Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.
Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amanah Terakhir
Udara pagi di kawasan desa di Jawa Timur, terasa sejuk namun menyimpan kepedihan. Di teras rumah keluarga Haji Ibrahim, Azam duduk dengan wajah gelisah. Lelaki tampan berusia dua puluh sembilan tahun itu dikenal sebagai sosok cerdas, tegas, dan lembut pada orang tua. Tapi hari ini, wajahnya menyimpan keraguan.
“Abi sungguh ingin aku menikahinya?” tanyanya pelan, menatap ayahnya dengan mata penuh tanya.
Haji Ibrahim mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Sebelum meninggal, sahabat Abi menitipkan putrinya. Namanya, Nayla Azahra. Abi tahu hidupnya berantakan, tapi amanah harus ditunaikan, Zam.”
Azam terdiam. Ia belum mengenal Nayla selain dari namanya. Tapi sebagai anak sulung, ia tak pernah menolak titah ayahnya, apalagi jika itu berkaitan dengan amanah.
Nayla datang dengan gaun putih, wajahnya cantik namun menyimpan sorot kosong. Hatinya terbelah, antara terpaksa dan bingung harus ke mana lagi. Hidup bebas telah membuatnya lelah. Tapi dinikahi pria sebaik Azam?rasanya tak pantas, dan ia tahu itu.
Malam pertama mereka bukan malam penuh cinta, tapi keheningan. Azam terlalu sopan untuk menyentuhnya, tapi cukup tajam untuk tahu: ada banyak luka yang dibawa Nayla.
Malam pertama mereka hanya diisi percakapan ringan. Azam memilih tidur di kursi panjang dekat jendela, dan Nayla hanya menatap punggungnya dalam diam. Ia tahu, kehadirannya terlalu mengejutkan untuk Azam.
Pagi itu, mentari menyapa pelan dari balik jendela kamar mereka yang sederhana. Suara burung bersahutan di halaman, dan aroma kopi yang diseduh Azam memenuhi ruangan. Ia duduk di meja makan dengan senyum ringan, menatap Nayla yang masih kikuk mengenakan mukena setelah salat subuh.
“Nay...” panggilnya lembut.
Gadis itu menoleh, ragu. Sudah dua bulan mereka menikah, tapi ia masih belum terbiasa dengan kelembutan Azam. Terlalu kontras dengan kehidupan yang pernah ia jalani. Terlalu tulus untuk seseorang sepertinya.
“Ayo sarapan. Aku buatkan roti bakar, tapi kalau rasanya aneh, jangan salahkan suamimu,” ujarnya berseloroh ringan.
Azam tertawa kecil. “Kalau enak, baru aku puji istriku?”
Nayla hanya tersenyum malu. Senyuman yang perlahan menghapus kegugupan, meski tidak sepenuhnya.
Hari-hari mereka berjalan damai. Azam selalu bersikap lembut, tak pernah marah, apalagi meninggikan suara. Ia memperlakukan Nayla dengan penuh hormat, seakan masa lalu gadis itu tak pernah ada. Malam-malam mereka diisi obrolan ringan tentang langit, buku, dan kadang… tentang Allah.
Namun ada satu hal yang selalu dijaga Azam: ia tak pernah menyentuh Nayla.
Bukan karena tak menginginkannya, tapi karena ia tahu Nayla belum siap. Ia tahu dari sorot mata Nayla—ada trauma, ada luka, ada ketakutan yang belum pulih.
“Azam…” suatu malam Nayla bertanya lirih, “Kenapa kamu tidak pernah menuntut apa pun dariku? Maksudku… sebagai suami…”
Azam menoleh, lalu tersenyum tenang. “Nayla, aku menikahimu bukan untuk memaksa. Tapi untuk menemani prosesmu. Kalau belum siap, aku tak akan menyentuhmu. Cinta yang dipaksa hanya akan melahirkan luka baru.”
Kata-kata itu membuat dada Nayla sesak. Bukan karena sakit, tapi karena haru. Di saat ia merasa paling kotor, seorang pria sebaik Azam justru memperlakukannya seolah ia berharga.
Hari-hari itu adalah hari-hari yang penuh ketenangan. Dua bulan yang tenang. Dua bulan yang hampir membuat Nayla percaya, mungkin ia masih pantas dicintai.
Malam itu hujan turun pelan di atap rumah mereka. Di ruang tengah, Azam duduk dengan buku tafsir di pangkuan. Seperti biasa, setelah Isya ia mengisi waktu dengan membaca atau menulis catatan kecil. Tapi malam ini berbeda. Nayla datang mendekat, membawa secangkir teh hangat dan hati yang bergetar.
“Azam...” panggilnya pelan.
Lelaki itu menoleh, meletakkan bukunya, menatap Nayla penuh perhatian. “Iya?”
“Aku...” Nayla menunduk. Tangannya gemetar sedikit saat menyodorkan teh. “Aku ingin berubah. Tapi aku gak tahu caranya. Bolehkah... kamu ajari aku jadi istri yang baik? Seperti yang diajarkan Rasulullah?”
Azam tak langsung menjawab. Ia memandang perempuan di hadapannya dengan hati yang diam-diam terharu. Ia tahu, itu bukan pertanyaan ringan. Itu permintaan dari jiwa yang ingin pulang.
