Naya yakin, dunia tidak akan sekejam ini padanya. Satu malam yang buram, satu kesalahan yang tak seharusnya terjadi, kini mengubah hidupnya selamanya. Ia mengira anak dalam kandungannya adalah milik Zayan—lelaki yang selama ini ia cintai. Namun, Zayan menghilang, meninggalkannya tanpa jejak.
Demi menjaga nama baik keluarga, seseorang yang tak pernah ia duga justru muncul—Arsen Alastair. Paman dari lelaki yang ia cintai. Dingin, tak tersentuh, dan nyaris tak berperasaan.
"Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri!"
Namun, jawaban Arsen menohok.
"Kamu pikir aku mau? Tidak, Naya. Aku terpaksa!"
Bersama seorang pria yang tak pernah ia cintai, Naya terjebak dalam ikatan tanpa rasa. Apakah Arsen hanya sekadar ayah pengganti bagi anaknya? Bagaimana jika keduanya menyadari bahwa anak ini adalah hasil dari kesalahan satu malam mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 DBAP
Dua hari telah berlalu sejak keputusan itu dibuat.
Naya duduk membisu di sudut kamar, membiarkan keheningan menelannya bulat-bulat. Ia seperti Rapunzel, bukan karena terkurung di menara, tapi karena terjebak dalam rasa bersalah dan luka yang tak bisa ia jelaskan. Besok adalah hari pernikahannya. Semuanya sudah siap—gaun pengantin, tenda, buku nikah. Semuanya, kecuali satu hal, hatinya.
“Apa aku benar-benar harus menikah dengannya?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar bahkan oleh dirinya sendiri. Jemarinya mencengkeram ujung sprei, seolah berharap bisa berpegangan pada sesuatu di tengah badai yang mengamuk dalam dirinya.
“Dia bahkan tak melakukan apa-apa padaku... tapi kenapa harus dia yang menanggung semuanya?”
Matanya tertunduk. Butiran air mata jatuh perlahan, senyap namun tajam menusuk dada. Hatinya sesak—dicekik oleh takdir yang tak pernah ia minta. Pernikahan ini... seharusnya bukan begini. Bukan dengan lelaki yang bahkan belum pernah singgah dalam mimpinya. Bukan saat ia masih menyimpan rahasia kelam yang tak berani ia buka, bahkan kepada dirinya sendiri.
“Zayan... kamu di mana sekarang?” ucapnya lirih sambil menatap langit-langit kamar. “Kenapa kamu pergi? Kenapa setelah malam itu... kamu menghilang begitu saja?”
Bayangan Zayan hadir di pelupuk matanya. Lelaki yang ia cintai. Yang ia percayai. Yang malam itu—ia kira—telah bersamanya. Ia masih ingat bagaimana Zayan datang membawa segelas minuman, dengan suara lembut yang menenangkan. Katanya, hanya agar ia bisa tenang. Tapi setelah itu... semuanya jadi kabur. Suara-suara menghilang. Sentuhan membaur. Tatapan mata menjadi samar. Hingga pagi datang, dan ia terbangun di ranjang... dalam pelukan seseorang.
Seseorang yang ia kira adalah Zayan.
Ia benar-benar tak tahu.
Kini, dua garis merah di test pack telah mengikatnya pada kenyataan yang pahit. Ia hamil. Dan Zayan—lelaki yang ia percayai sepenuh hati—menghilang tanpa jejak. Tanpa satu pun kata penjelasan.
“Aku memang salah pergi begitu saja... tapi kenapa kamu nggak kasih aku waktu buat bicara, Ayan?” isaknya lirih. “Kenapa kamu pergi? Apa aku memang serendah itu di matamu?”
Ia menyeret langkah menuju cermin. Wajahnya pucat, mata sembap, bibir kering. Ia nyaris tak mengenali sosok di hadapannya. Bukan lagi Naya yang dulu, yang ceria dan penuh semangat. Yang kini hanyalah seorang gadis muda, terhimpit kenyataan yang jauh lebih besar dari dirinya.
“Andai saja malam itu aku nggak ikut kamu... andai aku sadar…”
Tangannya meraba perut yang masih rata, lalu memeluknya perlahan. Di dalam sana, tumbuh kehidupan kecil yang tak tahu apa-apa. Buah dari malam yang buram, dari kebingungan, dan dari cinta yang salah arah.
“Aku harusnya nggak pergi pagi itu... harusnya aku nunggu, harusnya aku tanya... harusnya aku yakin...” Suaranya nyaris patah. “Tapi sekarang semuanya terlambat…”
Tubuhnya luruh di lantai. Lututnya tak sanggup menopang beban yang selama ini ia tahan sendiri. Tangisnya pecah, menggema dalam ruang yang hening. Isaknya terdengar seperti doa yang terluka, menggantung di udara tanpa tujuan.
“Kalau aku tahu... kalau aku tahu kamu akan pergi...” bisiknya dengan suara nyaris hilang, “aku nggak akan meninggalkanmu, Yan… Aku mohon… kembalilah. Aku takut… kenapa harus pamanmu yang menanggung semua ini?”
Tangannya menggenggam erat lantai yang dingin, seolah bisa menghentikan waktu.
“Paman Arsen nggak bersalah...” bisik Naya. Setidaknya itulah yang ia yakini saat ini. Arsen, lelaki itu, sama sekali tidak bersalah.
