Fandi, seorang mahasiswa jurusan bisnis, memiliki kemampuan yang tak biasa—dia bisa melihat hantu. Sejak kecil, dia sudah terbiasa dengan penampakan makhluk-makhluk gaib: rambut acak-acakan, lidah panjang, melayang, atau bahkan melompat-lompat. Namun, meskipun terbiasa, dia memiliki ketakutan yang dalam.
BENAR! DIA TAKUT.
Karena itu, dia mulai menutup matanya dan berusaha mengabaikan keberadaan mereka.
Untungnya mereka dengan cepat mengabaikannya dan memperlakukannya seperti manusia biasa lainnya.
Namun, kehidupan Fandi berubah drastis setelah ayahnya mengumumkan bahwa keluarga mereka mengalami kegagalan panen dan berbagai masalah keuangan lainnya. Keadaan ekonomi keluarga menurun drastis, dan Fandi terpaksa pindah ke kos-kosan yang lebih murah setelah kontrak kos sebelumnya habis.
Di sinilah kehidupannya mulai berubah.
Tanpa sepengetahuan Fandi, kos yang dia pilih ternyata dihuni oleh berbagai hantu—hantu yang tidak hanya menakutkan, tetapi juga sangat konyol dan aneh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DancingCorn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4 : Benda Aneh di Kamar Raka
Selama satu bulan terakhir, Fandi menjalani hidup biasa di kos-kosan itu.
Hari-harinya diisi dengan kuliah dan berkumpul dengan teman-teman barunya di kos.
Segalanya terasa normal, meskipun dia selalu diawasi dan diajak bicara oleh hantu wanita di dapur atau mendengarkan ocehan hantu pria tua di kamarnya yang selalu membandingkan kehidupan sekarang dengan kehidupannya dimasa lalu.
Pagi itu, seperti biasa, Fandi bangun lebih pagi dari yang lain. Dia melangkah keluar kamar, beribadah, lalu mulai membuat secangkir kopi di dapur. Ketika menoleh ke arah kamar Raka, Fandi merasa ada yang aneh.
Biasanya Raka sudah bangun jam segini, tapi kenapa pintunya masih tertutup? Kamar Raka masih gelap dan tertutup rapat. Saat Fandi baru saja selesai membuat kopi, matanya menangkap sesuatu yang mengejutkannya.
Di sudut matanya, Fandi melihat bayangan hitam melintas dari kamar Raka menuju belakang kos. Bayangan itu bergerak cepat, namun cukup jelas untuk membuat Fandi merasa tidak nyaman. Dia berusaha membuangnya dari pikiran, berpikir mungkin itu hanya imajinasinya saja. Tapi, perasaan aneh itu tak bisa hilang begitu saja.
"Bagaimana benda itu ada di sana?" kata hantu wanita yang melayang di sebelah Fandi. Fandi tidak menjawab pernyataan hantu perempuan itu, dia hanya berdiri di sana dengan gelisah.
'Benda itu? Apakah itu hal najis...' pikir Fandi sambil mengingat keluhan Raka tentang bangun pagi sebulan yang lalu.
Sebuah suara serak tiba-tiba mengomel di dekat telinganya. "Hei nak, bagaimana kau bisa membuat kopi seorang diri? Sopan lah pada orang yang lebih tua dan buatkan aku satu," hantu pria paruh baya itu tiba-tiba muncul di depan Fandi. Mata Fandi bergetar sedikit, namun tidak ada yang menyadarinya.
"Pak Kromo mau kopi, biar Lili buatkan, Pak," kata hantu wanita itu.
Fandi sudah mengetahui nama dari dua penunggu yang sering muncul ini beberapa hari setelah dia pindah. Karena ucapan terima kasih Fandi pada Lili sebelumnya, Lili memberitahu Pak Kromo bahwa Fandi mungkin bisa melihat mereka. Pak Kromo yang bersemangat, menjadi sering mengganggu Fandi. Untung saja, Fandi memiliki mental yang kuat dan mampu mengabaikan mereka semua. Namun, jika ada yang melihat kakinya sekarang, mereka mungkin akan sadar bahwa kaki Fandi berubah menjadi seperti jeli, dia mungkin akan terjatuh hanya dengan satu sentuhan.
