Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.
Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.
Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20: GELOMBANG MASA LALU DI KOTA PAHLAWAN
Pagi di Surabaya pasca-skandal RS Medika Utama meledak terasa seperti udara yang baru saja dibersihkan oleh badai hebat. Tajuk utama di berbagai media nasional, baik cetak maupun digital, hanya memajang satu narasi besar: “Kejatuhan Dinasti Medika: Konspirasi di Balik Meja Operasi.” Nama Firmansah disebut sebagai pahlawan di balik layar, sang jurnalis investigasi yang berani membongkar borok kekuasaan demi keadilan seorang dokter.
Namun, bagi sang "pahlawan", pagi itu tidak terasa seperti kemenangan.
Firman duduk di sebuah bangku kayu di Taman Bungkul, menatap lurus ke arah jalan raya yang mulai padat oleh kendaraan. Di tangannya, ia memegang sebuah cup kopi yang sudah mendingin. Luka di sudut bibirnya sudah mengering, menyisakan warna keunguan yang kontras dengan kulitnya yang pucat. Bahu kirinya yang masih dibalut gips tersembunyi di balik jaket parka hitamnya.
Di sampingnya, Yasmin duduk dengan kepala tertunduk. Ia tidak lagi mengenakan gaun marun yang menyesakkan semalam. Ia kembali menjadi Yasmin yang Firman kenal mengenakan kemeja flanel kebesaran dan celana jins, dengan rambut yang diikat asal. Namun, binar di matanya masih meredup.
"Kamu sudah lihat beritanya?" tanya Firman pelan, suaranya parau karena kurang tidur.
Yasmin mengangguk tanpa menoleh. "Aris dan ayahnya sudah resmi ditahan untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pihak kepolisian juga mulai mengusut kembali kasus di Surabaya setahun lalu. Nama saya... nama saya kemungkinan besar akan dipulihkan sepenuhnya oleh Komite Etik Pusat."
"Itu berita bagus, Yas. Itu yang kita perjuangkan sejak di Samarinda," Firman mencoba memberikan senyum, namun yang muncul hanyalah garis tipis yang penuh beban.
Yasmin akhirnya menoleh, menatap Firman dengan mata yang berkaca-kaca. "Tapi dengan harga apa, Firman? Kamu hampir mati dua kali karena urusan saya. Kamu mempertaruhkan kariermu, integritasmu, bahkan nyawamu sendiri. Saya merasa... saya merasa seperti kutukan buat kamu."
Firman meletakkan kopi di sampingnya dan meraih tangan Yasmin yang gemetar. Ia menggenggamnya erat, merasakan dingin yang menjalar dari jemari perempuan itu. "Jangan pernah bilang begitu. Kamu bukan kutukan. Kamu adalah alasan kenapa saya masih percaya kalau kebenaran itu layak untuk dikejar, meski harus berdarah-darah."
"Level 4... kamu serius soal itu?" bisik Yasmin, merujuk pada ucapan Firman semalam.
Firman menatap dalam ke mata Yasmin. "Sangat serius. Tapi sepertinya, Surabaya punya cara yang lebih keras untuk menguji level kita daripada Samarinda."
Pukul 11.00 WIB, Sebuah Kafe Tua di Kawasan Jalan Gula.
Setelah meninggalkan taman, Firman meminta Yasmin untuk menunggunya di sebuah kafe tua yang tersembunyi di antara bangunan-bangunan kolonial yang eksotis. Firman bilang ada seseorang yang harus ia temui terkait data tambahan untuk artikelnya. Yasmin setuju, meski ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan nada bicara Firman.
Tak lama setelah mereka duduk, seorang pria paruh baya dengan topi flat cap dan jaket kulit usang masuk ke dalam kafe. Pria itu memiliki bekas luka bakar kecil di tangan kanannya dan sorot mata yang penuh dengan kepahitan masa lalu. Ia berjalan pincang menuju meja mereka.
Firman berdiri, menunjukkan rasa hormat yang jarang ia tunjukkan pada siapa pun. "Pak Agung. Terima kasih sudah bersedia datang."