Ketukan pintu menyadarkan Naya akan penyesalan dan kegelisahan hatinya. Ia segera bangkit dan membuka pintu. Di sana, ia melihat sosok sahabatnya telah berdiri.
"Nay, maaf aku baru datang. Ini obat yang kamu inginkan. Jangan terlalu stres, agar bayimu juga nggak ikut berontak," ucap Nisa.
Naya langsung memeluk sahabatnya, satu-satunya orang yang bisa ia temui saat ini, karena ibunya melarang ia bertemu dengan siapa pun, bahkan menyita ponselnya.
"Sudah, Nay," ucap Nisa lagi sambil melepaskan pelukan Naya.
Naya mengangguk lalu membuka kantong obat yang baru saja dibeli Nisa. Bola matanya membulat saat melihat tanggal kedaluwarsa obat itu.
"Nis, kamu beli obat ini di mana?"
"Di ujung komplek sini, kenapa?" tanya Nisa.
Naya menunjukkan tanggal kedaluwarsa dalam kemasan obat itu, lalu ia mengambil lagi obat yang pernah ia beli dan kini ia paham kenapa ia masih bisa hamil setelah minum obat pencegah kehamilan itu. Naya memejamkan mata. Napasnya terasa berat, seperti ada batu besar yang menimpa dadanya.
"Aku minum ini karena aku takut. Karena aku nggak tahu harus bagaimana waktu itu. Tapi... ternyata sia-sia. Semuanya sia-sia."
***
Hari Pernikahan
Langit mendung. Bukan karena awan hitam, tapi karena hati yang tak pernah benar-benar siap.
Naya duduk membisu di depan cermin besar. Wajahnya sudah dirias sempurna, begitu cantik hingga bisa membuat siapa pun terpesona. Tapi tak ada cahaya bahagia di matanya—hanya kehampaan yang mengendap diam-diam. Gaun putih yang membalut tubuhnya tampak seperti jerat, bukan hadiah.
Di sekelilingnya, para perias sibuk mematut hasil kerja mereka—merapikan kerudung, memperhalus guratan eyeliner, membenarkan bunga di rambutnya—semua kecuali luka yang menganga di hatinya.
“Cantik banget, Kak,” puji salah satu dari mereka sambil tersenyum.
Naya membalas dengan senyum tipis, sekilas, kaku. Senyum yang terasa asing bahkan untuk dirinya sendiri.
Dari balik dinding, musik pelan terdengar samar. Tamu mulai berdatangan. Keluarganya berlalu-lalang menyambut dengan wajah bahagia. Ibunya, yang selalu terlihat tenang, kini justru tampak sibuk memastikan segalanya berjalan lancar. Tak ada satu pun yang boleh tahu bahwa pengantin perempuan hari ini tengah menyembunyikan badai dalam dadanya.
Sementara itu, di ruang tunggu pria, Arsen duduk membungkuk di sofa panjang. Tangannya terkepal di pangkuan. Setelan jas putih yang rapi tak cukup menutupi sorot muram di matanya. Sejak pagi, ia tak banyak bicara. Hanya mengangguk pada setiap sapaan, seolah sedang menjalani hukuman yang tak bisa ditolak.
Seorang kerabat menepuk pundaknya sambil tertawa kecil. “Kamu kelihatan tegang banget. Santai... sebentar lagi halal.”
Arsen hanya mengulas senyum kecil. Hambar. Tak sampai ke mata.
Hatinya berat. Ini bukan pernikahan yang ia impikan. Bukan jalan hidup yang ia rancang. Tapi di sinilah ia sekarang, duduk menunggu waktu menuntunnya ke sesuatu yang tak bisa lagi ia elakkan.
Dan jauh di dasar hatinya, ia masih berharap... Zayan akan muncul. Meski di detik terakhir. Karena bagaimanapun juga, dirinya masih berharap bertemu pada pemilik sapu tangan yang kini ia genggam, wanita yang sudah menyerahkan mahkotanya padanya.
Langkah pelan mendekat. Puput, kakaknya, berdiri di sisi kanan. Wajahnya mencoba tersenyum, tapi matanya tak bisa sepenuhnya menyembunyikan rasa bersalah.
“Ar,” ucapnya pelan, “terima kasih... kamu sudah menyelamatkan keluarga kita.”
Arsen tidak menjawab segera. Matanya menatap lurus ke lantai, lalu beralih menatap wajah kakaknya.
“Kalau bisa, Kak... hubungi anak Kakak itu. Apa pun alasannya, semua ini tetap ulahnya.”
Puput menarik napas. “Kalau aku bisa, sudah aku seret dia ke sini. Tapi kamu sendiri juga tahu—bahkan kamu sudah mencarinya. Dia menghilang... tak ada jejak.”
Arsen mengangguk pelan, tapi tatapannya tajam. Bukan karena kecewa pada Zayan, tapi pada Puput. Sebagai seorang ibu jika mengetahui anaknya menghilang bukankah harus mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mencari, tapi Puput terlalu tenang.
“Kak...” Arsen menatap langsung ke matanya. “Apa Kakak sengaja melakukan ini?”
Puput terdiam. Seluruh tubuhnya menegang.
jangan jangan,jangan deh
double update dong,,, kurang nih