Berawal dari ganti rugi, pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi. Seiring waktu, tanpa sadar menghadirkan rindu. Hingga harus terlibat dalam sebuah hubungan pura-pura. Hanya saling mencari keuntungan. Namun, mereka lupa bahwa rasa cinta bisa muncul karena terbiasa.
Status sosial yang berbeda. Cinta segitiga. Juga masalah yang terus datang, akankah mampu membuat mereka bertahan? Atau pada akhirnya hubungan itu hanyalah sebatas kekasih pura-pura yang akan berakhir saat mereka sudah tidak saling mendapatkan keuntungan lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
"Semangat untuk hari ini." Lily menatap pantulan dirinya di cermin. Ada yang berbeda dari penampilannya. Walaupun merasa tidak percaya diri, tetapi Lily berusaha bersikap biasa. Semua itu ia lakukan demi mengajukan banding atas ganti rugi tiga puluh juta.
Setelah berpamitan, Lily mengayuh sepeda bututnya. Cukup sedikit kewalahan karena gadis itu tidak terbiasa memakai baju feminim. Setibanya di toko, Lily langsung menuju ke belakang. Untuk menaruh tas yang dibawa.
"Lilyyyyyy." Ines berteriak histeris. Namun, melongo setelahnya ketika melihat penampilan Lily. Bahkan, Ines langsung menyentuh kening sahabatnya dan berganti menempelkan telapak tangan di bok*ngnya.
"Ngapain lu? Jangan lebay!" Lily memukul lengan sang sahabat karena kesal. Lalu kembali merapikan rambut yang digerai. Padahal biasanya, rambut Lily selalu dikucir tinggi.
"Ini beneran elu? Ini beneran Sekar Lily Permata?"
"Bukan! Gue orang gila!" bantah Lily setengah kesal.
"Oh, pantes. Akhirnya elu ngaku juga kalau elu ini orang gila. Hehehe, peace." Ines justru terkekeh. Apalagi saat melihat lirikan maut dari sang sahabat. "Enggak ada angin ribut, enggak ada hujan badai. Elu ngapain tumben amat pakai baju ginian?"
"Diemlah!"
"Gue enggak akan diem sebelum elu ngasi jawaban. Sumpah, elu seperti bukan Lily sahabat gue." Ines menggeleng sambil berdecak. Melihat penampilan Lily benar-benar membuat gadis itu speechless.
Lily mengembuskan napas kasar. "Kalau bukan karena ganti rugi tiga puluh juta. Gue juga ogah pakai baju ginian."
"Apa? Jadi elu mau ganti rugi tiga puluh juta pakai harga diri lu?" tukas Ines. Ia mengaduh setelahnya karena Lily sudah menonyor kepala cukup kencang.
"Mulut lu bisa diem enggak! Atau gue kasih cabe sekilo."
"Ihhh, serem." Ines berpura-pura bergidik ngeri. "Terus, jelasin ke gue maksudnya gimana."
"Ehm!"
Belum juga selesai mengobrol. Terdengar dehaman dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan Rama, sang bos. Kedua gadis itu pun hanya cengengesan dan hendak kembali bekerja. Namun, langkah Lily terhenti ketika Rama sudah mencekal tangannya.
"Tumben."
"Iya, Pak. Saya cantik, 'kan?" Lily mengibaskan rambut dengan gaya centil. Membuat Rama hanya bisa diam seribu bahasa. "Karena Pak Rama terpesona dengan kecantikan saya maka beri saya kas bon, Pak."
Rama yang barusan menatap dalam pun langsung berdecak keras. Memasang wajah tidak suka. "Lebih baik kamu bekerja, daripada aku memotong gajimu."
Sebelum pergi, Rama menyentil kening Lily hingga membuat gadis itu meringis kesakitan. Namun, Rama tidak peduli. Ia tetap berjalan menuju ke ruangan. Meninggalkan kedua gadis itu. Tidak dipungkiri bahwa Rama merasa hari ini Lily terlihat cantik.
****
Jam sudah menunjuk pukul dua belas siang. Lily saat ini berdiri di depan perusahaan Anggara. Kembali menatap bangunan yang menjulang tinggi itu. Kali ini bukan untuk mengantar bucket bunga lagi. Bahkan, Lily tidak membawa apa pun.
Setelah memarkirkan sepeda butut miliknya, Lily melangkah masuk. Kembali ke meja resepsionis untuk menanyakan di mana ruangan Brian. Bukannya langsung mendapat jawaban, Lily justru harus menunggu terlebih dahulu.
"Nona, silakan ke lantai dua puluh enam. Di sana ruangan Pak Brian. Anda sudah ditunggu."
"Baiklah."
Lily segera masuk ke lift. Menuju ke lantai yang telah disebutkan. Saat baru keluar dari lift, Lily tersentak saat berhadapan langsung dengan Yosep. Ternyata, lelaki itu memang sengaja datang untuk menyambut Lily.
"Selamat datang, Nona." Melihat penampilan Lily, senyum Yosep nampak mengembang sempurna. Ternyata Lily benar-benar memakai baju feminim seperti yang ia suruh.
Kedua orang itu pun segera masuk ke ruangan Brian. Di dalam sana, Brian sedang duduk di kursi kebesarannya sambil menatap layar laptop dengan serius. Yosep berjalan menuju ke belakang Brian dan menyentuh pundak lelaki itu.
"Tuan, Nona Lily sudah datang," ujar Yosep perlahan.
Brian menoleh. Namun, bibirnya terkatup rapat ketika melihat gadis yang saat ini sedang berdiri di depannya. Seperti tersihir, Brian hanya diam dan menatap Lily dengan sangat lekat.
"Bukankah Nona Lily sangat cantik, Tuan?" goda Yosep menahan tawa.
"Ya, dia sangat cantik," balas Brian tanpa sadar.
"Ehm! Gue emang cantik, Om." Suara Lily yang penuh kesombongan itu membuat Brian seketika tersadar. Lalu kembali memasang raut wajah datar.
"Jangan terlalu percaya diri!" Brian berdecih. "Ada perlu apa kamu ke sini?"
Lily melangkah maju sambil beberapa kali menghembuskan napas kasar. Sedangkan Brian hanya diam di tempat tanpa sekalipun melepaskan pandangan dari gadis di depannya.
"Jadi gini, Om. Gue datang ke sini karena mau meminta keringanan atas ganti rugi. Emangnya kemarin gue sarapan habis berapa, sih? Sampai harus ditambahkan segala." Lily sungguh tidak sopan bukan. Ia bahkan tidak menggunakan bahasa formal saat berada di kantor Brian.
"Sarapan Anda habis lima ratus ribu, Nona. Karena semua makanan yang Anda makanan adalah premium."
Uhuk uhuk!
Lily terbatuk saat mendengar Yosep menyebutkan nominalnya. "Gila! Tau gitu kemarin gue ogah sarapan sama elu. Mending gue sarapan nasi uduk. Lima belas ribu udah sama teh anget."
"Bukankah Yosep sudah bilang kalau semua itu—"
"Premium? Emang apanya yang spesial, sih. Mau premium atau enggak, toh sama aja jadi kotoran." Lily memasang wajah malas.
"Ya sudah. Sekarang katakan saja, kamu mau minta keringanan berapa?" tanya Brian sambil berlagak serius.
"Om, ganti rugi tiga puluh juta itu ...."
"Tunggu dulu." Brian menahan ucapan Lily. Lalu menoleh ke belakang dan menatap Yosep. "Bukankah semua ganti rugi itu lima puluh juta?"
"Apa?! Jangan bercanda!" sentak Lily marah.
"Aku tidak bercanda. Apa kamu tahu kalau mobil milikku itu harganya miliaran. Sudah pasti, biaya perbaikan pun mahal."
"Astaga, angkuh sekali." Lily berdecak keras. "Kalau segitu banyaknya, gimana gue bayarnya? Buat makan aja cuma pas-pasan. Bahkan, gaji gue lima tahun juga enggak akan lunas."
Brian bangkit dan berjalan mendekati Lily. Gadis itu justru mendadak gugup. Keberanian tadi, entah lenyap ke mana. Sungguh, tatapan Brian mampu memikat dirinya.
"Aku bisa memberi diskon lima puluh persen." Brian tersenyum licik sambil menatap Lily dari atas sampai bawah. Lily langsung menaruh tangan di depan tubuh. Melindungi bagian penting dari tubuhnya. Khawatir Brian akan melakukan hal aneh padanya. "Bahkan, aku bisa membuat ganti rugi itu lunas asal ...."
Brian memajukan wajah. Membuat Lily semakin merasa gugup. Apalagi saat melihat senyuman Brian yang penuh makna.
"Jangan macem-macem."
"Asalkan ...."
Plak!
"Kamu menamparku!" sentak Brian terkejut. Tamparan itu memang tidak keras, tapi cukup membuat Brian dan Yosep terdiam.
"Jangan bilang kalau elu mau gue temenin elu tidur. Inget, ya. Walaupun gue orang miskin, tapi gue bukan wanita rendahan. Lebih baik gue kerja dua puluh empat jam agar bisa ngelunasin itu daripada harus jadi wanita murahan!" bentak Lily penuh amarah.
"Aku tidak memintamu untuk melayaniku di ranjang. Aku hanya meminta kamu menemaniku datang ke pesta besok hari Minggu."
"Eh!" Lily cengengesan sambil menunjukkan dua jari tanda damai. "Maaf, gue salah paham, Om."
kenapa Lily begitu syok melihat Om tampan datang yang ikut hadir dimalam itu 🤦