“Boleh,” jawabnya akhirnya, lembut. “Tapi ini bukan proses instan, Nay. Butuh waktu, butuh sabar.”
“Aku siap. Asal kamu bimbing aku.”
Azam mengangguk pelan. Ia membuka buku kecilnya dan mengambil Al-Qur’an yang ada di rak.
“Rasulullah pernah bersabda: Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan suaminya ketika dipandang, taat ketika diperintah, dan tidak menyelisihi suami dalam hal yang tidak disukainya. (HR. An-Nasa’i). Tapi kamu harus tahu, Islam tidak menuntutmu jadi sempurna. Yang Allah lihat adalah prosesmu menuju-Nya.”
Nayla menyimak dengan penuh perhatian.
“Kamu tahu, Allah berfirman dalam QS An-Nisa ayat 34:
‘Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...’
Azam menatap Nayla dalam-dalam.
“Dari sini kita belajar, bahwa istri adalah amanah, dan suami punya tanggung jawab membimbing. Tapi istri juga punya peran besar. Ketaatan, kesetiaan, menjaga kehormatan saat suami tidak ada, dan merawat rumah tangga adalah bagian dari ibadah.”
Nayla menunduk. Ada butiran hangat di ujung matanya.
“Jadi aku harus mulai dari mana?”
Azam tersenyum. “Dari hal yang paling sederhana. Shalat tepat waktu, belajar membaca Al-Qur’an, menjaga lisan, dan niatkan setiap pekerjaanmu sebagai ibadah. Aku akan temani kamu.”
“Terima kasih, Zam…” suaranya nyaris berbisik. “Kamu terlalu baik untukku.”
Azam menggeleng pelan. “Belum tentu. Tapi semoga Allah ridha pada perjalanan kita.”
Malam itu, untuk pertama kalinya Nayla merasa... ia punya harapan. Bahwa meskipun ia datang dari kelamnya masa lalu, cahaya selalu bisa ditemukan—asal ada yang mau menuntun.
Pagi harinya, rumah kecil mereka diselimuti ketenangan. Usai salat Dhuha, Azam membawa mushaf dan duduk di ruang tengah. Ia menunggu Nayla yang sudah berjanji ingin belajar Al-Qur’an pagi ini.
Tak lama, Nayla datang dengan mukena putih yang sederhana, wajahnya polos tanpa riasan, tapi matanya memancarkan semangat yang baru. Azam menepuk lantai di sampingnya, mempersilakan.
“Mulai dari surat apa?” tanyanya lembut.
“Al-Mulk,” jawab Nayla pelan.
Azam mengangguk. “Silakan.”
Nayla membuka mushaf, menarik napas pelan, lalu melafazkan:
Tabārakalladzi biyadihil-mulku wa huwa ‘alā kulli syai’in qadīr.
Azam terdiam.
Nayla melanjutkan ayat demi ayat, suaranya lembut, merdu, tajwidnya nyaris sempurna, makhraj hurufnya keluar dengan tepat. Seolah-olah bukan kali pertama ia membaca ayat itu. Bukan bacaan seorang pemula.
Saat Nayla mengakhiri ayat ke-5, Azam menatapnya, tak menyembunyikan keterkejutannya.
“Kamu bilang... mau belajar dari awal,” katanya pelan.
Nayla menunduk, tersenyum kecil. “Iya. Aku ingin belajar lagi. Tapi bukan berarti aku benar-benar lupa semuanya.”
“Bacaan kamu bagus sekali. Marātilnya rapi, suara kamu... indah. Seperti koriah.”
Nayla tersenyum samar. “Dulu aku pernah mondok waktu MTS, di Pesantren Al-Ma’arif, dekat Kediri. Tapi... setelah lulus, semuanya berubah.”
Azam menyimak, tak memotong.
“Ayah sama Ibu meninggal karena kecelakaan waktu aku baru lulus. Karena aku anak tunggal dan gak punya saudara dekat, aku akhirnya ikut Bibi di Jakarta—adik dari almarhumah Ibu. Awalnya baik-baik saja... sampai aku mulai kenal dunia luar yang... kelam.”
Nayla menunduk, suaranya gemetar.
“Aku mulai ikut teman-teman ke tempat yang bukan-bukan. Awalnya cuma penasaran, tapi lama-lama aku tenggelam. Sampai aku lupa siapa aku, lupa dulu aku pernah hafal Juz Amma, pernah jadi santri, pernah bangun malam buat tahajud... semuanya hilang karena aku lebih pilih dunia.”
Azam tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap Nayla dengan sorot mata yang lembut—bukan menghakimi, tapi penuh iba dan pengertian.
“Aku malu, Zam,” Nayla melanjutkan, “Sebenarnya aku gak pantas baca ayat-ayat itu lagi. Mulutku kotor, hatiku penuh dosa. Tapi aku ingin kembali. Kalau Allah masih mau menerimaku.”
Azam menarik napas panjang. “Nayla, kamu tidak kehilangan Allah. Kamu hanya menjauh sebentar. Tapi sekarang kamu datang lagi—dan itu yang paling penting.”
Nayla terisak pelan. Azam mengulurkan tisu tanpa berkata apa pun.
Malam itu, mereka tak hanya membuka mushaf, tapi juga membuka lembaran hati. Lembaran masa lalu yang tak lagi untuk dikhawatirkan, tapi dijadikan pijakan menuju masa depan.
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan