Alya adalah gadis mandiri yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Hidupnya sederhana namun bahagia, hingga suatu hari ia harus menghadapi kenyataan pahit, ayahnya terlilit utang besar kepada seorang pengusaha kaya, Dimas Ardiansyah. Untuk melunasi utang itu, Dimas menawarkan satu-satunya jalan keluar—Alya harus menikah dengannya. Masalahnya, Dimas sudah memiliki istri.
Dengan hati yang terpaksa dan demi menyelamatkan keluarganya, Alya menyetujui pernikahan itu dan menjadi madu. Ia masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang dingin, penuh rahasia, dan ketegangan. Istri pertama Dimas, Karin, wanita anggun namun penuh siasat, tidak tinggal diam. Ia menganggap Alya sebagai ancaman yang harus disingkirkan.
Namun di balik sikap dingin dan keras Dimas, Alya mulai melihat sisi lain dari pria itu—luka masa lalu, kesepian yang dalam, dan cinta yang belum sempat tumbuh. Di tengah konflik rumah tangga yang rumit, kebencian yang mengakar, dan rahasia besar dari masa lalu,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9
Alya berdiri di balik panggung besar yang dipenuhi suara, lampu, dan kamera. Forum internasional bertajuk “Relasi Setara dalam Bingkai Budaya dan Agama” diadakan di Jakarta, dan tahun ini Alya diminta jadi pembicara utama untuk sesi debat terbuka—yang akan disiarkan langsung di televisi nasional.
Ia tak pernah berpikir akan sampai di titik ini. Dulu ia hanya seorang istri kedua yang berusaha bertahan dalam bayang-bayang. Sekarang, ia berdiri sebagai suara dari mereka yang tak pernah diberi kesempatan untuk bicara.
Rey berdiri di sampingnya, mengenakan jas krem muda. Tatapan Rey tenang, tapi mendalam. “Kamu nggak sendirian,” katanya pelan. “Apa pun yang terjadi di atas panggung itu, aku di sini.”
Alya mengangguk. Tapi hatinya berdebar. Bukan hanya karena sorotan, tapi karena ia tahu siapa yang akan jadi lawan debatnya hari ini: Ustaz Halim Zain, seorang cendekiawan konservatif yang sangat dihormati, dengan jutaan pengikut. Dan ia dikenal sebagai pembela keras poligami sebagai “solusi sosial.”
Di atas panggung.
Debat dimulai. Moderator memperkenalkan kedua pihak.
Ustaz Halim duduk dengan jubah putih dan sorban rapi. Alya duduk berseberangan, mengenakan gamis modern berwarna kelabu dengan syal batik di bahunya—penampilan sederhana tapi kokoh.
Moderator membuka, “Kita akan membahas: Apakah poligami masih relevan sebagai solusi modern? Kita mulai dari Ibu Alya Mareska.”
Alya menarik napas panjang.
“Saya tidak datang untuk menghakimi kepercayaan. Saya datang untuk mengangkat realitas.
Kita bisa bicara tentang ayat. Tapi izinkan saya bicara tentang air mata.
Tentang para perempuan yang terbangun di malam hari, menahan jerit di dada karena tahu mereka hanya pilihan, bukan prioritas.
Tentang anak-anak yang dibesarkan dalam rumah tangga tanpa kehadiran utuh.
Dan tentang bagaimana cinta yang dibagi tanpa persetujuan, bukanlah cinta. Itu pelanggaran atas martabat.”
Ustaz Halim menanggapinya dengan tenang, tapi tajam.
“Ibu Alya, kita tidak boleh menilai syariat dengan perasaan. Syariat tak bergantung pada air mata. Banyak istri yang rela dipoligami dan tetap bahagia.”
Alya tersenyum tipis.
“Relakah mereka, atau mereka hanya dilatih untuk diam?
Saya dulu salah satunya.
Saya tidak menentang syariat. Tapi saya menentang bagaimana syariat digunakan untuk melindungi ego, bukan keadilan.
