Leon Harrington seorang hakim yang tegas dan adil, Namun, ia berselingkuh sehingga membuat tunangannya, Jade Valencia merasa kecewa dan pergi meninggalkan kota kelahirannya.
Setelah berpisah selama lima tahun, Mereka dipertemukan kembali. Namun, situasi mereka berbeda. Leon sebagai Hakim dan Jade sebagai pembunuh yang akan dijatuhkan hukuman mati oleh Leon sendiri.
Akankah hubungan mereka mengalami perubahan setelah pertemuan kembali? Keputusan apa yang akan dilakukan oleh Leon? Apakah ia akan membantu mantan tunangannya atau memilih lepas tangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Seminggu kemudian, setelah hasil autopsi keluar, jasad Jane akhirnya disemayamkan. Ruangan penuh dengan aroma bunga duka yang bercampur dengan isak tangis para pelayat. Marcus dan Sammy, yang belum bisa menerima kenyataan pahit ini, menangis tanpa henti di depan peti jenazah putri mereka.
Kerabat dan teman-teman dekat berdatangan untuk memberikan penghormatan terakhir, membawa karangan bunga mengenang sosok Jane yang begitu ceria dan baik hati.
Jade tiba di rumah duka dengan mata yang masih sembab, wajahnya pucat dan lesu. Ia melangkah dengan kaki yang terasa berat menuju altar, tempat foto Jane dipajang. Senyuman manis kakaknya di dalam foto itu terasa seperti belati yang menusuk hatinya. Bayangan kenangan indah mereka berdua kembali berputar dalam benaknya—tawa Jane, genggaman tangannya, pelukan hangatnya. Semua itu kini tinggal kenangan.
Namun, kehadiran Jade justru memicu reaksi yang tidak diharapkannya.
Marcus dan Sammy, yang sejak awal menolak kehadirannya, menoleh dengan tatapan tajam ke arah putri mereka yang berdiri di depan altar.
Sammy langsung melangkah mendekat dengan wajah yang dipenuhi kemarahan. Suaranya penuh kebencian dan kepedihan yang mendalam.
"Untuk apa kau datang lagi?!" ketus Sammy dengan nada menusuk. "Lebih baik kau tidak muncul sama sekali!"
Jade mengangkat kepalanya, menatap ibunya dengan mata yang masih berkaca-kaca. Ia sudah terbiasa dengan ucapan kasar itu, tetapi tetap saja, setiap kata yang keluar dari mulut ibunya seperti pisau yang menggores jiwanya.
Marcus yang ikut terbakar emosi, maju dengan wajah merah padam. "Kalau kau datang hanya untuk membuat kami marah, lebih baik kau tidak usah datang! Kalau bukan karena dirimu, kakakmu tidak akan meninggal! Kenapa bukan kau saja yang ada di posisinya?!" bentaknya dengan suara bergetar.
Jade terdiam. Dadanya terasa sesak, tetapi ia tidak menunjukkan tanda-tanda perlawanan. Ia hanya menatap foto Jane dengan mata berkabut, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. Baginya, ini bukan pertama kalinya kedua orang tuanya melontarkan kata-kata yang begitu menyakitkan.
Tanpa mempedulikan tatapan penuh kebencian dari mereka, Jade perlahan berdiri tepat di depan altar, menunduk dengan penuh kesedihan.
"Kak, maafkan aku..." bisiknya lirih
Namun, Sammy yang masih terbakar amarahnya, tidak bisa menerima kehadiran Jade lebih lama lagi. Dengan kasar, ia meraih tangan Jade dan menariknya dengan paksa.
"Pergi dari sini! Pergi!" teriaknya, suaranya menggema di ruangan yang sebelumnya hanya diisi oleh suara tangis.
Tubuh Jade sedikit tersentak ke belakang karena tarikan ibunya, tetapi ia tidak melawan. Ia hanya diam, tetap menatap foto kakaknya dengan mata yang dipenuhi air mata.
"Aku hanya ingin mengucapkan selamat jalan pada Jane…" suaranya parau, nyaris tenggelam di antara isakan tangisnya. "Kenapa kalian selalu menyalahkanku...?"
"Karena sejak kau pergi, kau bukan anak kami lagi!" bentak Marcus dengan nada penuh kebencian.
"Ucapan yang menyakitkan ini… bisa begitu mudah kalian lontarkan begitu saja," suaranya terdengar lirih tetapi menusuk. "Pa, Ma, kemana kalian saat kakak dalam bahaya? Kenapa kakak bisa berada di luar saat sudah malam? Tidak biasanya kakak keluar hingga pulang larut. Bahkan jam 23.00, kakak masih di luar. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Ruangan seketika menjadi sunyi.