Pria bernama Agung itu duduk, menatap Firman dengan saksama, lalu beralih ke Yasmin. Matanya membelalak saat melihat wajah Yasmin. "Jadi... ini dokter itu? Putrinya Dokter Hendrawan?"
Yasmin tersentak. "Anda mengenal ayah saya?"
Agung tertawa kecil, suara tawanya terdengar seperti gesekan amplas di kayu tua. "Mengenal? Ayahmu adalah orang yang menandatangani laporan medis palsu tentang kematian Baskara Putra dua puluh tahun lalu di rumah sakit ini."
Firman mematung. Jantungnya seolah berhenti berdetak sejenak. "Baskara Putra... ayah saya?"
Agung menatap Firman dengan iba. "Firman, saya adalah editor ayahmu dulu di Surabaya. Kami sedang mengerjakan proyek investigasi besar yang kami sebut sebagai 'Proyek Lentera'. Sebuah kasus penggelapan bantuan medis internasional yang melibatkan petinggi-petinggi rumah sakit dan pemerintah saat itu. Ayahmu dibunuh, Firman. Kecelakaan di Tol Cipularang itu bukan kecelakaan biasa. Rem mobilnya disabotase."
Dunia di sekitar Firman seolah runtuh. Ia selama ini tahu ayahnya meninggal dalam kecelakaan, namun ia selalu menganggap itu adalah takdir pahit. Ia tidak pernah tahu bahwa ada tangan manusia di baliknya. Dan yang lebih menyakitkan...
"Apa hubungannya dengan keluarga Yasmin?" tanya Firman, suaranya kini bergetar hebat.
Agung mengeluarkan sebuah amplop cokelat kusam dan meletakkannya di meja. "Dokter Hendrawan, kakek dari dr. Yasmin ini, adalah direktur utama di rumah sakit tempat ayahmu dirawat secara darurat setelah kecelakaan itu. Ayahmu sebenarnya selamat dari kecelakaan, Firman. Dia dibawa ke rumah sakit dalam kondisi kritis namun stabil. Tapi beberapa jam kemudian, dia dinyatakan meninggal karena 'gagal jantung'."
Agung menunjuk sebuah dokumen di dalam amplop tersebut. "Ini adalah catatan medis asli yang saya curi dari ruang arsip dua puluh tahun lalu. Di sana tertera dosis obat penenang yang diberikan melebihi batas normal. Dan siapa yang menandatangani pemberian obat itu? Dokter Hendrawan senior. Kakekmu, Yasmin."
Yasmin menutup mulutnya dengan tangan, air mata langsung membanjiri pipinya. "Nggak mungkin... Kakek adalah orang yang sangat baik. Beliau sudah meninggal sepuluh tahun lalu, beliau tidak mungkin melakukan pembunuhan..."
"Di dunia kekuasaan, orang baik hanyalah label yang dibeli dengan uang, Nak," sahut Agung dingin. "Mereka harus membungkam Baskara karena Baskara memegang daftar nama orang-orang yang terlibat dalam Proyek Lentera. Dan keluarga kamu adalah salah satu pemegang kunci utama dari proyek itu."
Firman meraih dokumen itu. Tangannya gemetar begitu hebat hingga kertas itu ikut bergetar. Ia melihat nama ayahnya, Baskara Putra, dan di bawahnya, sebuah tanda tangan yang sangat ia kenali dari foto-foto di rumah kakek Yasmin saat ia berkunjung ke Samarinda dulu.
Tiba-tiba, segalanya menjadi masuk akal. Alasan kenapa Firman selalu merasa ada "gema" yang menariknya ke dunia medis, alasan kenapa ia sangat membenci ketidakadilan di rumah sakit. Itu adalah dendam yang terpendam di dalam sel darahnya.
Firman menatap Yasmin. Pandangannya kini dipenuhi dengan kebingungan yang menyakitkan. Di hadapannya berdiri wanita yang ia cintai, wanita yang baru saja ia selamatkan nyawanya. Tapi di saat yang sama, wanita ini adalah keturunan dari orang yang diduga membunuh ayahnya.
