Keira hidup di balik kemewahan, tapi hatinya penuh luka.
Diperistri pria ambisius, dipaksa jadi pemuas investor, dan diseret ke desa untuk ‘liburan’ yang ternyata jebakan.
Di saat terburuk—saat ingin mengakhiri hidupnya—ia bertemu seorang gadis dengan wajah persis dirinya.
Keila, saudari kembar yang tak pernah ia tahu.
Satu lompat, satu menyelamatkan.
Keduanya tenggelam... dan dunia mereka tertukar.
Kini Keira menjalani hidup Keila di desa—dan bertemu pria dingin yang menyimpan luka masa lalu.
Sementara Keila menggantikan Keira, dan tanpa sadar jatuh cinta pada pria ‘liar’ yang ternyata sedang menghancurkan suami Keira dari dalam.
Dua saudara. Dua cinta.
Satu rahasia keluarga yang bisa menghancurkan semuanya.
📖 Update Setiap Hari Pukul 20.00 WIB
Cerita ini akan terus berlanjut setiap malam, membawa kalian masuk lebih dalam ke dalam dunia Keira dan Kayla rahasia-rahasia yang belum terungkap.
Jangan lewatkan setiap babnya.
Temani perjalanan Keira, dan Kayla yaa!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23.Sahabat Keira
“I-iya, Pak. Betul. Saya lulusan dari sana. Kenapa, Pak? Apa ada yang salah?” Suaranya terdengar nyaris bergetar meski ia berusaha keras menahannya.
Leo terdiam sejenak, menimbang. Tatapannya masih menusuk, tapi tidak lagi pada Vina—melainkan pada pikirannya sendiri yang sibuk menggali masa lalu. Ia menarik napas dalam, lalu segera menggeleng tipis.
“Tidak. Bukan apa-apa.”
Nada suaranya berubah datar kembali, tapi ketegangan sesaat tadi tidak luput dari perhatian Vina.
“Baiklah. Kau bisa segera mulai bekerja,” ucapnya singkat sambil menutup kembali berkas CV itu.
Vina menunduk, mengucapkan terima kasih dengan senyum terjaga. Namun saat berbalik, tangannya menggenggam erat map yang ia bawa—kuku jarinya menekan kertas di dalamnya. Hatinya berdenyut keras.
"Nyaris aja rahasia gue kebongkar…"
$$$$$
Setelah tiga hari Keira mengurung diri di kamar, Aldi akhirnya memutuskan untuk menghiburnya. Ia menggandeng Keira, menutup mata keira dengan kedua tangan, membiarkannya berjalan pelan.
“Jangan ngintip, bentar lagi sampai,” bisik Aldi sambil tersenyum.
Ketika akhirnya matanya terbuka, Keira tertegun.
“Mas… ini indah banget…” suaranya nyaris tak terdengar.
Di hadapannya berdiri sebuah rumah pohon sederhana namun hangat. Danau kecil di bawahnya memantulkan langit biru pucat, dedaunan berjatuhan ditiup angin, sementara gemericik air menenangkan hati.
“Dari kecil aku pengen banget punya rumah pohon. Pengen ngerasain duduk di atas, lihat pemandangan dari ketinggian…” ucap Keira, matanya berbinar seperti anak kecil.
Aldi hanya terdiam menatapnya. Ia tak menyangka, hal sesederhana ini mampu membuat Keira begitu bahagia.
Keira segera memanjat tangga, penuh semangat. “Cepetan, Mas! Bagus banget dari atas!”
Aldi terkekeh kecil lalu menyusul.
Di atas rumah pohon, mereka duduk berdampingan, memandangi danau yang tenang. Langit mulai berubah jingga, menandakan senja akan turun.
“Ini pertama kalinya aku lihat pemandangan seindah ini,” ucap Keira lirih. “Pertama kalinya juga aku duduk di rumah pohon. Biasanya cuma bisa lihat di TV.”
Aldi menoleh, alisnya terangkat. “Bukannya orang tua kamu kaya?”
Keira tertawa hambar. “Iya. Tapi mereka nggak pernah peduli sama keinginanku.”
“Maksudnya?”
Keira menarik napas dalam. “Aku punya adik perempuan, delapan tahun di bawahku. Mama Papa selalu nurutin semua keinginannya. Aku? Harus ngalah terus. Aku bisa dapat nilai sempurna, nggak ada yang peduli. Tapi kalau adikku cuma menang lomba mewarnai, rumah langsung penuh pesta.”
Ia tersenyum getir. “Aku nggak benci dia, Mas. Aku sayang. Tapi aku capek… capek merasa nggak pernah dilihat, nggak dianggap penting.”
Aldi hanya bisa menatapnya, hatinya remuk.
“Di sini beda,” lanjut Keira, suaranya bergetar. “Aku dapat perhatian. Dari Bapak Mahendra, dari Mas Aldi, dari orang-orang yang bahkan nggak tahu aku siapa. Mereka lihat aku… sebagai manusia.”
Sejenak, hanya angin yang menjawab.
“Kamu nggak punya teman?” tanya Aldi pelan.
Keira menunduk. “Dulu… di SMA aku punya satu sahabat. Namanya Haruna.”
Matanya menerawang jauh, suaranya merendah, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. Dan seketika, ingatan itu menyeretnya kembali.
FLASHBACK
“Runa, kita nggak bisa diem aja! Aku bakal laporin Vina ke guru BP. Biar dia dihukum, biar kita nggak dibully lagi!” suara Keira bergetar menahan emosi.
Haruna buru-buru menggenggam tangannya. “Jangan, Ra… tolong jangan.” Matanya basah, wajahnya pucat.
Keira terdiam, menelaah ekspresi sahabatnya.
“Dia punya video aku, Ra,” suara Haruna pecah.
“Video apa?” Keira tercengang.
Air mata Haruna jatuh deras. “Video waktu aku ditelanjangi paksa sama Vina di toilet. Sebelum kamu nolongin aku. Kalau kamu laporin dia, video itu bakal disebar.”
Tubuh Keira merinding. “Runa…”
“Aku nggak sanggup kalau itu terjadi. Semua prestasi aku, pandangan orang-orang… hidup aku bakal hancur.” Haruna terisak, bahunya bergetar. “Sore ini, dia nyuruh aku ke rooftop. Kalau nggak, videonya disebar.”
Keira menggenggam erat bahunya. “Aku ikut, Runa. Kita hadapi sama-sama. Itu gunanya sahabat, kan?”
Haruna menggeleng keras. “Nggak! Aku nggak mau kamu ikut dibully gara-gara aku.”
“Aku nggak peduli. Aku bakal temenin kamu. Aku janji.”
Sore itu, angin di rooftop berembus kencang. Keira bersembunyi di balik dinding, jantungnya berdetak tak karuan. Di depannya, Haruna dipaksa berlutut, rambutnya dijambak, dua orang teman Vina menahannya. Vina dengan angkuh mengangkat ponselnya, cahaya sore memantul di layar yang menampilkan video terlarang itu.
“Balikin… jangan!” jerit Haruna, suaranya parau.
Keira tak tahan lagi. Dengan nekat, ia menerjang, berhasil merampas ponsel dari tangan Vina.
“Berhenti! Balikin!” teriak Vina, wajahnya merah padam.
Keira berlari, napasnya terengah, Haruna berusaha melepaskan diri. Dorongan, teriakan, jambakan—semua bercampur kacau. Angin senja membawa jerit panik itu ke udara.
Lalu, dalam satu gerakan kasar, Vina mendorong Haruna terlalu keras. Tubuh Haruna terseret, tumitnya kehilangan pijakan.
“RUNAAA!!!” jerit Keira, matanya membesar saat sahabatnya terhempas dari tepi rooftop. Dunia seolah berhenti. Hanya suara angin dan detak jantung yang tersisa… sebelum Haruna menghilang dari pandangan.
Air mata Keira tumpah deras saat kesadarannya kembali ke masa kini. Tangannya bergetar, suaranya parau.
“Dia meninggal, Mas… gara-gara aku.”
Aldi mengepalkan jemarinya di pangkuan, rahangnya mengeras menahan emosi.
“Aku bahkan nggak bisa ungkap kebenaran. Semua orang percaya Haruna bunuh diri, karena aku takut Vina sebarin video itu. Sampai sekarang aku terus dihantui rasa bersalah itu.”
Tangisnya semakin keras. “Aku jahat banget, Mas… aku sahabat yang paling buruk.”
Aldi segera meraih tangannya, menggenggam erat seolah ingin menyalurkan kekuatan. “Kei… kamu nggak salah. Kamu cuma berusaha melindungi apa yang Haruna sendiri minta untuk kamu lindungi di saat terakhirnya.”
Ia menatap Keira dalam-dalam. “Jangan siksa diri kamu terus. Haruna nggak akan pernah nyalahin kamu.”
Bahunya yang kokoh sedikit merunduk, suaranya menghangat. “Dan tenang… aku nggak bakal biarin kamu sendiri lagi. Kita hadapi semua ini bareng-bareng. Aku, Bapak Mahendra, semua orang di sini—kita ada buat kamu.”
Keira terisak, tapi senyum tipis akhirnya muncul di balik air matanya. “Aku tahu… Di sini aku merasa dicintai, walau harus berpura-pura jadi Kayla. Setidaknya… aku bisa bernapas.”
Ia menatap langit senja yang berwarna jingga, suaranya lirih penuh kerinduan.
“Karena itu aku pengen kebahagiaan ini bertahan lebih lama. Aku pengen tinggal di sini. Di tempat di mana aku benar-benar dilihat… meskipun bukan di kehidupan yang seharusnya.”
Aldi menoleh, sorot matanya tajam dan penuh keteguhan. Suaranya terdengar berat, setiap kata seakan mengetuk hati Keira.