Sammy yang awalnya terlihat garang kini tampak pucat, seakan pertanyaan Jade telah menelanjangi rahasia yang selama ini ia sembunyikan. Tangannya gemetar, dan sorot matanya berubah gelisah.
Marcus menoleh sekilas ke arah istrinya sebelum kembali menatap Jade dengan tajam. Alih-alih menjawab dengan jujur, ia justru semakin tersulut emosi.
"Kenapa kau malah bertanya seperti itu?! Kau menyalahkan kami?! Aku dan ibumu lebih menyayangi Jane daripada kau yang tidak peduli padanya!" teriak Marcus, suaranya menggema di ruangan.
Jade tersenyum miris. Hatinya sudah terlalu kebas untuk merasakan sakit lebih dalam. Ia menarik napas panjang, berusaha meredam gejolak di dadanya sebelum akhirnya berkata dengan suara datar.
"Terserah apa yang ingin kalian katakan. Aku hanya datang untuk memberi penghormatan pada kakakku."
Ia menatap sekilas ke arah foto Jane, seolah mengucapkan selamat tinggal untuk yang terakhir kalinya. Lalu, tanpa menoleh lagi ke belakang, ia melangkah pergi dengan langkah tegap.
Para tamu yang menyaksikan pertengkaran itu saling berpandangan dengan raut bingung dan penasaran. Bisik-bisik mulai terdengar di antara mereka.
"Kenapa mereka begitu membenci Jade?"
"Apa alasan mereka lebih menyayangi Jane?"
"Apakah ada sesuatu yang mereka sembunyikan?"
Namun, tidak ada jawaban yang bisa mereka temukan saat itu. Yang tersisa hanyalah suasana duka yang semakin dipenuhi misteri.
Beberapa hari kemudian, jasad Jane telah dikremasi. Asap putih mengepul ke langit, seakan membawa kepergian Jane ke alam lain. Tangisan Marcus dan Sammy pecah, tubuh mereka limbung dalam kesedihan yang mendalam. Jade berdiri di sudut mengenang kakaknya yang kini hanya tersisa dalam kenangan. Matanya memerah, wajahnya pucat, dan dadanya sesak oleh kehilangan.
"Jane..." bisiknya lirih." Lima tahun aku pergi, Aku tidak menyangka, pada saat itu adalah pertemuan terakhir kita."
"Aku menyesal… Andaikan aku tidak pergi, mungkin kau tidak akan menjadi korban pria bejat itu. Aku bersumpah, Jane. Aku akan memastikan mereka dihukum."
Jade meninggalkan tempat itu tanpa menunggu lama.
Hari demi hari berlalu, dan akhirnya persidangan dimulai. Ruang sidang dipenuhi sorotan mata penuh harap dari keluarga korban. Marcus dan Sammy duduk di barisan depan, wajah mereka tegang. Jade duduk diam, jemarinya saling menggenggam, menahan amarah yang hampir meledak.
Ketukan palu hakim menggema di ruangan.
"Dengan mempertimbangkan kurangnya bukti yang cukup, maka kelima terdakwa dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan."
Hening.
Sejenak, semua terasa berhenti. Kemudian—
"Apa?! Hakim seperti apa kau?!" Marcus mendadak berdiri, tangannya mengepal di atas meja. Matanya merah, penuh amarah dan kekecewaan.
"Tidak adil! Ini tidak adil!" teriak Sammy histeris. Tubuhnya gemetar hebat, air matanya deras mengalir. "Anakku meninggal karena mereka! Hasil autopsi sudah keluar! Dan kau membebaskan mereka begitu saja?!"
Di bangku belakang, seorang pria bernama Jacob mengamati jalannya persidangan dengan sorot mata tajam.
Di sudut lain, Jade masih duduk diam. Wajahnya tanpa ekspresi. "Mereka adalah pelakunya. Buktinya nyata. Tapi mereka dibebaskan begitu saja. Hanya karena mereka dari keluarga kaya? Hakim ini... jelas bukan hakim yang benar."
Jade berdiri perlahan, melangkah keluar ruangan dengan tatapan tajam.
"Jika hukum tidak bisa memberi keadilan, maka aku akan mencarinya sendiri."
Bebasnya para pelaku tersebut menimbulkan kemarahan di tengah masyarakat. Mereka langsung melontarkan kritik tajam terhadap hakim yang memimpin persidangan. Berita ini mengguncang kota, terutama karena lima pelaku dinyatakan tidak bersalah.
"Lebih baik Hakim Harrington yang memimpin persidangan ini! Pecat Hakim Mike! Pecat Hakim Mike!"
Sorakan kemarahan masyarakat menggema di depan para reporter yang meliput kejadian tersebut.
ayo katakan yg sebenarnya