Ditolak Ibu Pria Miskin, Dinikahi Pria Asing

Ditolak Ibu Pria Miskin, Dinikahi Pria Asing

Bab 1

Usia Aruni sudah menginjak kepala tiga. Angka yang bagi sebagian besar wanita seusianya telah dihiasi cincin di jari manis dan celotehan riang anak-anak. Namun, bagi Aruni, angka itu hanyalah penanda bertambahnya tahun, diiringi bisik-bisik tetangga dan tatapan penuh tanya dari kerabat.

"Kapan nyusul?"

"Kok belum ada gandengan juga, Ni?"

"Teman-teman kamu udah pada gendong anak, kamu masih betah sendiri aja. Apa yang kamu tunggu? Nunggu pangeran dari Arab? "

"Jangan terlalu pilih-pilih, nanti keburu layu lho."

Kalimat-kalimat itu bagai kaset rusak yang terus berputar di telinganya, terutama saat acara kumpul keluarga atau arisan ibu-ibu kompleks. Mereka selalu membicarakan Aruni yang masih sendiri.

Aruni menghela napas berat saat mengingat ucapan-ucapan orang yang seolah menghakiminya untuk segera menikah, sambil membenarkan letak hijab instan berwarna cokelat di kepalanya. Sebagai seorang guru SD yang menjadi contoh anak muridnya, penampilannya harus selalu sopan dan tertutup.

Ia memandangi pantulan dirinya di cermin. Wajahnya yang ayu dengan mata teduh itu tampak sedikit murung. Seperti ada beban berat dipundaknya yang tak kunjung terangkat.

Bukan ia tak ingin menikah. Justru jauh di lubuk hatinya, ia mendambakan seorang pendamping, seseorang yang bisa berbagi tawa dan duka. Hanya saja, hatinya belum juga terpaut pada siapapun. Pria-pria yang dikenalnya terasa hambar, tak mampu membangkitkan sebuah getar yang ia impikan.

"Aruni, apa sudah siap?" Suara lembut ibunya dari luar kamar membuyarkan lamunannya.

"Iya, Bu. Sebentar," jawab Aruni sambil meraih tas kecilnya dan segera keluar dari kamar menemui kedua orang tuanya.

Malam ini, kedua orang tuanya mengajaknya makan malam di rumah makan sederhana dekat kompleks. Aruni sebenarnya enggan ikut dengan mereka, firasatnya mengatakan ada hal penting yang ingin dibicarakan mereka. Dan firasatnya itu jarang meleset.

Sepanjang perjalanan, obrolan di dalam mobil terasa canggung. Ayahnya, Pak Burhan, yang biasanya selalu bercerita tentang aktivitas di kantornya, malam ini lebih banyak diam. Ibunya, Bu Aminah, sesekali melirik Aruni dengan tatapan penuh harap.

Sesampainya di rumah makan, mereka memilih meja lesehan di sudut yang agak sepi. Aroma masakan Sunda yang menggugah selera tak mampu mengusir kegelisahan yang mencengkeram hati Aruni. Sepertinya akan ada badai setelah ketenangan ini.

Setelah memesan makanan dan pelayan pergi, Pak Burhan berdeham pelan.

"Aruni, Nak," katanya memulai, suaranya terdengar lebih serius dari biasanya.

Aruni menatap ayahnya, jantungnya berdebar tak karuan. "Ada apa, Ayah?"

Bu Aminah menggenggam tangan Aruni di atas meja. "Kamu tau, kami sayang sekali sama kamu, Nak. Kami hanya ingin melihat kamu bahagia. Tapi..." Ibunya menarik napas sejenak, "Kami khawatir melihat kamu terus sendiri seperti ini. Apakah kamu masih belum memiliki pria yang bisa menggetarkan hatimu? "

Aruni menggeleng dan mencoba tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja kok, Bu. Aku menikmati kesendirianku, pekerjaanku, punya banyak teman–"

"Pekerjaan tidak bisa menggantikan kehadiran seorang suami, Nak, Kamu akan kesepian tanpa seorang pasangan." sela Pak Burhan dengan nada tegas namun penuh kasih sayang.

"Teman juga akan punya kehidupan dan keluarga masing-masing. Kami ingin ada seseorang yang bisa menjaga kamu, menemani kamu di hari tuamu nanti. Kami juga ingin menimang cucu seperti orang tua lainnya."

