Edam Bhalendra mempunyai misi— menaklukkan pacar kecil yang di paksa menjadi pacarnya.
"Saya juga ingin menyentuh, Merzi." Katanya kala nona kecil yang menjadi kekasihnya terus menciumi lehernya.
"Ebha tahu jika Merzi tidak suka di sentuh." - Marjeta Ziti Oldrich si punya love language, yaitu : PHYSICAL TOUCH.
Dan itulah misi Ebha, sapaan semua orang padanya.
Misi menggenggam, mengelus, mencium, dan apapun itu yang berhubungan dengan keinginan menyentuh Merzi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gadisin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membuka
Jam makan malam.
Merzi duduk dengan anggun sambil menikmati menu makan malamnya. Gadis itu manis dengan balutan gaun biru muda polos berlengan panjang.
"Bagaimana sekolahmu, Nak?" Nyonya Waiduri Oldrich bertanya sambil mengunyah pelan makanannya.
"Baik, Ibun, berjalan seperti biasa. Bahkan saya mendapat kado lagi tadi."
"Woah, benarkah?"
"Ya, Bun. Tapi saya belum membukanya."
Nyonya Waiduri Oldrich bergumam. Dia meneguk air putih dari gelas. "Oiya, kakakmu bertanya tentang kadonya. Apakah kamu suka?"
Merzi mengangguk lalu mengeluarkan liontin kalung yang dipakainya. "Sangat suka, Ibun. Kakak memberi satu set perhiasan dan Merzi memakai kalungnya."
Nyonya Waiduri Oldrich ikut tersenyum. "Lalu kenapa tidak segera menghubunginya dan mengucapkan terima kasih?"
Mendengar pertanyaan ibunya, Merzi menampilkan wajah kesal. "Tidak mau. Saya masih tak terima karena kak Marech tidak hadir di acara ulang tahun saya."
"Tapi sebelumnya kamu sudah mengiyakan dan mengatakan tak apa asal Marech memberikan hadiah yang mahal." Tuan Oldrich Jay menyambung.
"Ya, Ayah, tentu saja saya mau tak mau harus menyetujui alasan kak Marech itu."
"Jadi ceritanya kamu masih marah dan kesal dengan kakakmu?"
"Ayah benar. Merzi tak akan menghubungi kakak duluan. Tapi Merzi sudah menelpon kakak ipar sore tadi."
"Oh, seperti itu. Kalau begitu ayah akan menyuruh Marech menelpon kamu nanti."
Merzi menggeleng dan mengambil air minum. "Tidak perlu, Ayah. Merzi masih belum ingin berbicara dengan kakak."
"Oho! Ternyata putriku semakin sulit dibujuk setelah berusia tujuh belas tahun." Tuan Oldrich Jay meletakkan sendok lalu menoleh pada sang istri. "Sayangku, menurutmu haruskah aku menyetujui permintaan putri kita malam itu? Tentang memiliki kekasih?"
Merzi meraih tangan ayahnya dan menyela, "Ayah! Tentu saja ayah harus setuju. Kak Marech dan percintaan Merzi adalah dua hal yang berbeda."
Tuan dan nyonya Oldrich melipat bibir melihat sang anak yang menyuarakan protesnya. Sungguh, selama Merzi adalah anak kecil mereka.
"Kenapa bisa jadi dua hal yang berbeda? Bukankah kamu juga mencintai kakakmu?"
"Beda, Ayah! Kak Marech cinta karena hubungan darah, sedangkan Ebha …." Merzi tergagap. Baru saja dia menyebut nama bodyguard-nya didepan ayah dan ibunya.
"Ada apa dengan Ebha?"
"Cinta antara pria dan wanita? Apakah seperti itu, Merzi?"
Kedua orang tuanya menatapnya dengan tatapan menggoda. Gadis itu menunduk menyembunyikan rona merah dibalik pipi putihnya mendengar sang ibu melanjutkan kalimatnya ayahnya.
"Ibuuunn …." Rengek Merzi menghentak pelan kakinya dibawah meja. "Jangan menggoda saya seperti itu, Ayah, Ibun …."
Lalu dua paruh baya itu tergelak. Suasana makan malam terasa hangat dibalik megahnya rumah keluarga Oldrich itu.
Merzi membiarkan sejenak orang tuanya menertawakannya. "Ayah membahas tentang permintaan saya yang kemarin. Itu artinya ayah sudah setuju, bukan?"
Tuan Oldrich mengehentikan tawa dan kembali menoleh pada putrinya. Pria itu masih menyimpan sorot ingin mengisengi sang anak. "Permintaan kamu yang mana, Nak?"
"Ck, Ayaaahh …. Kenapa ayah jadi sama seperti Ibun? Berhentilah menjahili saya."
"Menjahili bagaimana? Ayah kan bertanya. Putri ayah ini begitu banyak pintanya, jadi maklum jika saya lupa-lupa sedikit."
Merzi memberungut, melipat tangan didepan dada. "Ayah hanya melupa-lupakannya saja."
