NovelToon NovelToon
Jatuh Cinta Dengan Adik Suamiku

Jatuh Cinta Dengan Adik Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Selingkuh / Anak Kembar / Dijodohkan Orang Tua / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Mila julia

Keira hidup di balik kemewahan, tapi hatinya penuh luka.
Diperistri pria ambisius, dipaksa jadi pemuas investor, dan diseret ke desa untuk ‘liburan’ yang ternyata jebakan.

Di saat terburuk—saat ingin mengakhiri hidupnya—ia bertemu seorang gadis dengan wajah persis dirinya.

Keila, saudari kembar yang tak pernah ia tahu.

Satu lompat, satu menyelamatkan.
Keduanya tenggelam... dan dunia mereka tertukar.

Kini Keira menjalani hidup Keila di desa—dan bertemu pria dingin yang menyimpan luka masa lalu.
Sementara Keila menggantikan Keira, dan tanpa sadar jatuh cinta pada pria ‘liar’ yang ternyata sedang menghancurkan suami Keira dari dalam.

Dua saudara. Dua cinta.
Satu rahasia keluarga yang bisa menghancurkan semuanya.

📖 Update Setiap Hari Pukul 20.00 WIB
Cerita ini akan terus berlanjut setiap malam, membawa kalian masuk lebih dalam ke dalam dunia Keira dan Kayla rahasia-rahasia yang belum terungkap.

Jangan lewatkan setiap babnya.
Temani perjalanan Keira, dan Kayla yaa!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23. Trauma

Keira melangkah keluar dari kamar dengan penampilan baru yang membuat dirinya nyaris tak dikenali. Rambutnya yang dulu panjang kini terpotong sebahu, membingkai wajah pucat yang perlahan mulai menampakkan kehidupan kembali. Ia menahan napas sebentar, merasakan beratnya langkah kecil yang terasa asing di tubuhnya sendiri.

Di ruang tamu, Aldi dan Pak Mahendra tertidur dalam posisi duduk, tubuh sedikit miring ke samping, seolah tak ingin melewatkan detik pun saat Keira bangun. Selimut yang menutupi mereka bergeser lembut akibat napas yang berat dan teratur. Wajah Pak Mahendra tampak lebih tua dari usia sebenarnya, garis-garis kecemasan menorehkan bayangan di pelipisnya, seolah dunia bisa runtuh bila anaknya tidak kembali dari jurang kesedihan yang dalam itu.

Keira mendekat perlahan, menahan gemetar di kaki. Tangannya menjangkau selimut yang melorot dari tubuh ayahnya, menekuk bahu sedikit saat membetulkannya. Matanya berembun, dan suara lirih keluar dari bibirnya yang gemetar, hampir tenggelam di antara detak jantungnya sendiri.

“Maaf ya, Pak… aku sudah bikin Bapak khawatir.”

Pak Mahendra mengedip pelan, mata yang lelah menatapnya. Bibirnya sedikit tersenyum meski garis cemas masih menempel. Tubuhnya condong sedikit ke depan, seakan ingin merangkul Keira tapi sadar kaku oleh rasa khawatir dan rasa bersalah.

Aldi membuka mata perlahan, menatap Keira dengan campuran terkejut dan lega. Ia bangkit, menggenggam bahu Keira lembut, menuntunnya ke teras. Setiap gerakan Aldi pelan tapi tegas, menenangkan tanpa memaksa, seakan tubuhnya ingin berbicara lebih banyak daripada kata-kata.

Angin pagi menyapu pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan. Suara dedaunan yang bergesekan terdengar seperti bisikan menenangkan, dan cahaya abu-abu pagi memantul di wajah mereka, menimbulkan bayangan halus di permukaan kayu teras. Aldi akhirnya membuka suara, matanya mengikuti tatapan Keira yang masih terpaku ke kejauhan.

“Apa yang kamu lakukan kemarin… membuat Pak Mahendra sangat cemas, Keira,” ucapnya pelan, suaranya berat dan diselingi getar lembut, seperti takut kata-katanya terdengar salah.

