Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .
Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33.Bayangan yang Menyeret Terang
Menteng, 03.12 WIB. Hujan rintik‑rintik masih menitik dari lis atap ketika Aurora terbangun. Angin mengaduk tirai tipis dan memukul kaca jendela dengan suara rintih. Di balik kegelapan halaman, lampu taman membuat embun berkilau, dan di sana—pucat di batu setapak—sebuah amplop tebal menunggu seperti ancaman yang sengaja dibiarkan malam.
Aurora turun perlahan agar tidak membangunkan Tristan. Jubah tidurnya menyeret di lantai marmer, menyapu dingin yang merambat dari telapak kaki ke tengkuk. Saat ia menjejak rumput, air hujan merambat ke mata kakinya. Amplop dingin itu menyembunyikan segel lilin merah—huruf A melilit C. Inisial Clarissa Adhiwarna, dibius keangkuhan.
Lilinnya rapuh; butir retak terdengar ketika Aurora memutus segel. Di dalamnya dua lembar kertas bergetar: fotokopi transfer dana yayasan ke rekening Clarissa, potret ayah kandung Tristan di atas tandu, mata setengah terbuka—hidup—meski laporan polisi menulis “meninggal di tempat”. Di antara kedua lembar itu, secarik krim berbau parfum menyengat:
“Cahaya yang terlalu terang hanya menyilaukan. Berhentilah, atau satu demi satu saksi akan ‘terpleset’ seperti dulu.”
Kata ‘terpleset’ disorot tinta merah. Hawa dingin bulan basah melesak ke tulang Aurora. Jantungnya berseru—meminta segera berbagi beban itu.
$$$$
Tristan menemukan Aurora di ruang baca, lampu temaram menyala sendirian. Jemari perempuan itu bergetar di tepi foto. Tristan duduk, meraih bahunya. Mata Aurora basah.
“Tris… ayahmu—dia tidak mati seketika.”
Tristan membaca foto, lalu transfer, lalu catatan ancaman. Tangannya mengepal sampai buku‑bukunya putih. Napasnya terpecah seperti kaca.
“Aku ingat hari itu,” suaranya serak, “kami baru saja melewati Pasar Cisarua. Roda tergelincir—rem kosong. Ayah membanting setir, tapi pagar kayu jalan gunung tidak cukup kuat. Mobil menghantam batu miring, lalu jatuh.”
Ia menatap foto tandu: “Aku ingat sirene. Paramedis membawa Ayah naik. Ibu menjerit, tapi suara sirene menelan segalanya. Seminggu kemudian polisi berkata jasadnya hancur di dasar jurang kebun teh… tak bisa disemayamkan.”
Aurora meremas jemarinya. “Foto ini diambil beberapa jam setelah kecelakaan, sebelum Ayah—” ia berhenti, menahan kata.
Tristan mengusap wajah, air mata menetes. “Ibu diam. Ia tahu. Tapi ia sendiri, dan Clarissa muncul dua bulan setelahnya, menikah dengan Ayah tiri, mengambil kursi direksi yayasan. Sekarang jelas.”
Aurora menunjuk foto transfer. “Gelombang dana 10 miliar rupiah pindah ke rekening Clarissa enam bulan setelah insiden. Uang yayasan. Motif, sarana, kesempatan—semuanya mengarah.”
Tristan menarik napas, menguat. “Kita bawa ke Dira. Kita paksa polisi buka kembali penyidikan.”
$$$$
Fajar memecah gelap saat ketukan berat berdentum. Dua pria bersetelan abu masuk, menunjukkan surat bermeterai.
“Permohonan pembekuan aset,” kata yang berambut tipis, suaranya datar. “Semua properti atas nama almarhumah Dira Maresya Ramadhini diproses melalui Adhiwarna Holdings sampai status kepemilikan sah.”
Aurora memeriksa; Clarissa menandatangani sebagai wali ahli waris. “Ini pemalsuan.”
Pengacara balas menatap: “Silakan dibuktikan di pengadilan. Mulai hari ini, setiap perbaikan rumah, vila, atau pembiayaan yayasan harus izin kami.”