"Baiklah-baiklah. Ayah masih memikirkannya. Tentu harus bertanya juga pada Ebha yang kamu suka, bukan?"
Merzi menahan senyum mendengar sang ayah mengatakan Ebha yang dia suka. Dia mendengarkan kembali ucapan tuan Oldrich Jay.
"Untuk saat ini ayah sedang sibuk dan belum mempunyai waktu luang untuk berbicara empat mata dengan Ebha. Tunggu saja. Karena apapun keputusan ayah, itulah yang terbaik." Kali ini tuan Oldrich Jay berbicara tegas dan serius.
...****************...
Di kamarnya Ebha sedang berkutat didepan cermin menata rambutnya yang legam. Setelah makan malam dengan para pekerja rumah lainnya, lelaki itu membasuh muka dan menggosok gigi dan berakhir merapikan penampilan dibalik cermin yang menempel di lemarinya.
Tujuan Ebha adalah ingin terlihat lebih segar dan wangi ketika menghampiri Merzi nanti setelah nona mudanya itu selesai makan malam bersama keluarga.
Rekor pertama Merzi merajuk seharian dan mendiaminya membuat Ebha bersemangat demi menarik kembali perhatian sang nona.
Ebha melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya.
"Masih ada lima belas menit lagi sebelum nona Merzi selesai makan malam. Sebaiknya aku pergi sekarang saja daripada dia menunggu nanti." Kata Ebha melihat sekali lagi penampilannya. Memperbaiki turtleneck sweaternya dan terakhir menyemprot parfum yang Merzi sukai.
"Selesai."
Melangkah dengan lebar dan pasti, Ebha berjalan dengan pandangan lurus ke depan tak lupa wajahnya yang selalu datar dia tampilkan.
Semenit melangkah lelaki itu telah tiba di tangga yang menghubungkan lantai dua dan tiga. Biasanya tangga ini dilalui pekerja dari halaman kamar-kamar tempat mereka tidur jika ada keperluan di lantai dua atau tiga.
Hingga selang beberapa detik lagi Ebha tiba didepan kamar Merzi. Kakinya yang panjang membuatnya menyingkat langkah dengan cepat.
Lima belas menit yang dihitungnya tadi telah berlalu namun Merzi belum muncul. Jarak ruang makan dan kamar Merzi jauh, sehingga dia tidak dapat mendengar dan melihat aktivitas sang nona bersama kedua orang tuanya.
Bermenit-menit terus berlalu Merzi juga belum kelihatan. Tidak masalah, dia bahkan pernah berdiri tak melakukan apapun selama tiga jam lamanya. Jadi menunggu tiga puluh menit atau lebih sedikit bukan perkara sulit. Ebha tidak akan kesemutan atau apalah itu.
"Apakah nona Merzi sudah didalam?" Demi memastikannya Ebha memencet bel kamar Merzi. "Nona Merzi, saya Ebha."
Ebha membiarkan beberapa detik tapi tak ada jawaban. Lelaki itu memanggil Merzi kembali. "Nona apakah anda didalam?"
Masih tak ada sahutan. Ebha menoleh ke lorong panjang lantai dua itu. "Mungkin masih makan? Aku harus memastikannya." Ebha siap melangkah, tapi sosok yang tunggu-tunggunya akhirnya terlihat.
Tanpa sadar Ebha tersenyum lebih lebar dari biasanya. Lelaki itu menegapkan tubuhnya. "Itu dia."
Sedangkan di lorong menuju kamarnya, Merzi mengernyit tak menyangka Ebha sudah menunggunya disana. Berapa lama Ebha berdiri didepan kamarnya? Ah, dia punya ide. Merzi memelankan langkahnya. Rambutnya yang diikat kuda tadi dilepas perlahan dengan gerakan bagai bintang iklan shampo. Matanya sengaja memandang Ebha dari atas ke bawah dengan seringaian gadis-gadis nakal.
Ebha bagai terhipnotis. Lelaki itu tak berkedip melihat Merzi yang selalu berpenampilan sederhana namun mencolok karena rambutnya yang indah. Putih tulang yang berkilau juga panjang.
Hingga akhirnya nona mudanya berdiri didekatnya. Ebha membukakan pintu untuk Merzi yang sudah menjadi kebiasaannya setiap kali sang nona masuk atau keluar dari mobil atau ruangan.
Ebha membungkuk sedikit dan menunduk lalu menyapa Merzi duluan. "Selamat malam, Nona Merzi." Bisa Ebha cium aroma parfum Merzi yang samar namun manis.
Merzi yang mendapat sapaan itu bergumam kecil sebagai jawaban. Lalu gadis itu dengan sengaja menerbangkan rambut panjangnya sehingga mengenai wajah Ebha.
Setelah Merzi masuk, Ebha kembali bersuara. "Boleh saya masuk nona?"
"Apa tujuanmu kesini, Ebha?"