Namun percakapan Pak Kromo dan Lili membuat Fandi mengabaikan bayangan hitam yang keluar dari kamar Raka. Dia kembali ke kamarnya dan bersiap untuk membantu dosen mengajar hari ini.
—————
Sore hari, setelah selesai kuliah, Fandi kembali ke kos-kosan dengan langkah yang agak lelah. Saat melintasi lorong kos, matanya tertuju pada Arief dan Dimas yang berdiri bingung di depan pintu kamar Raka. Mereka tampak gelisah, ekspresi cemas terlihat jelas di wajah mereka. Fandi merasa ada yang tidak beres dan mendekat.
"Dim, Rif, ngapain kalian di sini?" tanya Fandi dengan bingung.
Arief menggelengkan kepala. "Raka nggak keluar dari kamar sejak pagi. Pintu kamarnya terkunci, dan dia nggak jawab panggilan kita."
"Hah?" Setelah momen bingung sejenak, Fandi segera bertanya dengan khawatir, "Ada Apa? Nggak bisa di hubungin juga?"
Dimas menggelengkan kepala, "ponselnya mati."
Meskipun baru mengenal mereka sekitar sebulan, Fandi merasa sudah cukup akrab dengan beberapa penghuni kos ini. Melihat ada yang tidak beres dengan salah satu dari mereka, tentu saja dia merasa khawatir.
Dimas berkata dengan nada bingung, "Biasanya dia nggak begini. Bukannya dia biasanya bangun pagi bareng lo? Lo tahu sesuatu nggak, Fan?"
Fandi terdiam sejenak, "Pagi tadi Raka nggak bangun bareng gue. Gue pikir dia masih tidur, jadi gue biarin."
"Ini anak emang susah bangun pagi. Satu bulan ini aja dia aneh karena bangun teratur." Kata Dimas dengan rumit. "Hari ini kita janjian mancing, tapi dia belum nongol. Gue ke kamar dia malah kaya gini."
Fandi mengingat bayangan hitam yang melintas dari kamar Raka menuju belakang kos pagi tadi. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang janggal, namun dia tidak bisa memberitahu mereka. Fandi tau mereka tidak akan percaya.
Mereka memang dianggap Fandi sebagai teman, tapi mereka mungkin menganggap Fandi aneh dan menjauhinya jika mereka tau bahwa dia bisa melihat hal aneh. Dia, sudah cukup lelah dilihat buruk oleh orang-orang sebayanya.
Meski begitu, Fandi masih memiliki kegelisahan dihatinya.
"Yang penting kita harus masuk dan lihat dulu. Gue coba cari Kang Roy dan minta kuncinya," ujar Arief sambil berjalan cepat menuju rumah depan, tempat tinggal Kang Roy dan keluarganya.
Kata-kata Arief menyadarkan Fandi. Dia mengangguk setuju seperti Dimas.
Setelah beberapa saat, Arief berhasil menemui Kang Roy, yang sedang duduk santai di kursi depan rumah.
"Kang Roy, bisa kasih gue kunci kamar Raka? Dia nggak keluar sejak pagi, kami khawatir sesuatu terjadi," pinta Arief dengan serius.
"Hah? Bukannya udah gue bilang kalau kos nggak boleh dikunci? Tunggu bentar, Rif," kata Kang Roy sambil bangkit dan mencari kunci. Setelah mendapatkannya, dia berjalan menuju Arief. "Gue ngerasa ada yang nggak beres. Ayo, gue juga mau lihat."
Arief mengangguk dan segera bergegas kembali ke kamar Raka bersama Kang Roy.
Mereka tidak saling bicara, Kang Roy segera membuka pintu, Fandi langsung merasakan suhu dingin tiba-tiba menerpanya. Dia mengenal kejadian seperti ini dengan sangat baik. Wajah Fandi perlahan-lahan menjadi pucat, dan suasana kamar itu terasa mencekam.
Mengapa dia merasakan aura negatif yang begitu pekat dikamar Raka.