Aruni terdiam. Ia tahu betul maksud kedua orang tuanya. Mereka hanya ingin yang terbaik untuknya. Namun, menikah hanya karena tekanan, omongan orang, tanpa cinta, itu terasa seperti mimpi buruk baginya. Apakah itu akan berlangsung lama atau hanya sesaat dan pergi begitu saja.

"Kami sudah memikirkan ini matang-matang, Aruni," lanjut Bu Aminah dengan suara lembut namun tak terbantahkan.

"Ayah punya seorang teman lama di desa sebelah. Anaknya seusia kamu, namanya Ahmad. Dia juga belum menikah diusianya yang sudah matang. Entah kenapa dia tidak mau menikah. Saat kami tanya alasannya ternyata alasannya sama denganmu, karena masih belum ada yang cocok." ujar Pak Burhan dengan semangat saat menceritakan sosok pria itu.

"Dia seorang pria baik, pekerja keras, dan punya sopan santun dan adab yang baik. Dia seorang petani, Nak. Pekerjaannya sehari-hari adalah di sawah, tapi dia punya sawah dan kebun sendiri dan orangnya sangat bertanggung jawab. Kami sudah bertemu dengannya beberapa kali, dan kami rasa dia cocok untuk kamu. Orangnya sabar dan dewasa."

Aruni terkejut. "Ini artinya kalian ingin menjodohkan aku?" tanyanya lirih, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.

"Bukan dijodohkan paksa, Nak. Kami hanya ingin mengenalkan kalian. Kalian bisa saling mengenal dulu. Kalau memang tidak ada kecocokan, ya tidak apa-apa, kalian bisa berpisah. Dan jika kalian cocok, kalian bisa lanjut ke jenjang yang lebih." Ujar Pak Burhan, mencoba menenangkan anaknya agar tidak panik dengan apa yang dia sampaikan. Namun, nada bicaranya menyiratkan harapan yang besar.

"Tapi, Ayah, Ibu... aku bahkan belum pernah bertemu dengannya. Bagaimana bisa aku..." Aruni berusaha menolak dengan halus tapi ucapannya langsung dipotong oleh ibunya

"Tunggu, Ibu punya foto anak Pak Bakri, Kamu bisa melihatnya. " Bu Aminah mengeluarkan sebuah foto sedikit usang dari dalam dompetnya. Foto seorang pria sederhana dengan senyum tulus di wajahnya.

"Ini Ahmad, Nak. Kami harap kamu mau bertemu dulu dengannya, demi kami nak. Dia pria baik sederhana dan nggak neko-neko."

Aruni menerima foto itu dengan tangan gemetar. Ia menatap wajah di foto itu. Ada ketenangan di sana, matanya sangat teduh, wajahnya juga tampan khas orang Indonesia. Namun dibalik itu Aruni bisa melihat sebuah misteri yang belum terungkap. Entah apa itu, Aruni masih belum tau.

"Baiklah," kata Aruni akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku akan bertemu dengannya, dan akan mencoba mengenalnya lebih dekat. Tapi sesuai janji , kalau aku nggak cocok, aku akan mundur. Ayah dan ibu tidak bisa mencegahku lagi. "

Dengan sedikit terpaksa dia akan mencoba menerima perjodohan yang diatur oleh kedua orang tuanya. Mungkin saja dia bisa bertemu dengan jodohnya melalui perjodohan ini.

Raut wajah kedua orang tuanya langsung berubah cerah. Mereka tersenyum lega, seolah beban berat baru saja terangkat dari pundak mereka. Namun, di dalam hati Aruni, sebuah pertanyaan besar mulai tumbuh.

Siapakah Ahmad sebenarnya? Mungkinkah kebahagiaan yang dicari selama ini bersembunyi di balik kesederhanaan seorang petani, ataukah ini hanya awal dari sebuah babak baru dalam hidupnya yang penuh dengan ketidakpastian?

Saat menatap foto pria asing itu, Aruni merasakan sebuah benih harapan sekaligus kecemasan tumbuh di hatinya. Pertemuan yang akan datang terasa seperti sebuah persimpangan jalan yang akan menentukan arah hidupnya.

Akankah ia menemukan kebahagiaan dalam pilihan orang tuanya, atau justru menemukan kekecewaan yang lebih dalam?

Terpopuler

Comments

Mefiani

Mefiani

cerita baru nich . yg ini kyak e cerita romantis..seperti yg sudah2...semangat berkarya...😘💪

2025-06-03

1

Soraya

Soraya

dh mampir thor lanjut

2025-06-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!