Ebha masuk tanpa suara dan membiarkan pintu tertutup dengan sendirinya. Lelaki itu memperhatikan Merzi yang masuk ke dalam walk in closet membuatnya harus menunggu sekali lagi. Sang nona pasti sedang mengganti pakaian.
"Ebha, kemarilah." Suara Merzi dari dalam walk in closet membuat Ebha terkesiap.
"Ya, Nona."
Kesekian kalinya Ebha masuk kembali ke dalam ruangan yang penuh dengan lemari dan rak-rak aksesoris, sepatu, tas dan segala jenis pakaian perempuan.
Lelaki itu masuk tentu karena perintah Merzi seperti tadi yang mungkin akan bertanya tentang baju apa yang bagus untuk dikenakan Merzi. Keduanya memang begitu akrab bagai teman yang berlatarbelakang majikan dan pelayan.
"Saya masuk, Nona." Ebha membuka pintu perlahan dan mendapati Merzi yang sedang kesulitan membuka resleting dress yang dipakainya tadi.
"Ada yang salah dengan resleting ini, coba lihat, Ebha. Sepertinya tersangkut."
Ebha berjalan dan berdiri dibelakang Merzi. "Biar saya periksa, Nona." Merzi menurunkan tangannya dan membiarkan Ebha membantunya.
Tanpa kesusahan seperti Merzi tadi, Ebha berhasil menurunkan sedikit resleting yang nyangkut itu. "Sudah, Nona?"
Merzi memeriksa punggung dan menoleh ke belakang melihat Ebha. "Sudah? Kenapa tidak sampai bawah? Ck, kau—"
"—maaf, akan saya lanjutkan."
Lebih baik Ebha diselimuti kecanggungan daripada Merzi yang mendiamkannya dan melanjutkan menurunkan resleting dress Merzi.
Kata 'kau' yang Merzi lontarkan cukup menjadi alarm peringatan berbahaya untuk Ebha sehingga dia harus bertindak cepat sebelum sang nona meledak.
"Apakah sudah?"
"Ya, Nona."
"Sekarang bantu Merzi memilih antara memakai baju tidur dari paman Lym atau bibi Liney." Ucap Merzi sudah berjalan menuju rak lemari yang masih terdapat beberapa bungkus kado yang tersusun. Ebha mengekorinya.
"Baik, Nona."
Merzi mengambil dua model baju dan membukanya dihadapan Ebha. "Yang ini dari bibi Liney, dan ini dari paman Lym. Mana yang bagus?"
Model pertama satu set baju tidur berkarakter kartun Frozen. Dalam hati Ebha tertawa kecil. Dia berpikir baju itu pasti dari paman Lym. Beliau memang menganggap Merzi masih gadis kecil yang menyukai sinema Disney itu.
Baju kedua juga satu set berwarna putih dengan motif salur berbahan satin. Merzi memang suka warna yang sama seperti rambutnya.
Merzi menunggu penilaian Ebha dengan sabar. Lelaki itu tak akan lama berpikir, dia yakin setelah ini Ebha akan menyampaikan sarannya.
"Pilihan dari bibi Liney bagus dan akan membuat nona kelihatan lebih dewasa. Sedangkan dari paman Lym, bajunya unik, nona tetap akan cantik dan lucu dengan motif Elsa di baju itu. Lagipula baju-baju itu akan nona pakai untuk tidur saja, bukan?"
Merzi mengangguk kembali mendengarkan Ebha. "Nah, artinya hanya nona yang tahu penampilan nona ketika tidur. Atau nona bisa memakai baju tidur sesuai mood anda?"
"Sesuai mood Merzi?"
Ebha mengangguk, "ya, Nona."
Merzi meletakkan kembali dua baju tidur itu. "Ingin Merzi tidur tak mengenakan apapun." Setelah mengatakan itu Merzi menurunkan bahu dress-nya tanpa melirik Ebha yang membulatkan mata dan segera berpaling.
"Saya ijin keluar, Nona Merzi."
"Tidak diijinkan."
Kaki Ebha tak jadi bergerak. Lelaki itu semakin menunduk dalam. Tangannya mengepal dibelakang tubuhnya. Ebha merasakan Merzi mendekat.
Dress birunya terlepas dan tergeletak diatas lantai. Merzi membiarkan tubuh yang masih dibalut tanktop tipis dan celana pendek berdiri dihadapan Ebha.
"Ebha…." Merzi mengulurkan tangannya ke tubuh lelaki didepannya. "Ebha."
"Ehem. Ya, Nona?"
Tangan lentik Merzi berada diatas dada Ebha dan mengusapnya perlahan. Gadis itu maju lebih dekat lalu meletakkan jidatnya didepan tubuh tegap Ebha.
"Merzi gelisah, Ebha."
"Apa …. Apa yang membuat nona Merzi gelisah?"
"Laki-laki dihadapan Merzi ini." Merzi mendongak menatap Ebha. "Membungkuk lah sedikit." Pintanya dengan sorot penuh harap.
Kepalan tangan Ebha semakin erat dan dia mengikuti keinginan Merzi.
"Bolehkah Merzi membuka baju Ebha?"