Mereka melihat Raka terbaring di atas ranjang, tubuhnya terbungkus selimut tebal. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya menggigil, dan matanya terpejam rapat. Nafasnya terdengar berat, sesekali diiringi batuk yang menandakan demam hebat.
Dimas, Arief, dan Fandi mendekat, merasakan suhu tubuh Raka yang panas seperti bara api. Hati mereka mulai diliputi kecemasan. "Rak..." panggil Dimas pelan, mencoba membangunkannya.
"Anjir, si Raka Demam?" kata Arief kaget, "Gue ambil termometer dulu di Bu Asti, deh." Setelah itu, dia langsung pergi dengan cepat.
Di tempat tidur, Raka hanya terdiam, tidak merespons sama sekali.
Fandi merasa ada yang sangat aneh. Apakah bayangan yang dia lihat pagi tadi ada hubungannya dengan kondisi Raka sekarang?
"Anak ini hanya demam biasa, tapi benda itu membuatnya semakin parah." Suara Pak Kromo tiba-tiba terdengar dari dinding.
Fandi terdiam. Dia mengabaikan rasa takutnya ketika memikirkan kata-kata Pak Kromo.
Benda itu, benda apa yang dimaksud?
Fandi mulai memeriksa sekeliling ruangan. Ruangan Raka dipenuhi dengan poster-poster anime dan film. Ada juga beberapa figur aksi dari karakter-karakter anime dan komik yang Fandi tau.
Kang Roy pergi ke dapur untuk mengambil air dan memasak bubur, sementara Dimas mencoba membangunkan Raka. Tidak ada yang memperhatikan tindakan Fandi.
Matanya tiba-tiba tertuju pada sudut kamar yang sedikit lebih gelap. Di sana, di bawah meja kecil tempat Raka menyimpan action figure miliknya ada benda yang mencuri perhatian Fandi. Fandi merasakan sebuah benda memancarkan aura negatif begitu padat berasal dari sana.
Dengan hati-hati, Fandi berjongkok dan menjulurkan tangan untuk mengambil benda itu. Ketika tangannya menyentuhnya, dia merasakan getaran yang sangat aneh, aura kelam menyengat tubuhnya. Namun segera hilang. Benda itu merupakan pedang kayu kecil, berukir rumit di bagian pegangan dengan aura hitam yang samar-samar mengelilinginya.
"Pedang kayu?" gumam Fandi, mengernyitkan dahi. Tanpa berpikir panjang, dia memasukkan pedang itu ke dalam saku celananya, berpikir untuk mencari tahu lebih lanjut nanti.
Dia tidak melihat Pak Kromo mengangguk dan meninggalkan ruangan itu.
Sementara itu, Arif kembali dengan termometer. Mereka segera mengukur suhu Raka. "Gila, 41°C! Ayo, ke rumah sakit! Cepet!" kata Arief dengan cemas.
"Gue ke Bang Roy buat pinjam kunci mobil. Lo angkat Raka," kata Dimas sambil berdiri. Ketika dia sampai di pintu, dia melihat Kang Roy datang dengan mangkuk bubur. Dimas segera berbicara dengan Kang Roy.
"Raka kenapa bisa tiba-tiba begini dah? Panas banget badannya," ujar Arief sambil berusaha membawa Raka di punggungnya. Fandi juga tidak tinggal diam, dia membantu Arief mengangkat Raka. Dia bisa melihat Arief tampak penuh kekhawatiran sama seperti dirinya dan Dimas.
Fandi menunduk, haruskah dia memberitahu mereka hal yang dia temukan, tapi apakah mereka percaya padanya...
Dimas kembali dengan kunci mobil bersama dengan Kang Roy. Kang Roy tidak jadi membawa bubur karena kabar dari Dimas.
Tiba-tiba, mereka semua dibuat terkejut saat Raka, yang dari tadi hanya menggigil dan lemah, perlahan membuka matanya. Tentu saja, kondisinya masih tampak lemah, tetapi ada perubahan yang cukup mencolok. Demamnya yang tadinya sangat tinggi tampak perlahan-lahan menurun. Arief yang menggendong Raka bisa merasakannya dengan jelas.
"Eh, Rak!" teriak Dimas dengan suara kaget. "Gimana perasaan Lo?