Jika poligami itu sah, maka sah juga bagi perempuan untuk berkata: Saya tidak mau. Dan itu bukan dosa.”
Suasana memanas. Beberapa audiens bertepuk tangan. Beberapa lainnya mengerutkan dahi. Tapi tak satu pun bisa mengabaikan keberanian Alya.
Setelah sesi berakhir.
Di belakang panggung, Rey mendekati Alya dan langsung memeluknya.
“Kamu bikin semua orang diam,” bisiknya. “Termasuk aku.”
Alya tertawa kecil, meski wajahnya letih.
Namun sebelum ia sempat duduk, seorang perempuan tua datang menghampiri. Mengenakan kerudung coklat tua dan membawa tongkat.
“Ibu Alya?” tanyanya dengan suara gemetar.
Alya mengangguk. Perempuan itu memeluknya tiba-tiba, sambil menangis.
“Saya ini istri ketiga. Tapi selama lima belas tahun, saya merasa seperti hantu. Hari ini... saya merasa terlihat. Terima kasih, Nak.”
Alya memeluk perempuan itu lebih erat.
Malam hari.
Rey mengajak Alya ke tepi pantai di Ancol, hanya untuk duduk berdua. Di sana, Rey tampak sedikit gugup. Lalu ia mengeluarkan satu kotak kecil.
Tapi sebelum membuka, ia bertanya,
“Alya, selama ini kamu berjalan sendirian. Dan kamu hebat. Tapi... jika kamu mau, aku ingin jadi seseorang yang berdiri bersamamu—bukan di depan, bukan di belakang. Bersama.”
Alya menatap mata Rey lama.
“Rey, aku... masih belajar percaya lagi. Tapi dengan kamu, aku tidak takut belajar pelan-pelan.”
Rey membuka kotaknya. Kali ini, memang cincin.
Tapi ada dua di dalamnya.
Satu untuknya. Satu untuk Alya.
“Aku nggak melamarmu untuk jadi milikku. Tapi untuk jadi temanku berjalan. Kalau suatu hari kamu mau menjadikannya pernikahan, aku akan menunggu. Tapi kalau tidak pun... aku tetap akan ada.”
Alya menangis. Tapi bukan air mata luka. Melainkan air mata seseorang yang merasa akhirnya dipilih bukan karena butuh, tapi karena dihargai.
Ia menjawab, pelan tapi pasti,
“Kalau besok aku terbang lagi, dan kamu tetap di sini menungguku pulang, makasih ya, Rey. Mari kita mulai perjalanan ini. Bersama.”
Hari itu, dunia melihat Alya sebagai perempuan yang berdiri teguh di atas panggung perdebatan. Tapi bagi Rey, hari itu adalah saat di mana cinta menemukan tempatnya, bukan di pelaminan dulu, tapi di hati yang siap saling menjaga.
*
Udara Papua Barat hangat, lembap, dan penuh suara alam yang memeluk dari segala arah. Alya dan Rey tiba di sebuah kampung terpencil dekat Pegunungan Arfak, menjalankan misi bersama tim mereka: membuka akses pendidikan dan klinik perempuan untuk wilayah yang selama ini nyaris tak terjamah.
Namun, baru dua hari di lokasi, konflik muncul.
Kepala adat, Bapak Marthen, menolak rencana mereka membangun pusat informasi perempuan.
“Perempuan di sini bukan untuk bicara. Mereka untuk jaga rumah dan anak,” katanya tegas sambil mengepulkan asap rokok daun.
Alya menatap Marthen dalam. “Saya tak datang untuk mengubah adat. Saya datang untuk membuka pintu jika suatu hari anak perempuan bapak ingin tahu apa yang ada di baliknya.”
Jawaban itu membuat suasana hening.
Tapi malam harinya, seseorang menyelinap ke tenda tim dan mencoret-coret papan program dengan cat merah: “PEREMPUAN JANGAN MEMIMPIN.”
