follow IG Othor @ersa_eysresa
Di usia 30, Aruni dicap "perawan tua" di desanya, karena belum menemukan tambatan hati yang tepat. Terjebak dalam tekanan keluarga, ia akhirnya menerima perjodohan dengan Ahmad, seorang petani berusia 35 tahun.
Namun, harapan pernikahan itu kandas di tengah jalan karena penolakan calon ibu mertua Aruni setelah mengetahui usia Aruni. Dia khawatir akan momongan.
Patah hati, Aruni membuatnya menenangkan diri ke rumah tantenya di Jakarta. Di kereta, takdir mempertemukannya dengan seorang pria asing yang sama sekali tidak dia kenal.
Apakah yang terjadi selanjunya?
Baca kisah ini sampai selesai ya untuk tau perjalanan kisah Aruni menemukan jodohnya.
Checkidot.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Senja merangkak naik, menyisakan semburat jingga di ufuk barat. Aruni dan Ahmad masih duduk di teras, kehangatan momen lamaran tadi perlahan digantikan oleh ketegangan yang tiba-tiba muncul.
Mata Ahmad menatap Aruni dengan sorot yang sulit diartikan, ada keraguan yang terpancar kuat di sana.
"Apa itu, Mas?" desak Aruni, cemas. Firasatnya mengatakan, ini bukan hal sepele atau mungkin hal besar yang akan terungkap.
Ahmad menghela napas panjang, seolah sedang mengumpulkan kekuatan. "Mbak Aruni... saya harus jujur. Ada sesuatu yang belum pernah saya ceritakan pada siapapun, bahkan pada Ibu."
Ia menunduk sejenak, mengusap wajahnya, lalu kembali menatap Aruni. "Ini tentang kebun dan sawah itu... tentang tanah yang saya garap saat ini."
Aruni menanti apa yang ingin di katakan oleh Ahmad, jantungnya berdegup tak beraturan.
"Kebun itu... bukan sepenuhnya milik saya, Mbak Aruni," kata Ahmad akhirnya, suaranya nyaris berbisik. "Itu adalah tanah warisan dari almarhum Kakek. Tapi bukan di wariskan langsung kepada saya. Itu semua milik paman saya, adik almarhum Ayah. Saya hanya diberi kepercayaan untuk mengelolanya selama ini."
Aruni terhenyak. "Jadi, Mas hanya pengelola? atau yang menggarap sawah itu? bukan pemilik?"
Ahmad mengangguk. "Betul. saya yang merawatnya, dan sebagian kecil dari hasilnya saya gunakan untuk kebutuhan sehari-hari, sisanya saya setorkan pada paman saya. Beliau tinggal di kota, dan tidak ada yang bisa mengurusnya di sini." Ia berhenti sejenak, mengamati reaksi Aruni.
"Saya tidak punya tanah sendiri, Mbak. Bahkan rumah yang aku tinggali pun... warisan dari orang tua, meskipun kecil dan sederhana."
Ada kelegaan tipis di hati Aruni karena rahasia itu bukan sesuatu yang lebih buruk, namun ada pula kekecewaan dan kebingungan dalam dirinya. Selama ini, Ahmad selalu tampak begitu mapan dengan kebunnya. Dia selalu membanggakan kebun dan sawah yang dia garap. Dan Aruni selalu membayangkan Ahmad adalah seorang pemilik lahan yang sukses.
"Kenapa tidak bilang dari awal, Mas?" tanya Aruni, nada suaranya sedikit kecewa.
"Saya takut, Mbak Aruni," jawab Ahmad jujur, dia menatap Aruni dengan tatapan menyesal. "Saya takut Mbak Aruni tidak mau menerima saya jika tahu saya hanya seorang pengelola atau pekerja, bukan pemilik. Saya takut Mbak Aruni akan melihat saya tidak pantas jika bersanding dengan mbak Aruni." Ahmad menunduk lagi, merasa sangat bersalah dengan apa kejujuran yang sudah dia katakan.
"Saya tahu ini salah, Mbak. Saya minta maaf. Saya benar-benar minta maaf. "
Aruni menatap Ahmad yang tampak begitu rapuh di hadapannya. Keraguan itu sedikit banyak mengikis keyakinannya tentang calon suaminya itu. Ia seorang guru SD dengan penghasilan tetap, meskipun tidak besar. Sedangkan Ahmad... hanya seorang pengelola kebun.
Bagaimana masa depan mereka nanti?
Bagaimana dengan keinginan orang tuanya yang menginginkan Aruni hidup tenang dan berkecukupan?
Tapi apa yang mereka harapkan, apa yang mereka banggakan dari seorang tiba-tiba pupus begitu saja.
Hening menyelimuti mereka. Sore mulai beranjak malam, Suara jangkrik mulai terdengar bersahutan, seolah meratapi keheningan yang tiba-tiba canggung. Aruni mencoba mencerna semua informasi yang dia dapatkan hari ini dari mulit Ahmad sendiri.