Tristan menggertakkan gigi. “Keluar dari rumah ibu saya sebelum saya seret dengan tangan.”
Pengacara mundur, tapi seulas senyum tipis tertinggal di udara—sombong, yakin rencana berjalan sesuai garis. Begitu pintu tertutup, Tristan meninju tembok. Debu tua berjatuhan.
Aurora: “Ini perang mental. Mereka ingin kita kehabisan napas sebelum mulai.”
Tristan: “Maka kita belajar bernapas dalam air.”
$$$$$
Cawang, pagi. Kalea beringsut dari mimpi buruk, keringat dingin menempel di pelipis. Di layar ponsel, email tanpa pengirim: “Rahayu masih menunggu.” Rahayu—nama yang hanya ia dan panti kenal. Video terlampir memutar ruangan konferensi mewah. Clarissa berdiri, berbisik kepada pengacara asing:
“Jika Rahayu bicara, akhiri. Gadis panti itu? Pastikan diam.”
Hati Kalea bergetar. Arya—yang baru selesai panggilan bank soal pencucian dana yayasan—menyimak. Rahangnya mengeras.
“Rahayu saksi hidup sambungan dokumen tanah,” kata Kalea, suaranya retak. “Dia perawat panti yang menyaksikan Clarissa memaksa Ibu Maresya menandatangani pelepasan aset.”
Arya menggenggam bahunya. “Kita ke sana. Sekarang.”
$$$$
Senja menggeser langit. Rumah Menteng menjadi ruang rapat darurat. Di meja makan: peta aliran dana, kaset, foto tandu, amplop ancaman. Dira M. Suryani muncul di layar laptop.
“Kita urus perlindungan saksi Rahayu lewat LPSK,” kata Dira. “Saya serahkan laporan awal sabotase kendaraan ke penyidik Polda. Sementara, gugatan perdata pemalsuan tanda tangan Clarissa kita daftarkan besok pagi.”
Aurora menatap Kalea. “Kami ke Puncak setelah evakuasi Rahayu. Butuh keterangan paramedis.”
Kalea mengepalkan tangan. “Rahayu ibu kami di panti. Aku tidak akan biarkan dia disentuh.”
Tristan: “Hati‑hati. Clarissa tak akan ragu.”
Tiba‑tiba kaca dapur pecah, batu menancap di lantai. Catatannya pendek: “Rahayu sudah terlalu tua menahan terang.” Darah Aurora berlari ke wajah. Tristan berlari ke halaman—gelap kosong, hanya suara mobil menjauh.
$$$$
Tol Jagorawi, malam. Wiper menyeka hujan; lampu tail lamp memerah. Arya menyetir, mata menatap spion. Sedan hitam mengikuti dua ratus meter. Kalea mengetik pesan ke grup: “Dibuntuti. KM‑17.” Ponsel berdering—Dira: “Saya hubungi patroli jalan.”
Arya mempercepat. Sedan mengekor. Kilat menyambar mematung kanopi pinus. Kalea memegang dashboard, jantungnya dentum. Mobil keluar ke rest area kosong—sedan tersendat. Arya memutar balik, keluar jalur alternatif. Kalea lega sesaat, tapi sadar permainan baru mulai.
$$$$
Menteng. Lampu kembali setelah padam singkat, tapi file audit di layar tinggal folder kosong. Pesan merah bertahan: “Kalian menyentuh cahaya. Siap terbakar?” Aurora berdiri di pintu server, liontin matahari di genggaman. Tristan menarik napas pendek.
“Data hilang?!”
“Salinan ada di flash-backup,” bisik Aurora, memutar USB cadangan dari kerah jubah. “Aku menyalinnya sebelum tidur.”
Tristan menatapnya—cahaya kekaguman di gelap malam. “Kau terus menyalakan lampu bahkan saat listrik padam.”
Aurora tersenyum tipis, meski mata basah. “Karena kau bagian dari lampu itu.”
Malam menutup hari dengan gemuruh kembar: hujan memukul genteng, jantung berlomba. Di celah bayangan menebal, empat jiwa bertahan pada satu nyala kecil—warisan cahaya yang menolak padam.
.
.
.
Bersambung.