Violetta Madison gadis 20 tahun terpaksa menyewakan rahimnya demi membayar hutang peninggalan kedua orangtuanya. Violetta yang akrab dipanggil Violet itupun harus tnggal bersama pasangan suami istri yang membutuhkan jasanya.
"Apa? Menyewa rahim ?" ucap Violet,matanya melebar ketika seorang wanita cantik berbicara dengannya.
"Ya! Tapi... kalau tidak mau, aku bisa cari wanita lain." ucap tegas wanita itu.
Violet terdiam sejenak,ia merasa bimbang. Bagaimana mungkin dia menyewakan rahimnya pada wanita yang baru ia kenal tadi. Namun mendengar tawaran yang diberikan wanita itu membuat hatinya dilema. Di satu sisi, uang itu lebih dari cukup untuk membayar semua hutang-hutangnya. Namun disisi lain,itu artnya dia harus rela kehilangan masa depannya.
"Bagaimana... apakah kau tertarik ?" tanya wanita itu lagi.
Violet tesentak,ia menatap wanita itu lekat. Hingga akhirnya Violet mengangguk tegas. Tanpa ia sadar keputusannya itu akan membawanya kepada situasi yang sangat rumit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebusukan Claudia
Adrian merasa bersalah. Keinginan orang tuanya yang memintanya untuk segera memberikan keturunan membuat Claudia melakukan segala cara demi mendapatkan keturunan. Adrian menghela nafas panjang. Membawa Claudia duduk di atas sofa.
"Baiklah, Claudia. Aku akan mengikuti semua caramu. Tapi aku tak akan bisa tidur dengannya. Aku..."
Claudia langsung menutup mulut Adrian dengan jari telunjuknya.
"Aku akan pergi, dan... kau bisa memulainya." ucap Claudia seraya tersenyum sambil menyakinkan suaminya.
Tanpa Claudia sadari jika semua itu merupakan awal dari kehancurannya . Dan Awal kebahagian Adrian selama hidupnya.
Claudia menatap Adrian seolah dia sudah memenangkan permainan yang ia buat sendiri. Senyumnya mengembang, penuh kepuasan dan keyakinan bahwa semua akan berjalan sesuai rencana. Ia mengecup kening suaminya perlahan, lalu meninggalkan ruangan itu dengan anggun tanpa menoleh sedikitpun.
Adrian masih terdiam,kepalanya menunduk dan pikirannya kacau. Dia sadar perbuatannya akan membawanya jauh dari Claudia. Di tambah belakangan ini Violet selalu ada di dalam pikirannya.
***
Pagi pun tiba,sesuai yang dikatakan Claudia. Hari ini ia memutuskan untuk berlibur, sengaja memberi ruang pada Adrian agar lebih leluasa mendekati Violet tanpa bayang-bayang dirinya. Claudia tak sabar dengan metode dari dokter yang membutuhkan waktu lama dalam proses kehamilan Violet. Ia lebih memilih cara lain untuk mempercepat kehamilannya.
"Aku akan ke Kanada. Aku harap kau melakukannya dengan baik." ucap Claudia.
Adrian mengangguk singkat, mencoba menyembunyikan rasa sesak di dadanya. Claudia tampak begitu ringan saat mengucapkan itu, seolah memperlakukan Violet tak lebih dari alat untuk mencapai tujuannya. Tapi ia tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap Claudia yang kini menarik koper elegannya dengan langkah percaya diri menuju mobil yang sudah menunggunya di depan.
“Aku akan kembali setelah semuanya selesai. Jangan buat aku kecewa, Adrian,” ucap Claudia lagi sebelum melangkah masuk ke dalam mobil.
Pintu tertutup. Mobil melaju pergi, dan rumah itu mendadak terasa lebih sepi. Adrian berdiri lama di depan pintu, menatap kosong ke arah gerbang yang mulai tertutup. Udara pagi masih dingin, namun bukan itu yang membuat tubuhnya menggigil—melainkan kenyataan bahwa mulai hari ini, semuanya akan berubah.
Di dalam rumah, Violet baru saja turun dari lantai dua. Ia mengenakan gaun panjang sederhana berwarna krem, rambutnya diikat separuh ke belakang. Wajahnya tampak segar, meski sorot matanya masih menyiratkan kegelisahan yang belum reda. Ia terkejut saat mendapati Adrian berdiri sendirian di depan pintu utama.
“Maaf Tuan, Nyonya Claudia,dia... pergi?” tanya Violet pelan, mendekat dengan ragu.
Adrian menoleh. Untuk sesaat, matanya menatap Violet seolah gadis itu adalah satu-satunya yang membuat dunia masih terasa masuk akal.
“Iya,” jawabnya singkat.
Adrian melangkah mendekat. Wajahnya serius, tak ada lagi basa-basi atau keraguan seperti sebelumnya.
“Aku tak ingin kau merasa terpaksa, Violet. Aku tahu semua ini gila... dan aku tahu aku pengecut karena membiarkan Claudia menyeret mu ke dalam ini.”
Violet mengangkat wajahnya, menatap mata Adrian.
"Apa maksud Anda, Tuan."
"Aku akan menjelaskannya nanti. Untuk sekarang kau beristirahat saja."
Adrian langsung meninggalkan Violet yang masih mematung di sana. Eva yang sejak tadi memperhatikan mereka pun mulai mendekati Violet.
"Nona, sebaiknya Anda segera ke kamar. Aku akan mengantarkan sarapan untukmu." ucap Eva.
Tanpa bertanya Violet pun segera melangkah ke kamarnya. Setelah itu Eva menemui Adrian di ruang kerjanya.