Rey mencak-mencak. “Kita harus lapor polisi daerah.”
Tapi Alya, dengan tenang, berkata, “Tidak. Kita buktikan lewat tindakan, bukan konfrontasi.”
Hari-hari selanjutnya,
Alya mengajak perempuan-perempuan muda di kampung itu duduk di tanah, membacakan cerita bergambar, mengenalkan alfabet pelan-pelan. Ia tidak bicara soal emansipasi. Ia hanya membacakan kisah tentang seorang anak yang ingin tahu tentang bintang.
Dan perlahan, setiap malam, jumlah perempuan yang duduk di sekelilingnya bertambah.
Rey mengaguminya diam-diam. Ia melihat Alya bukan sebagai aktivis atau kekasih. Tapi sebagai kekuatan hidup—yang merambat perlahan namun pasti, seperti akar-akar pohon.
Minggu ketiga.
Paket datang ke pos terdekat. Untuk Alya.
Bukan kiriman logistik. Tapi sebuah surat dari Livia. Disertai satu foto.
Alya membuka dengan hati-hati.
Alya,
Aku tahu kamu tidak ingin mendengar apa pun dariku.
Tapi aku menulis ini bukan sebagai istri Dimas. Aku menulis sebagai seseorang yang pernah terluka karena cinta yang tak utuh.
Dimas sakit parah. Tapi sebelum ia benar-benar hilang kesadaran, ia menyebut namamu...
Bukan karena ia mencintaimu lebih,
tapi karena ia merasa bersalah lebih.
Yang tak kamu tahu, Alya—aku juga bukan pilihan Dimas sejak awal.
Aku dijodohkan oleh keluarga karena skandal bisnis yang butuh ditutup.
Cinta kami lahir dari paksaan. Tapi kami berusaha menumbuhkannya.
Dan ketika kamu hadir, aku marah. Bukan karena kamu merebut Dimas,
tapi karena aku sadar kamu adalah sosok yang seharusnya ia pilih dari awal.
Tapi hidup bukan soal seharusnya.
Kini, aku hanya ingin mengatakan
Kamu tidak perlu merasa bersalah lagi.
Aku sudah memaafkan-mu.
Dan aku minta maaf karena selama ini menjadikanmu musuh, padahal kita sama-sama terluka oleh sistem yang tak kita pilih.”
Di dalam amplop ada foto lama milik Dimas tersenyum, menggandeng Alya dan Livia, bertiga dalam satu acara seminar. Alya bahkan lupa kapan foto itu diambil.
Malam itu, di tepi sungai.
Alya duduk berdua dengan Rey. Cahaya bulan memantul tenang di atas permukaan air. Angin membawa bau kayu dan tanah yang basah.
Ia bercerita perlahan.
Tentang surat Livia. Tentang masa lalu yang ternyata lebih rumit dari yang ia tahu. Tentang rasa bersalah yang selama ini ia bawa, padahal mungkin tak pernah layak ia tanggung sendirian.
Rey hanya mendengar. Tak menyela.
Lalu ia berkata pelan, “Alya... kamu tidak harus sempurna untuk dicintai. Kamu hanya perlu jujur.”
Alya tersenyum kecil, lalu berbisik, “Aku ingin pulang sebentar. Ke Jakarta. Menengok Dimas. Bukan karena cinta. Tapi karena luka yang harus dikubur dengan benar.”
Rey menatap matanya. Lalu mengangguk.
“Aku ikut. Bukan untuk Dimas. Tapi supaya kamu nggak harus hadapi semuanya sendirian lagi.”
Hutan yang lebat dan masyarakat adat tak mampu membungkam suara Alya. Tapi justru di tengah alam, ia menyadari, suara hati sendiri tak bisa terus diabaikan. Dan surat dari Livia membuka satu lembar baru—di mana permintaan maaf tidak harus datang dari kebencian, tapi dari kelelahan saling menyakiti.