesunyian pagi dan membuat seisi rumah Baskara bergegas dalam kepanikan..
Semua orang bergerak panik. Sudut-sudut rumah diperiksa dengan teliti, lemari dibuka paksa, kolong-kolong dipelototi. Kamera CCTV diputar mundur berulang kali, namun hasilnya nihil. Tidak ada gerakan mencurigakan, tak ada siapa pun yang menyusup. Semuanya... bersih.
Kamar para pembantu digeledah habis-habisan, isinya diobrak-abrik tanpa ampun. Nihil. Pos satpam dibongkar, isinya kosong melompong. Bahkan kamar Reza? Sudah habis diacak-acak sejak tadi, namun black card itu tetap tak ditemukan.
Galih sendiri akhirnya turun tangan, wajahnya menegang, setiap gerakan dipenuhi kepanikan. Kamar pribadinya kini berantakan, isi lemari dan laci berhamburan di lantai. Ruang kerja pun tak luput dari amukannya, dibongkar habis-habisan.
Laci, rak, brankas, bahkan kolong karpet — semua sudah digeledah, namun hasilnya tetap kosong. Black card itu seolah lenyap ditelan bumi. Pencarian berlanjut ke kamar Dimas. Sama. Tidak ada apa-apa
Galih berdiri di tengah ruangan, matanya merah menyala. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat. Panik. Marah. Bingung. Semua emosi itu bercampur aduk di wajahnya.
Dan di sudut ruangan, Reza duduk diam, membisu. Sebuah topeng kesedihan masih terpasang sempurna di wajahnya. Tapi dalam hatinya, dia tersenyum. Sebuah senyum kemenangan. "Cari saja terus," batinnya penuh kepuasan, "sebentar lagi kita akan menyaksikan kalian saling menghancurkan."
"Tinggal kamarmu yang belum diperiksa," ucap Galih, suaranya dingin dan menusuk, mengarah ke Vanaya.
Vanaya memutar mata, raut kesal terpampang jelas. "Yah... curiga sama aku?"
"Semua kamar juga diperiksa, sekarang tinggal kamar kamu yang belum diperiksa," balas Galih, nadanya tetap dingin, tak terbantahkan.
"Terserah. Silakan." Vanaya mendengus kesal, seolah ini adalah penghinaan terbesar dalam hidupnya.
Galih masuk ke kamar Vanaya. Kamar itu mewah, rapi, beraroma parfum mahal. Namun Galih tak peduli. Dia membuka laci, mengangkat kasur, mengecek rak buku, bahkan membuka tas-tas branded milik anak gadisnya itu tanpa ampun.
Beberapa menit kemudian, Galih keluar. Wajahnya merah padam
"Vanaya!" bentak Galih, suaranya naik satu oktaf, memenuhi ruangan dengan kemarahan.
"Ada apa sih, Dad?" ucap Vanaya, nada suaranya mulai defensif, berusaha menyembunyikan kegugupan.
Galih tak menjawab. Ia hanya mengangkat sebuah kantong kresek hitam dari balik punggungnya. Dari dalamnya, tampak beberapa dompet dan yang paling mencolok, satu black card berwarna hitam.
"Itu... itu dompet saya!" seru Karta kaget, matanya membelalak tak percaya.
"Iya! Dompet saya juga!" tambah Antio, suaranya tak kalah terkejut.
Galih menatap Vanaya tajam. Suaranya berubah dingin, tapi mengintimidasi, menusuk hingga ke tulang. "Bisa kamu jelaskan... kenapa semua ini ada di lemari kamu?"
Vanaya terdiam. Mulutnya kaku, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Jantungnya berdebar hebat, iramanya tak karuan. Dia memang yang mencuri BLACK CARD Galih. Tapi niatnya bukan menyimpannya di kamarnya sendiri—melainkan untuk menjebak Reza. Dan sekarang, semuanya berantakan.
"A-aku enggak ambil itu, Yah," ucap Vanaya tergagap, suaranya panik, berusaha mengelak dari kenyataan pahit yang kini di depannya.
Galih mengentakkan kakinya, marah. "Kalau bukan kamu yang ambil, kenapa bisa ada di lemarimu?!"
Suasana mendadak hening. Reza, dari sudut ruangan, tersenyum samar. "Saatnya jadi pura-pura jadi pahlawan sementara untuk Kakakku ini," batinnya.
"Uhuk... uhuk..." Reza mulai berjalan dari ruang tengah. Langkahnya diseret, tubuhnya tampak lemah dan ringkih, seolah setiap gerakannya membutuhkan seluruh kekuatannya. Tapi matanya... penuh siasat dan perhitungan.
"Yah," ucap Reza pelan, suaranya parau, "Kak Vanaya enggak mungkin mencuri... Sepertinya... ada yang menjebak dia."
Semua orang menoleh, terkejut mendengar pembelaan tak terduga dari Reza. Vanaya melirik tajam ke arahnya, bingung. Kenapa Reza... membelanya? Semua orang tahu kalau Vanaya adalah orang yang paling membenci Reza di rumah ini.
Dimas, melihat peluang, ikut angkat suara. "Benar, Vanaya. Pasti ada yang menjebak Vanaya."
Dimas menatap Kismin tajam. Semalam, Kismin yang menerima BLACK CARD Galih darinya—alat jebakan untuk Reza. Tapi kini, BLACK CARD itu ditemukan di kamar Vanaya. Reza jelas tidak mungkin berjalan dalam kondisinya sekarang. Satu-satunya orang yang paling layak dicurigai... adalah kismin
Di tengah suasana hening, tiba-tiba Reza bicara.
“Ayah…” ucapnya pelan. “Cari pelakunya nanti saja. Sekarang sebaiknya Ayah aktifkan M-Banking. Coba periksa saldonya. Takutnya... sudah hilang.”
Galih tersentak. Jantungnya berdegup kencang. Hampir saja ia lupa soal hal sepenting itu. Dengan panik, ia meraih ponselnya. Jemarinya gemetar saat membuka aplikasi perbankan. Ia mengetik nomor black card-nya—akhirnya, M-Banking berhasil diaktifkan kembali. Beberapa detik kemudian, layar menampilkan status: sistem berhasil masuk.
Galih menekan menu informasi rekening. Matanya langsung membelalak.
“Gila… saldonya NOL!” teriaknya panik. Napasnya tersengal, tangannya gemetar hebat, seolah tak percaya dengan apa yang dilihat..
Ruangan mendadak hening. Tak ada satu pun yang berani bersuara. Dimas dan Vanaya saling pandang, wajah mereka pucat seperti kehilangan darah. Tubuh galih gemetar uang milyaran dt rekeningnya raib.ini jelas akan mengancam keberlangsungan keluarga baskara,.
"Hahah... anjing tua ini masih saja bodoh," pikir Reza, senyum licik tersungging di bibirnya. "Baiklah, aku akan sadarkan dia, dan masuk ke sesi saling menghancurkan."
Dengan nada panik, yang bahkan terdengar lebih panik dari Galih, Reza berkata, "Ayah, jangan panik," ucapnya pelan, tapi tegas. "Cepat cek transaksi terakhir. Minta pihak bank membatalkan. Sebelum semuanya terlambat."
Galih tersentak dan buru-buru membuka riwayat transaksi di ponselnya. Beberapa detik kemudian, terdengar suara menggelegar yang membuat seisi ruangan tersentak:
"VANAYA?!"
"Ada apa, yah?" Vanaya panik, suaranya tercekat.
Galih berdiri tegak, matanya membara seperti bara api. "Kenapa kamu pindahkan semua saldo Daddy ke rekening kamu... dan Dimas?! KALIAN SEKONGKOL, YA?!"
Vanaya mundur satu langkah, wajahnya pucat pasi. Dimas terdiam, bibirnya mendadak kaku.
"Jawab! Uang miliaran lenyap dalam semalam! Kalian pikir ini lelucon?!" Galih menunjuk layar ponselnya, tangannya gemetar karena marah yang tak terbendung.
Reza menunduk, pura-pura cemas. Padahal dalam hati, ia tertawa terbahak-bahak. "Oke, mulai sekarang kalian akan saling curiga. Ini baru permulaan kekacauan yang datang. Aku harus mengemas cerita bohong ini senyata mungkin, hingga kalian tidak sadar kalau kalian akan saling menghancurkan ke depan."