Raka menggelengkan kepala bingung, "hah? Gue nggak apa-apa."
"Bangun? Serius Raka udah sadar?" Kata Arief terkejut. Meski dia bingung, dia tidak bisa menahan perasaan lega. Dia mulai bicara meringankan suasana, "tadi kayak mayat hidup Lo, bro! Kita mau bawa Lo ke rumah sakit ini."
Raka tampak kebingungan. "Ngapain ke RS. Gue cuma pusing biasa ini. Istirahat bentar aja cukup." Raka berusaha turun dari punggung Arief.
"Istirahat pala kau, Lo Deman 41 derajat njir." Kata Dimas dengan kesal.
Fandi membantu Raka kembali ke tempat tidurnya. Dia tiba-tiba merasa suhu Raka tidak sama seperti sebelumnya. Dan Arief sepertinya juga merasakan itu.
Arief terlihat tidak yakin, tapi dia masih berkata, "Dim, kayanya Raka bener. Coba ukur suhu dia lagi deh, kalau bener nggak apa-apa biarin dia istirahat?" katanya ragu.
Dimas akan menolak, tapi Fandi juga berkata, "Coba aja, Dim. Kayanya udah nggak separah tadi."
Dimas mengerutkan kening, tapi akhirnya mengalah, "Oke."
Mereka bertiga segera melihat termometer dengan teliti. Ketika melihat angka 37,8°C, mereka terdiam serempak. Khususnya Dimas karena tidak menyadari anomali di tubuh Raka. Ini cuma demam normal!
Raka menatap Dimas dengan tatapan kosong. "Kenapa sih kalian. Gue nggak lagi dikasih surprise kan?" Kata Raka dengan pelan, suaranya terdengar serak, tampak lemah, tetapi ada sedikit senyum tipis di bibirnya. "Ultah gue masih lama."
Dimas memutar matanya. "Kalau ini prank, lo nggak lucu, bro."
Raka terbatuk sedikit sebelum menggelengkan kepala. "Mana ada prank. Gue sendiri juga nggak tahu, oke? Gue pagi tadi emang ngerasa nggak enak badan. Niatnya mau tidur, eh malah kebablasan."
"Lo beneran udah nggak apa-apa?" Kata Arief dengan sedikit tidak percaya. "Tapi serius, kenapa lo nggak bilang aja kalau lo sakit. Mana pintu dikunci segala."
"Gue nggak apa-apa, makasih Rif." Kata Raka mengabaikan perihal pintu kamar yang terkunci
"Ponsel Lo juga mati Rak?" Kata Fandi dengan bingung.
Raka mulai melihat tempat tidurnya dan mencari ponsel. "bentar, kayanya lupa gue cas pagi ini."
Kang Roy juga tiba-tiba bertanya. "Lo inget kenapa tiba-tiba demam kayak gitu?"
Raka tertegun. Dia menggaruk belakang kepalanya dengan bingung. "Kalau itu... semalem rasanya panas banget di ruangan gue, jadi gue mandi. Terus tidur." Dia tersenyum canggung, "hehe, apa gara-gara mandi malam-malam ya?"
"Yee." Mendengar sorakan teman-temannya, Raka hanya bisa tersenyum malu.
Melihat Raka bisa bercanda dengan yang lain. Kang Roy meninggalkan mereka dan pergi ke dapur. Dimas mengembalikan Mobil dan Arief mengembalikan termometer. Hanya Raka dan Fandi yang tersisa.
"Lo beneran udah enakan, Rak?" Tanya Fandi lagi.
Raka mengangguk tenang, "Iya. Cuma aneh..."
"Aneh?"
Raka ragu-ragu, "inget suara anak kecil yang pernah gue ceritain?" Fandi mengangguk.
"Kali ini, gue denger anak itu nangis. Kayak nyalahin diri sendiri? Gue agak nggak paham karena kesadaran gue ngeblur tadi. Tapi, apa ini ada kaitannya ya." Lanjut Raka dengan bingung.
Fandi hanya diam. Dia menunduk ke bawah, tepat ke saku celananya.