"Firman... tolong, jangan tatap aku seperti itu," tangis Yasmin pecah. Ia mencoba meraih tangan Firman, namun Firman secara refleks menarik tangannya.
Penolakan itu lebih menyakitkan bagi Yasmin daripada tamparan Aris semalam.
"Saya butuh waktu, Yas," ucap Firman dengan nada yang sangat datar nada "Smiling Killer" yang kini kembali muncul, namun kali ini untuk membentengi dirinya sendiri dari rasa sakit.
"Firman, tunggu! Aku nggak tahu apa-apa soal ini! Sumpah!" Yasmin berdiri, mencoba menahan Firman.
"Saya tahu kamu nggak tahu, Yas. Tapi fakta ini... fakta ini merubah segalanya," Firman menatap Agung. "Pak Agung, apa masih ada bukti lain? Siapa yang memberi perintah pada kakek Yasmin?"
Agung menggeleng. "Itu yang belum sempat ditemukan ayahmu. Tapi dia bilang, ada satu orang yang disebut sebagai 'Si Pemegang Lentera'. Seseorang yang kini mungkin berada di puncak kekuasaan di Jakarta."
Firman mengepalkan tangannya. Ia menyimpan dokumen itu di dalam tasnya. Ia berbalik dan berjalan keluar dari kafe tanpa menoleh ke arah Yasmin yang kini terduduk lemas di kursi, menangis sejadi-jadinya di depan Pak Agung.
Malam Harinya, di Sebuah Jembatan Merah yang Sunyi.
Angin malam Surabaya berhembus kencang, membawa aroma air sungai yang payau. Firman berdiri bersandar di pagar besi jembatan, menatap pantulan lampu kota di permukaan air. Di tangannya, ia memegang stetoskop Yasmin yang sempat tertinggal di tasnya saat mereka di kafe tadi.
Ia merasa seperti sedang berdiri di persimpangan jalan yang mustahil. Jika ia melanjutkan investigasi ini, ia harus menyeret nama keluarga Yasmin ke dalam lumpur kehinaan yang lebih dalam. Ia harus menghancurkan martabat kakek Yasmin yang sangat dihormati oleh Yasmin. Namun, jika ia berhenti, ia akan mengkhianati arwah ayahnya yang selama dua puluh tahun menuntut keadilan.
"Kenapa harus serumit ini, Yas?" gumam Firman pada angin.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Rendy.
Rendy: Man, gue baru dapat info. Aris minta ketemu lo di penjara. Dia bilang dia punya informasi tentang siapa 'Si Pemegang Lentera' yang sebenarnya. Tapi dia cuma mau bicara kalau lo datang bareng Yasmin.
Firman menyipitkan matanya. Aris? Pria itu pasti sedang merencanakan sesuatu. Aris tahu tentang sejarah ini? Atau Aris hanya ingin memecah belah mereka lebih jauh?
Keesokan Harinya, Ruang Kunjungan Rutan Medaeng.
Suasana di dalam rutan sangat gerah dan bising. Firman dan Yasmin duduk berdampingan di depan kaca pembatas, namun ada jarak sekitar satu meter di antara mereka. Yasmin tampak sangat layu; matanya bengkak dan ia tidak banyak bicara.
Aris muncul dari balik pintu jeruji dengan mengenakan seragam tahanan berwarna oranye. Wajahnya yang dulu klimis kini ditumbuhi janggut tipis, namun matanya tetap memancarkan kelicikan yang sama. Ia tersenyum lebar saat melihat Firman dan Yasmin.
"Senang melihat pasangan pahlawan kita masih bersama," ucap Aris melalui telepon pembatas.
"Langsung saja, Aris. Apa yang kamu tahu soal Proyek Lentera?" potong Firman tanpa basa-basi.
Aris tertawa kecil, melirik ke arah Yasmin. "Yasmin, kamu pasti sedih ya tahu kakekmu seorang pembunuh? Tapi tenang saja, dia nggak sendirian. Dia cuma pion."
"Siapa 'Si Pemegang Lentera'?" Firman menekan suaranya.