Keira menunduk, tangannya menggenggam pinggir selimut, bahunya sedikit bergetar. “Aku cuma… butuh waktu untuk menenangkan pikiran. Aku nggak bermaksud menyakiti siapa-siapa,” jawabnya datar, napasnya tercekat sedikit, seolah menahan emosi yang ingin meledak.

Aldi menatapnya dalam, wajahnya menegang, alisnya berkerut. “Aku tahu. Tapi kamu tau nggak… dulu Kayla juga pernah seperti itu. Dia mengurung diri selama enam bulan. Nggak bicara, nggak keluar kamar, cuma diam dan menangis dalam diamnya.” Suaranya menurun, mata berkaca-kaca, menahan rasa sakit masa lalu yang muncul kembali. “Dan waktu Pak Mahendra nekat dobrak pintu kamar Kayla…”

Aldi menunduk, menahan suara seraknya agar tidak pecah. Keira menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang perlahan menetes, pandangannya tak berani menatap ke depan.

“Dia nemuin Kayla udah tergeletak di lantai. Obat berserakan di mana-mana… untung aja Pak Mahendra datang tepat waktu. Kalau nggak—” Aldi menggeleng pelan, tangannya mengepal pelan di pangkuan.

Keira menelan ludah, napasnya tersengal sebentar. “Itu jadi luka yang dalam buat Pak Mahendra. Dia nggak pernah benar-benar pulih dari kejadian itu. Makanya waktu kamu ngilang, waktu kamu menutup diri… dia takut kehilangan satu-satunya anak yang masih bisa dia peluk.” Suaranya bergetar, bahu menekuk sebentar, mata menatap lurus ke lantai kayu.

Aldi meraih tangan Keira, menggenggamnya erat. Jari-jari mereka bertaut, Keira menahan cengkeraman itu sejenak, lalu membiarkan diri merasa aman.

“Jangan pernah lakukan itu lagi. Kalau kamu merasa lelah… kamu bisa datang ke aku. Kita bisa pergi ke tempat mana pun yang kamu mau. Sawah, hutan pinus, laut, atau cuma duduk bareng di bawah pohon. Tapi tolong, jangan siksa dirimu sendiri, Keira. Jangan kalahkan dirimu dengan pikiran-pikiran buruk yang belum tentu jadi kenyataan.” Suaranya dalam, lembut, menenangkan.

Keira menunduk lebih dalam, rambutnya menutupi sebagian wajah. “Tapi kamu bahkan nggak tau siapa yang aku takuti, Mas,” bisiknya, senyum tipis yang tak sampai ke matanya.

Aldi diam, menatapnya dalam-dalam, memberi ruang agar Keira sendiri membuka luka itu. Ia ingin Keira sembuh karena memilih sendiri, bukan karena terburu-buru atau dipaksa.

“Aku nggak peduli siapa pun dia. Aku cuma peduli kamu baik-baik aja,” akhirnya Aldi berkata, suaranya penuh ketulusan, napasnya tertahan sebentar sebelum melanjutkan.

Ia mengangkat tangan, mengacungkan jari kelingkingnya dengan hati-hati, menunggu Keira menautkannya. Pandangan mereka saling bertaut, waktu seakan melambat, hanya ada jari-jari yang bertemu di udara basah pagi itu.

“Berjanjilah… jangan lari lagi. Jangan menyakiti dirimu sendiri. Berjanjilah padaku, Keira.”

Keira menatap lama, menahan air mata, lalu perlahan mengulurkan jari kelingkingnya, mengaitkan pada jari Aldi.

“Janji,” bisiknya pelan, suara bergetar tapi tegas, menyiratkan tekad baru yang muncul dari kehancuran lama.