Tidak lama kemudian Dimas dan Arief kembali dari luar. Mereka semua duduk di sekitar Raka, membiarkan suasana sedikit lebih tenang setelah kekhawatiran sempat mereda.
Namun, Arief masih tampak bingung. "Gue nggak ngerti, deh. Tadi kan demamnya 41°C, terus tiba-tiba bisa turun jadi 37°C gitu aja?" Dia menggoyangkan kepala, jelas masih merasa aneh dengan perubahan cepat itu.
Fandi tanpa sadar meraih saku celananya. Pedang kayu kecil yang dia sembunyikan di sana terasa seperti mengingatkannya. Dia menyentuhnya pelan, hampir tanpa sadar, sambil berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan Raka.
Raka yang sedang duduk sambil makan bubur, tanpa sengaja melihat gerakan Fandi. Matanya menangkap Fandi yang dengan linglung menyentuh saku celananya berulang kali.
Karena penasaran, Raka mulai memperhatikan dengan lebih teliti.
Ketika Fandi menarik tangan dari sakunya, Raka dengan cepat menangkap sekilas bentuk pedang kayu yang terlihat di saku celana Fandi. rasanya dia mengenali benda itu. Tapi Raka menggelengkan kepala dan menjawab Arief. "Mungkin gue akhirnya punya kekuatan super. Nggak aneh sih."
"Kekuatan super, kekuatan super. Apa jangan-jangan Lo beneran deman tinggi terus ngebakar otak Lo, jadi Lo halu gini." Kata Dimas dengan aneh.
Tapi Raka hanya memutar matanya, "Dibilangin..."
Mereka bercanda sebentar sebelum meninggalkan Raka untuk beristirahat. Kang Roy juga memberitahu Raka agar tidak mengunci pintunya lagi yang membuat Raka mengiyakan dalam kebingungan. Karena dia ingat tidak pernah mengunci pintu.
—————
Keesokan paginya, Fandi membuka pintu kamarnya seperti biasa. Pedang kayu sebelumnya tergeletak di meja kecil di sudut kamar. Dia terdiam sejenak, memikirkan informasi yang dia dapatkan dari Pak Kromo semalam.
Singkatnya, pedang kayu itu berasal dari gudang dibelakang kos ini. Pedang kayu ini merupakan bagian dari boneka kayu perempuan. Namun, boneka kayu itu dirasuki oleh arwah. Dengan semua fakta yang dikumpulkan, Fandi bisa menarik kesimpulan: pedang kayu ini membawa kutukan.
Fandi menghela napas panjang, merasa kesal. Dia sudah menjauh dari hal-hal ini selama hampir 5 tahun, kenapa dia berurusan lagi dengan ini.
Setelah semalaman mendengarkan cerita dari Pak Kromo, Fandi kurang lebih tau darimana asal benda ini.
Ketika pintu kamarnya terbuka, matanya langsung menangkap sosok Raka yang berdiri di depan kamar. Wajah Raka terlihat lebih segar dibandingkan semalam, meskipun gurat kelelahan masih tampak jelas. Namun, ekspresi serius yang jarang ia tunjukkan membuat Fandi sedikit bingung. Raka tampaknya sudah bangun lebih awal dan menunggu Fandi di sana cukup lama.
maaf jika selama ini ada komen aku yg ga berkenan 🙏🙏🙏
cerita dr kak oThor bagus banget, cuma belom sempet buat baca kisah yg lain🙏🙏🙏 so sorry
eh mbak parti kmrn udh belom ya, sama.yg dia berubah punya sayap hitam 🤔...
Fandy dan yg lainnya msh jomblo, emang sengaja ga dibuatin jodohnya ya kak oThor?
kutunggu sll lanjutan ceritanya 😍🙏🙏
pemilik kos biasanya menyimpan rahasia yg tak terduga... apa iya Bu Asti bukan mnausia?
sosok ini berhubungan dg kehadiran dek Anis jg tayangga ...
siapakah sosok itu? apakah musuh Fandy dr dunia goib?
maaci kak oThor
normal nya liat Kunti ga sampai sedetik udh pingsan ato ga kabur duluan 😀 sereeemmm
tp Krn Arif gengnya Fandy jd beda