Bukan masalah Ahmad tidak punya tanah sendiri, tapi mengapa ia tidak jujur sejak awal?
Apakah ini berarti ada hal lain yang mungkin masih ia sembunyikan?
Sebaiknya Aruni mencari tau lebih dalam lagi.
"Mas Ahmad," kata Aruni perlahan, berusaha menenangkan dirinya.
"Aku tidak mempermasalahkan pekerjaan Mas. Tapi...yang membuat aku kecewa adalah, kenapa Mas Ahmad tidak jujur sejak awal? Kejujuran itu penting dalam sebuah hubungan, Mas. Jangan memulai sebuah hubungan dengan kebohongan, karena yang tersisa nantinya hanya kekecewaan."
"Saya tahu, Mbak. Saya sungguh menyesal," Ahmad mengangkat wajahnya, tatapannya memohon pengertian dari wanita yang baru saja bertunangan dengannya hari ini.
"Saya hanya ingin Mbak Aruni melihat saya sebagai sosok yang bisa diandalkan, yang mapan. Saya terlalu takut kehilangan Mbak. Karena selama inj keluarga kami hanya dipandang sebelah mata."
Aruni menarik napas panjang. Ia memang kecewa, namun melihat ketulusan dan penyesalan di mata Ahmad, hatinya sedikit melunak.
"Lalu, setelah kita menikah nanti... bagaimana? Kebutuhan kita tidak hanya sebatas perut kenyang , tapi pasti ada kebutuhan lain yang harus kita penuhi."
Mentari seolah bertanya, apa yang akan diberikan Ahmad kepadanya setelah mereka menikah, karena dia juga tidak terjerat salam masalah ekonomi setelah mereka menikah nanti.
"Saya akan tetap mengelola kebun ini, Mbak. Dan saya juga sedang mencoba usaha lain, beternak lele di kolam kecil di belakang rumah. Itu murni hasil jerih payah saya sendiri," Ahmad menjelaskan, tampak bersemangat. "Saya tidak akan berhenti berusaha. Saya ingin punya aset sendiri, Mbak. Demi masa depan kita."
Aruni mendengarkan dengan saksama. Ada harapan di mata Ahmad, sebuah janji untuk berusaha lebih baik. Aruni tahu, menikah bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang kesiapan menghadapi kenyataan. Ahmad memang tidak sekaya yang ia bayangkan, tapi semangat dan kejujurannya (meskipun terlambat) adalah modal berharga.
"Mbak Aruni... saya tahu ini berat. Tapi saya mohon, jangan batalkan semuanya, Jangan batalkan pernikahan kita. " pinta Ahmad, menggenggam tangan Aruni lebih erat. "Berikan saya kesempatan. Saya janji tidak akan mengecewakan Mbak Aruni."
Aruni memejamkan mata sejenak. Pikiran tentang bagaimana jika ibu Ahmad tau tentang kenyataan ini dan apa yang mungkin terjadi jika tahu Ahmad bukan pemilik kebun, tentang bisik-bisik tetangga nantinya, dan tentang masa depan yang tidak secerah bayangan, berkelebat di benaknya.
Namun, di sisi lain, ia melihat ketulusan Ahmad, janji untuk berjuang bersama. Dan yang paling penting adalah djs sudah merasakan kenyamanan dan kebahagiaan di dekat pria ini.
"Saya butuh waktu, Mas," kata Aruni, suaranya serak. "Untuk memikirkan ini–."
Ahmad mengangguk lesu. "Saya mengerti, Mbak. Saya akan menunggu. Tapi tolong, jangan pergi, jangan tinggalkan saya. Saya akan melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhan kita setelah menikah nanti..."
"Kalau boleh saya bertanya satu hal lagi? " ujar Aruni.
"Iya silahkan tanyakan saja apa yang mbak Aruni ingin tanyakan."
"Katakan padaku mas, apakah ada rahasia lain yang masih kamu sembunyikan dariku? Jangan sampai semua akan berakibat sangat fatal setelah pernikahan kita. " Akhirnya Aruni bertanya tentang apa yang dia khawatirkan sejak tadi, karena dia curiga ada yang masih Ahmad sembunyikan darinya.
"Nggak ada, mbak. Aku tidak memiliki rahasia apapun lagi selain itu.
"Baiklah kalau begitu, Ini sudah malam mas. Bukan maksud aku mengusir atau apa, tapi aku harap kamu mengerti. Dan beri aku waktu untuk berfikir.
Aruni bangkit dari duduknya mengantarkan Ahmad menuju sepeda motornya yang di parkir di halaman rumahnya.
Hatinya terombang-ambing di antara kecewa dan harapan yang membentang di depan matanya. Informasi tentang kebun itu bagai bayangan yang tiba-tiba menutupi cahaya kebahagiaan mereka.
Apakah ia akan membatalkan pernikahan demi kenyamanan semu, ataukah ia akan tetap melangkah maju, menerima Ahmad dengan segala kekurangan dan rahasianya, demi cinta yang baru saja bersemi?