___

Keira melangkah masuk ke ruang tamu rumah tua itu, udara pagi yang masih dingin dan basah akibat hujan menempel di kulitnya. Debu tipis menari di sinar cahaya pagi yang masuk dari jendela, sementara aroma kayu lama bercampur dengan sedikit wangi tanah basah memenuhi ruangan. Tanpa ragu, ia menekuk badan dan memeluk Pak Mahendra erat-erat, menempelkan pipinya di bahu ayahnya yang hangat.

Lelaki tua itu terbangun kaget oleh sentuhan hangat yang begitu ia rindukan. Matanya membulat sejenak, tangan yang semula terkulai di pangkuan segera merangkul Keira balik. Perlahan, air mata menetes di pipinya saat menyadari… anak yang ia cintai akhirnya muncul dari tempat persembunyiannya, membawa kehidupan kembali ke rumah yang lama sunyi itu.

“Akhirnya kamu keluar kamar juga, Nduk…” suara Mahendra bergetar lembut, bibirnya bergetar menahan emosi. “Bapak sangat khawatir.” Tangannya mengelus lembut punggung Keira, menenangkan sekaligus menahan rasa takut kehilangan lagi.

Keira menekuk kepala sedikit, napasnya tersengal, bibirnya gemetar saat ia berbisik, “Maaf… Kayla bikin Bapak cemas.” Tubuhnya menempel erat, tangannya menahan pelukan seolah tak mau melepaskan.

Mahendra menggeleng pelan, menepuk punggungnya lembut, suaranya masih bergetar namun menenangkan, “Nggak apa-apa, Nduk… Bapak cuma senang kamu di sini. Kamu… aman sekarang.” Matanya menatap wajah Keira dengan tatapan lembut, penuh kasih sayang dan sedikit lega yang tak bisa ia sembunyikan.

Keira menghela napas panjang, menutup matanya sejenak, lalu berbisik, “Terima kasih ya, Pak…” sambil mempererat pelukan. Suaranya bergetar tapi penuh kehangatan, menyalurkan rasa rindu yang telah lama tertahan di dalam hatinya.

Mahendra menarik sedikit jarak, menatap wajah putrinya dalam-dalam, menyapu rambutnya yang baru dipotong sebahu dengan jari-jari gemetar. Senyum kecil mengembang di wajahnya, matanya yang keriput berbinar karena rasa bangga.

“Tapi… kamu cantik sekali dengan gaya rambut barumu, Nduk,” ucapnya lembut, matanya menatap penuh kagum, seakan ingin mengabadikan setiap detail wajah Keira yang kini kembali hidup di hadapannya.

Keira tersipu malu, pipinya memerah, dan senyum kecil muncul di wajahnya. Hati yang selama ini terasa kosong kini terasa utuh, hangat, seolah ada cahaya yang kembali menembus kegelapan. Udara pagi terasa ringan, aroma kayu dan tanah basah menjadi pengiring damai di hatinya. Ia menatap sekeliling rumah tua itu, menatap furnitur usang, lukisan-lukisan di dinding, cahaya yang memantul di lantai kayu—semua terasa akrab, seolah menerima kehadirannya kembali.

“Meskipun ini bukan hidupku… tapi mulai sekarang, ini adalah tempatku,” batin Keira sambil menutup mata sejenak, senyum hangat tak lepas dari wajahnya. Hatinya terasa penuh, dan untuk pertama kalinya setelah lama, ia merasakan kebahagiaan yang sederhana: dicintai dan dirindukan.

$$$$$

Sesampainya di rumah, Leo tetap memapah Keira dengan kehati-hatian yang nyaris berlebihan. Setiap langkahnya diatur, setiap pijakan Keira dijaga seakan ia sedang membawa sesuatu yang paling rapuh dan berharga di dunia. Sentuhan telapak tangannya di bahu Keira begitu lembut, tapi di balik kelembutan itu ada ketegasan yang tak memberi ruang bagi Keira untuk terjatuh lagi.

