Bagaimana perasaan kamu kalau teman SMAmu melamar di akhir perkuliahan?
Itulah yang dialami Arimbi, selama ini menganggap Sabda hanya teman SMA, teman seperjuangan saat merantau untuk kuliah tiba-tiba Sabda melamarnya.
Dianggap bercanda, namun suatu sore Sabda benar-benar menemui Ibu Arimbi untuk mengutarakan niat baiknya?
Akankah Arimbi menerima Sabda?
Ikuti kisah cinta remaja ini semoga ada pembelajaran untuk kalian dalam menghadapi percintaan yang labil.
Happy Reading
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AYAH
Jam 2 pagi, Arimbi mendapat panggilan dari sang ibu bahwa ayah dilarikan ke rumah sakit karena jatuh di kamar mandi dan tak sadarkan diri. Sontak saja Arimbi kaget setengah mati, berasa seperti mimpi saja, tapi kenyataannya memang benar.
Bingung, apakah dia harus menunggu jam 5 untuk bisa pulang kampung naik bus, atau mengajak Nafisah pulang. Ah tak mungkin juga, mereka perempuan akan sangat bahaya dini hari lewat alas untuk pulang kampung.
"Telepon teman lo aja yang anak IT," saran Nafisah saat itu. Arimbi ingat, ada Sabda yang bisa dimintai tolong. Ia langsung menelepon teman SMA nya itu berharap dia bisa mengantar pulang.
"Apaan?" jawab Sabda dengan suara khas orang bangun tidur.
Sabda langsung bangun saat mendengar isak tangis Arimbi. Matanya langsung segar, dan mengiyakan pulang dini hari itu juga. Tak pakai menunggu. Entah apa yang dipikirkan Sabda saat itu hingga menurut saja saat Arimbi meminta untuk diantar pulang.
Jam 3 pagi, Sabda sudah sampai kos. Memakai jaket dan helm full face tanpa membawa apapun ia siap mengantar Arimbi pulang.
Arimbi lewat pintu rumah ibu kosnya, karena aturan kos pagar akan dibuka pukul 5 pagi. Otomatis ia mengetuk pintu dapur Bu Kos agar bisa segera pulang.
Selama perjalanan, Arimbi terus memeluk Sabda sembari menangis. Ia tahu betul orang yang jatuh ke kamar mandi biasanya nyawa tak tertolong. Dirinya belum siap ditinggal oleh sang ayah. Ayahnya masih muda, gak mungkin meninggalkan Arimbi dan Sadewa sang adik.
"Tenang, Mbek." Begitu Sabda menenangkan temannya.
" Gue takut, Sapi."
"Doa yang banyak! Pegangan yang kuat, gue mau ngebut."
Motor melaju dengan kencang, dan gak sampai 3 jam mereka sudah sampai di rumah sakit. Sabda menggenggam tangan Arimbi agar tenang.
Bertanya ke petugas UGD, Arimbi dibuat lemas seketika, karena ternyata sang Ayah sudah berpulang. Ia dipersilahkan masuk karena jenazah sang ayah masih ada di UGD.
Arimbi menangis seketika, tubuhnya luruh ketika melihat tubuh ayahnya yang sudah ditutup kain putih. "Ayah!" teriaknya tak peduli dimarahi petugas UGD.
Sang ibu langsung memeluk Arimbi, sedangkan Sabda memeluk Sadewa, tampak siswa SMP itu menangis sesenggukan. Belum siap kehilangan sang ayah.
"Mas Sabda, ayahku meninggal!" lirihnya pilu. Sabda hanya bisa menepuk punggung adik Arimbi.
Proses pemulangan jenazah pun tak sulit, mobil jenazah pun ready. Arimbi dan Ibu naik mobil jenazah, sedangkan Sadewa dibonceng Sabda.
Rumah Arimbi sudah ramai oleh tetangga, karena ibu sempat menelepon Bik Hafa (adik ayah Arimbi) untuk mengabarkan kematian sang suami.
Sabda mengikuti proses perawatan jenazah ayah Arimbi hingga pemakaman. Dia juga mengabarkan kematian ayah Arimbi di grup SMA.
"Gue balik ya, Mbek. Jam satu nanti gue ada kelas!"
"Langsung balik ke kampus?" tanya Arimbi yang matanya sudah bengkak, terlalu banyak menangis. Sabda mengangguk.
"Makasih ya, Sap! Uang bensinnya nyusul ya kirim no rekening nanti!"
Kalau tidak dalam kondisi berduka, mungkin kening teman SMAnya sudah ditonyor. Seperti sama siapa aja perhitungan soal bensin.