“Kei… kamu nggak perlu berpura-pura di sini. Kamu bisa jadi diri kamu sendiri. Aku tahu siapa kamu sebenarnya. Suami kamu—Leonard Hadiwijaya—dia nyiksa kamu di sana, kan?”
Keira langsung mendongak. Mata membelalak, napas tercekat, jantungnya berdetak keras.
$$$$$$
Jam istirahat datang. Kantin kantor dipenuhi aroma sop hangat, bunyi sendok garpu beradu, dan riuh obrolan pegawai. Kursi-kursi hampir penuh, tapi di sudut paling ujung, Kayla duduk sendirian. Sendoknya hanya bergerak pelan, mengaduk nasi tanpa benar-benar berniat menyuap. Sesekali pandangannya melayang ke pintu masuk, seolah menunggu seseorang—atau sekadar berharap ada yang menghampiri.
Namun yang datang hanya pegawai lain yang lewat tanpa menoleh.
Dari meja lain, Vina memperhatikan diam-diam. Ada rasa tak nyaman yang menekan dadanya—percampuran antara kecewa, marah, dan getir. Jemarinya menekan nampan, bibir bawahnya tergigit. Sakit rasanya melihat Kayla duduk di sana dengan tatapan kosong, seolah-olah ia benar-benar orang asing. Padahal, mereka pernah…
Vina menarik napas, mencoba menenangkan diri. Kursinya bergeser, bunyi berderit halus terdengar. Dengan langkah yang tampak santai, ia mendekat.
“Hei…” sapanya pelan ketika sampai di depan meja.
Kayla-yang semua orang tahu dia adalah Keira mendongak. Matanya sempat kosong, seperti berusaha mengenali. Lalu bibirnya melengkung tipis. “Hai,” jawabnya singkat.
Tanpa banyak bicara, Vina menarik kursi di sebelahnya dan duduk. Nampannya ia letakkan perlahan di meja. Senyum tetap melekat di wajahnya, tapi sorot matanya mulai menajam.
“Lo sekretaris barunya Pak Leo, ya?” tanya Kayla. Nadanya ringan, seperti basa-basi.
Senyum Vina menurun. “Kei… serius, lo nggak inget gue?”
Kayla mengernyit. “Maksud lo? Kita… kenal?”
“Gue temen SMA lo,” ucap Vina, suaranya agak bergetar. “Sahabat, malah. Masa lo lupa?”
“Oh…” Kayla menunduk, jemarinya meremas sendok. “Maaf, Vin. Gue pernah kecelakaan… dan gue kehilangan sebagian ingatan.”
Mata Vina melebar. “Lo… amnesia?”
“Iya,” jawab Kayla lirih. “Jadi kalau gue keliatan cuek atau lupa orang, itu bukan sengaja.”
Hening sejenak. Vina menatapnya lama, lalu perlahan sebuah senyum kembali muncul. Bedanya, senyum itu tak lagi murni. Ada sesuatu yang licin tersembunyi di baliknya. Amnesia… jadi itu alasannya. Dan justru ini… kesempatan.
Ia meraih tangan Kayla di atas meja, hangat namun menekan. “Nggak apa-apa, Kei. Kalau lo lupa, gue yang bakal bantu lo inget lagi. Kita sahabatan dulu. Deket banget.”
Mata Kayla berbinar, senyumnya mengembang kecil. “Serius? Jadi gue beneran punya sahabat?”
Vina mengangguk mantap. “Iya. Lo nggak sendirian, Kei. Gue ada.”
Seulas kelegaan muncul di wajah Kayla. “Syukurlah… rasanya belakangan ini hidup gue sepi banget.”
Tapi senyum itu memudar saat Vina mencondongkan tubuh, tatapannya menelusuri seragam Kayla. “Tapi… kenapa lo pakai seragam OB? Bukannya lo istri Pak Leo?”
Kayla menatap seragamnya sebentar, lalu tertawa hambar. “Ini… hukuman. Gue pernah melanggar janji sama Leo. Jadi ya, beginilah.”
“Hukuman?” alis Vina terangkat, suaranya terdengar heran, meski dalam hati ia menyimpan tanya yang lebih dalam. Janji kayak apa sampai istri sendiri dijadiin OB? Pertanyaan itu belum saatnya ia lontarkan.
Ia hanya terkekeh kecil. “Unik juga rumah tangga kalian. Kayak Leo sengaja bikin lo tetap deket sama dia.”
Kayla menunduk, senyumnya getir. “Unik? Nggak ada unik-uniknya. Rasanya lebih kayak… kurungan.”
Vina menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh. Pelan-pelan. Jangan sampai dia curiga.
Dari sudut ruangan, sepasang mata mengawasi dalam diam. Sosok itu duduk sendirian, pandangannya tajam menelusuri setiap gerak mereka. Rahangnya menegang, jemari mengetuk meja dengan ritme tak sabar.
“Kenapa dia bisa di sini… dan sejak kapan mereka terlihat begitu dekat?” bisikannya nyaris tak terdengar, seolah hanya ditelan oleh kebisingan sekitar.
.
.
.
Bersambung.