Di ruang tamu, udara yang semula tenang mendadak terasa padat. Aroma teh hangat bercampur dengan wangi kayu tua seakan tertahan di udara. Tantri—yang tengah menyeruput teh—mendadak menghentikan gerakannya. Cangkir porselen di tangannya bergetar ringan sebelum ia letakkan di atas meja. Jemari kurusnya meremas pangkal rok, matanya memicing ke arah Leo dan Keira.

Tamara, yang duduk di sofa dengan kaki bersilang, spontan berdiri. Suara gesekan kain rok panjangnya terdengar nyaring di tengah keheningan. Matanya membelalak tak percaya, bibirnya terbuka namun tak ada kata yang keluar untuk beberapa detik.

Sementara itu, Hadiwijaya hanya menoleh sekilas dari balik tabletnya. Tatapannya singkat, tapi cukup lama untuk menyadari ada sesuatu yang tidak biasa—ketegangan yang baru saja merayap masuk ke ruangan itu.

“Sejak kapan Kakak peduli sama dia?” bisik Tamara pelan, tapi cukup keras hingga memotong udara dan terdengar jelas oleh semua orang. Nada suaranya tajam, bercampur ketidakpercayaan.

Leo tetap menuntun Keira menuju sofa. Ia meraih bantal, menepuknya dua kali, lalu meletakkannya di belakang punggung Keira dengan gerakan hati-hati. Keira hanya duduk diam, menunduk, jemarinya saling meremas di pangkuan. Leo duduk di sampingnya, posisi tubuhnya sedikit condong melindungi.

“Aku hanya membantu istriku,” ucap Leo datar, suaranya dalam tanpa jeda, seperti sebuah fakta yang tak perlu diperdebatkan.

Kalimat itu meledak seperti petir di siang bolong.

Tamara tersedak, batuk kecil, dan memegangi dadanya. “Istriku? What?! K Kakak… bilang… istri?” suaranya tercekat, seperti tak yakin telinganya mendengar dengan benar.

Tantri langsung melangkah maju, tumit sepatunya menghentak lantai marmer. Ekspresi terkejutnya tak berusaha ia sembunyikan, alisnya terangkat tinggi. Sorot matanya jatuh menusuk Keira. “Astaga, Leo… kau bahkan bergandengan dengan jaminan hutang ini?” katanya dengan nada mencemooh, bibirnya mencabik sinis.

Kayla, yang berdiri tak jauh di sudut ruangan, melangkah satu langkah ke depan. Sorot matanya dingin, tapi bibirnya melengkung sedikit, mengandung perlawanan. “Dia yang ingin bergandengan dengan saya, Tante! Tanya aja sendiri sama anak Tante, kenapa bisa berubah seperti ini.”

Tantri mendengus, bibirnya merapat, tapi sebelum kata-kata keluar, Leo mengangkat tangan sedikit, memotong.

“Mama, dengarkan aku dulu.” Suaranya tajam, tapi terkendali. Pandangannya lalu beralih ke seseorang yang baru saja menuruni tangga dengan langkah malas.

Revan.

Ekspresi Leo mengeras, garis rahangnya menonjol. “Keira hampir mati, Ma. Dikurung di ruang pendingin. Dan itu… karena dia.”

Semua kepala langsung berputar ke arah Revan. Bahkan Hadiwijaya, yang jarang bereaksi, menutup tabletnya dengan bunyi klik tegas dan berdiri. Tatapannya menusuk, sorot matanya seperti belati.

“Dia sengaja mendekati Keira, menghasut, lalu… mencoba membunuhnya,” lanjut Leo. Suaranya tak meninggi, tapi ketenangan itu justru membuat tuduhannya terasa mematikan.

Keheningan membungkus ruangan.

“Jadi rumor itu benar?” Hadiwijaya melangkah mendekat, suaranya berat.

“Aku selama ini membiarkanmu bebas, tidak mengekang mu meski kau semena-mena. Tapi sekarang…” Napasnya berat, wajahnya mendekat, “kau menyerang keluargamu sendiri?”