Sabda pun pamit pada Ibu Arimbi, dan Sadewa. Dipikir orang Sabda adalah pacar Arimbi, namun saat dikonfirmasi Sabda bilang hanya teman SMA saja.
"3 tahun yang lalu, Sap?" tanya Arimbi mengingat kematian ayah saat dirinya masih semester satu. "Selama itu?"
"Gue menyangkal sih sebenarnya. Mungkin gue hanya terbawa suasana duka aja saat itu, tapi dalam hati berjanji gue wajib melindungi lo sepeninggal ayah. Muncul secara tiba-tiba aja."
"Tapi lo gak pernah bilang?"
"Ya kan gue fokus sama kerja, mengumpulkan uang sebanyak mungkin. Meminta anak orang tidak hanya modal i love you, Mbek. Harus ada perhitungan, dan gue memantabkan diri setelah skripsi gue harus lamar lo, sudah cukup gue menahan perasaan ini."
"Jadi lo?"
"Ya gue suka sama lo! Gue mau nikah sama lo!" ucap Sabda sejujurnya bahkan menatap Arimbi lekat, tak ada keraguan sama sekali.
"Kenapa lo gak bilang dari dulu?"
Sabda menghela nafas berat, "Gue gak mau lo jauh dari gue. Gue takut banget kalau lo menghindar, secara lo pernah berucapkan saat SMA dulu, tak ada cinlok dengan teman di sekolah, tak ada nikah karena kecelakaan. Makanya gue menyimpan rasa ke kamu."
"Ya Ampun, Sap. Gue gak tahu harus bilang ke lo apa, gue masih kaget aja ternyata lo suka sama gue."
Sabda tertawa. "Sekarang gue merasa mapan, dan kuliah kita tinggal ujian skripsi, makanya gue berani bilang."
"Seandainya gue malam ini gak nebeng lo, kapan lo bakal bilang?"
"Setelah ujian skripsi."
Keduanya terdiam, Sabda mengamati wajah Arimbi yang masih kaget dan tak menyangka. Tampak berpikir keras, mencoba menerima kenyataan yang ada, "Hei, pikirnya dalem banget sih," sindir Sabda sembari menyenggol pundak Arimbi.
"Sapi, lo sadarkan nikah tuh gak hanya setahun dua tahun, tapi selamanya. Gak mungkin gue menjawab iya tanpa pertimbangan. Bahkan lo ngomong ke gue aja menunggu 3 tahun kemudian. Enak aja lo minta jawaban sekarang. Lagian emang lo udah siap dengan segala kekurangan gue?" kata Arimbi mode jutek.
"Siap. Gak mungkin gue gak siap menghadapi lo yang cerewet setengah mampus, dan sengkleknya naudzubillah."
"Gak ada baik-baiknya ya Allah gue di mata lo!" Sabda tertawa, tapi mengelus kepala Arimbi.
"Katanya kekurangan gimana sih," ledek Sabda dan Arimbi hanya meringis, benar juga sih.
"Sap, gue gak bisa kasih jawaban malam ini. Jujur gue masih shock, dilamar dadakan begini. Gue selama ini hanya menganggap lo teman doang. Gak ada perasaan lebih dari teman."
Sabda mengangguk, ia juga harus terima ungkapan jujur Arimbi. Tak bisa memaksa juga. "Lo baik, Sap sama gue. Tapi kok gue bego banget ya gak peka kalau setelah ayah meninggal tuh, emang lo yang selalu ready gue mintain tolong."
"Baru sadar kalau lo sedikit miring," Sabda menunjukkan dengan telunjuk di keningnya.
"Sialan," ucap Arimbi menyenggol lengan Sabda sambil tertawa. "Omongan lo yang gesrek begini yang bikin gue gak menyangka kalau lo suka sama gue, Sap!"
"Apa besok gue yang ngomong langsung ke Ibu kamu?" Arimbi langsung mendelik.
"Gak ada ya, enak aja. Bisa-bisa gue dibilang hamil duluan, gak ada. Gue gak mau."
"Terus?"
"Kasih gue waktu. Gue bisa jawab setelah ujian skripsi."
"Oke!"
"Harapan lo apa?"
"Ya lo terima gue lah, Mbek. Gue udah bosan hidup sendiri, dan gue mau hidup sama seseorang tanpa adaptasi lagi."
"Emang lo gak punya mimpi yang pengen lo wujudkan?" tanya Arimbi.
Sabda menggeleng. "Mungkin sama lo nanti ada."
"Apa?"
"Mewujudkan cita-cita lo," ucap Sabda, sederhana tapi terdengar romantis.
lanjut kak
semangat terusss ya /Heart/
lanjut ya kak
semangat