Aris mencondongkan tubuhnya ke arah kaca. "Si Pemegang Lentera adalah orang yang sekarang sedang membiayai beasiswa spesialis Yasmin di Surabaya. Orang yang memastikan Yasmin selalu mendapatkan fasilitas terbaik tanpa dia sadari."
Yasmin tersentak. "Maksud kamu... yayasan yang memberi saya beasiswa? Itu yayasan anonim dari Jakarta!"
"Anonim bagi dunia, tapi tidak bagi keluarga kami," Aris menyeringai. "Orang itu adalah sahabat kakekmu, Yasmin. Dan dia adalah orang yang sama yang memesan 'obat tidur' dosis tinggi untuk ayah Firman dua puluh tahun lalu. Namanya adalah... Dr. Syarifuddin. Menteri Kesehatan saat ini."
Ruangan itu mendadak terasa dingin bagi Firman. Dr. Syarifuddin adalah sosok yang sangat ia kagumi di dunia medis. Sosok yang sering ia jadikan narasumber dalam berita-berita kebijakannya.
"Dan satu lagi yang perlu kamu tahu, Firman," Aris menambahkan dengan nada mengejek. "Alasan kenapa Yasmin ditarik ke Surabaya, alasan kenapa kasus malpraktiknya dulu dibuat viral... itu semua adalah instruksi dari atas untuk memancing kamu keluar dari Samarinda. Mereka ingin kamu menggali kembali kasus ini karena mereka butuh seseorang untuk menemukan 'berkas asli' yang ayahmu sembunyikan sebelum meninggal."
Firman menyadari bahwa ia baru saja masuk ke dalam labirin yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Ia bukan lagi sang pemburu; ia adalah umpan yang sedang diarahkan ke arah perangkap.
"Kenapa kamu memberitahu kami sekarang?" tanya Firman curiga.
"Karena saya benci kalah, Firman," jawab Aris dingin. "Dan jika saya harus hancur, saya ingin melihat dunia yang kalian banggakan itu ikut hancur bersama saya. Selamat menelusuri labirin kematian ayahmu, Jurnalis."
Firman bangkit berdiri, menarik tangan Yasmin agar ikut pergi. Namun, saat mereka berjalan menuju pintu keluar, Yasmin berhenti dan melepaskan pegangan tangan Firman.
"Firman..."
"Ya?"
"Jika benar Kakek melakukan itu... jika benar keluarga saya yang menghancurkan hidupmu... saya minta maaf," Yasmin menunduk, bahunya mulai berguncang lagi. "Dan saya rasa... Level 4 kita harus dibatalkan. Saya nggak pantas ada di samping orang yang keluarganya saya sakiti sedalam itu."
Yasmin berbalik dan lari meninggalkan Firman di koridor rutan yang suram. Firman mencoba mengejar, namun langkahnya terhenti saat ia melihat seseorang berdiri di depan gerbang rutan seorang pria dengan setelan jas hitam rapi dan beberapa pengawal.
Pria itu adalah Dr. Syarifuddin. Sang Menteri Kesehatan.
Pria itu menatap Firman dengan senyum yang sangat ramah, namun di balik kacamata berlensa tipisnya, ada kedinginan yang membuat bulu kuduk Firman berdiri.
"Halo, Firmansah. Saya sudah lama ingin bertemu dengan putra dari sahabat lama saya, Baskara Putra. Mari kita bicara tentang masa depan jurnalisme medis kita."
Firman menyadari, permainan baru saja naik ke level yang tidak pernah ia bayangkan: Level Eksistensi.
Firman secara paksa 'diundang' untuk masuk ke dalam mobil Dr. Syarifuddin, sementara Yasmin yang melarikan diri tiba-tiba diculik oleh sekelompok orang tak dikenal di parkiran rutan. Firman dihadapkan pada pilihan: menyerahkan dokumen asli yang ia temukan di kafe tua demi nyawa Yasmin, atau membiarkan Yasmin celaka demi mengungkap kebenaran Proyek Lentera di depan publik nasional. Manakah yang akan dipilih oleh 'The Smiling Killer'?