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipi Revan, membuat kepala pemuda itu terpelanting ke samping. Tamara memekik kecil, menutup mulutnya dengan tangan, sementara Tantri hanya menunduk diam, entah malu atau takut.

“Apa kau ingin aku kirim ke luar negeri lagi? Ke tempat itu?!” bentak Hadiwijaya.

Tubuh Revan lunglai. Ia jatuh berlutut, lalu bersujud memeluk kaki ayahnya. Tangisnya tanpa suara, tapi bahunya bergetar hebat.

Bayangan kelam itu kembali—kilatan peluru di udara, darah yang hangat di tangannya, wajah-wajah yang tumbang satu per satu. Napasnya tercekat. Neraka itu belum hilang.

“Pah… jangan… jangan kirim aku ke sana lagi… aku mohon…” suaranya serak, parau, seperti tercekik rasa takut.

Leo hanya memandangnya, bibirnya melengkung tipis. Senyum dingin itu muncul sebentar, seperti tanda centang pada rencana yang berhasil. Ia lalu memalingkan wajah, menyembunyikan ekspresinya.

Namun, sepasang mata memperhatikan setiap gerakannya.

Kayla.

Ia melihat semua—senyum kecil Leo, tatapan puasnya, keberhasilan menjatuhkan Revan dengan satu tuduhan yang sulit dibuktikan.

“Leo memanfaatkan gue untuk menjatuhkan Revan,” batinnya. Jemarinya mengepal erat di balik lipatan gaun tidur, kukunya menekan telapak tangan. Tapi ia tahu… untuk saat ini, ia harus tetap bermain sesuai aturan Leo.

Karena meski ia hampir mati, ia belum yakin Revan adalah pelakunya.

Dan untuk bertahan—ia butuh Leo.

.

.

.

Bersambung

1
Dedet Pratama
luar biasa
Alyanceyoumee
mantap euy si Revan
Kutipan Halu: hahah abis di kasih tutor soalnya kak 😄😄
total 1 replies
Bulanbintang
Iri? bilang boss/Joyful/
Kutipan Halu: kasih paham kakak😄😄
total 1 replies
CumaHalu
Suami setan begini malah awet sih biasanya 😤
Kutipan Halu: awett benerrr malahan kak😄
total 1 replies
iqueena
Kasar bngt si Leo
iqueena: sharelok sharelok
Kutipan Halu: kasih tendangan maut ajaa kak, pukulin ajaa kayla ikhlas kok🤣
total 2 replies
Pandandut
kay kamu mantan anak marketing ya kok pinter banget negonga
Kutipan Halu: kaylanya sering belanja di pasar senin kak🤣
total 1 replies
Dewi Ink
laahh, pinter nego si Kayla 😅
Kutipan Halu: biasa kakk valon emak2 pinter nego cabe di pasar😄😄
total 1 replies
Alyanceyoumee
nah gini baru perempuan tangguh. 😠
Kutipan Halu: iyaa kak greget jugaa kalau lemah muluuu, org kek leo emng hrs di kasih paham😄😄
total 1 replies
Yoona
😫😫
CumaHalu
Kapok!!
Makanya jadi suami yang normal-normal aja😂
Kutipan Halu: diaa memilih abnormal kak☺☺
total 1 replies
Pandandut
mending ngaku aja sih
Kutipan Halu: emng bisaa ya kak, kan udh terlanjut bohong gituu org2 udah juga pada percaya, klu aku jadi keira sih juga pasti ngambil jln dia juga😭😭
total 1 replies
Pandandut
pinter juga si revan/Slight/
iqueena
pintar juga Revan
Dewi Ink
mending ngaku duluan si dari pada ketahuan
Yoona
leo juga harus ngerasain
Alyanceyoumee
mantap...👍
CumaHalu
Wah, hati-hati Kayla.😬
Kutipan Halu: waspada selalu kak☺
total 1 replies
CumaHalu
Astaga😂😂😂
Bulanbintang
dua kali lebih lama, 😩😒
Bulanbintang
kompak bener😅
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!