"Ada apa ,Tuan?" tanya Eva begitu melihat Adrian berdiri di dekat jendela.
"Kau sudah tau tugasmu, Aku tak perlu menjelaskan padamu." ujar Adrian.
Eva terdiam,ia mendekati Adrian mencoba memperjelas ucapan majikannya itu. Eva berdiri beberapa langkah di belakang Adrian, menatap punggung majikannya yang tampak tegang. Hening beberapa detik menguasai ruangan sebelum akhirnya Eva membuka suara dengan nada hati-hati.
"Anda yakin ingin melakukannya dengan cara ini, Tuan? Tanpa memberi tahu Nona Violet terlebih dahulu."
Adrian tak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang, mengusap wajahnya, lalu menoleh perlahan.
“Aku tak ingin melakukannya dengan kesadaran penuh."
“Tapi itu akan membuat Anda merasa bersalah ,Tuan."
Adrian menatap Eva tajam, namun sorot matanya justru penuh kebingungan.
“Apa kau pikir, aku bisa melakukannya? Ini semua hanya untuk Claudia.”
Eva menghela napas berat. Ia tahu siapa Claudia namun melihat Adrian begitu mencintai wanita itu, Eva hanya bisa menurut. Selama ini, Eva selalu menutupi kebusukan-kebusukan Claudia dari Adrian.
“Baiklah Tuan, Aku akan melakukan sesuai perintah." ucap Eva pelan.
Adrian menatap kosong ke luar jendela, ke arah taman di mana angin mulai menggoyangkan daun-daun. Dalam hatinya, ada sesuatu yang tumbuh—dan itu bukan sekadar keinginan memiliki keturunan, tapi sebuah keinginan untuk benar-benar hidup, bukan sekadar bertahan dalam pernikahan semu.
Sementara itu, di kamarnya, Violet duduk di sisi ranjang. Pandangannya kosong menatap ke luar jendela. Perasaan aneh terus mengusiknya sejak Claudia pergi. Ia menatap cermin di hadapannya. Menyentuh perutnya yang masih datar.
“Apa aku benar-benar hanya alat?” bisiknya pada bayangannya sendiri.
Tiba-tiba pintu kamar diketuk pelan. Eva muncul dengan nampan berisi sarapan. Ia tersenyum tipis saat meletakkannya di atas meja.
“Silakan dimakan, Nona. Anda butuh tenaga.”
“Terima kasih, Eva...” ucap Violet pelan. Tapi sebelum Eva berbalik, Violet menahan lengannya.
“Eva... bolehkah aku bertanya sesuatu? Dan... tolong jawab jujur.”
Eva menatap Violet, sejenak ia ragu, namun akhirnya mengangguk.
“Apa Adrian... orang yang baik?”
Pertanyaan itu begitu sederhana, namun terasa berat. Eva menunduk sebentar, lalu menjawab pelan,
“Dia orang baik. Tapi... terkadang orang baik pun bisa menyakiti, Nona. Apalagi kalau mereka tidak jujur pada dirinya sendiri.”
Violet terdiam. Jawaban itu tak membantunya merasa lebih tenang. Justru membuat hatinya makin dipenuhi pertanyaan.
Di tempat lain, jauh dari rumah itu, Claudia duduk di sebuah hotel di Kanada. Tak sendiri Claudia ditemani kekasihnya, Bryan. Ia sengaja memilih negara itu karena Bryan seorang pengusaha yang menetap di sana.
"Kau benar-benar licik, sayang " ucap Bryan ,
Claudia menyeringai sambil menyesap anggur dari gelas kristal di tangannya. Ia duduk menyamping di sofa mewah kamar hotel, mengenakan gaun sutra merah yang membuatnya tampak seperti sosok lain—bukan istri Adrian yang anggun dan tenang, melainkan wanita yang haus kendali.
“Licik?” ucap Claudia menoleh ke arah Bryan dan tertawa kecil.
“Aku hanya mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku. Aku tak ingin kehilangan apapun termasuk Adrian." lanjutnya.
Bryan menatap wanita itu dengan ekspresi sulit dibaca. Ia memang menyukai Claudia—ambisius, cerdas, dan tak segan menyingkirkan siapa pun yang menghalangi jalannya. Tapi ada sisi dari Claudia yang mulai membuatnya resah.
"Kau yakin dengan gadis itu? Apakah kau tidak takut Adrian mulai menaruh hati padanya?"
Claudia terbahak-bahak mendengar celotehan Bryan.
"Aku tidak yakin dengan hal itu. Adrian sangat mencintaiku. Kau tau itu." ungkapnya. penuh percaya diri.
Tanpa ia sadari, badai akan ikut menerpanya hingga ia tak mampu lagi berdiri.
Adrian junior sudah otw blm yaaa 🤭
Semoga tuan Adrian, vio ,, Eva dan mama Helena akan baik2 saja dan selamat dari niat jahat papa Ramon
Vio,, kamu harus percaya sama tuan Adrian,, Krn aq juga bisa merasakan ketulusan cinta tuan Adrian utk mu....
Vio..., kamu skrg harus lebih hati-hati dan waspada,, jangan ceroboh yaaa
Qta tunggu kelanjutan nya ya Kaka othor
Tolong jagain dan sayangi vio dengan tulus,, ok. Aq merasa ad sesuatu yang kau sembunyikan tentang vio, tuan Adrian. Sesuatu yg baik,, aq rasa begitu....
Dia takut bukan karna takut kehilangan cintanya tuan Adrian,, tapi takut kehilangan hartanya tuan Adrian.