cerita tentang seorang serigala penyendiri yang hanya memiliki ketenangan tapi musik menuntun nya pada hal-hal yang terduga... apakah itu musim semi...
aku hanya bermain musik untuk mencari ketenangan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 - Harmoni yang indah
Pagi itu, matahari sudah tinggi saat Vio membuka matanya. Ia menyipit, melihat jam digital di meja kecil—pukul 09.00. Alarm sudah dimatikan.
“Sepertinya... kakak masuk ke kamar,” gumamnya pelan.
Ia ingat samar-samar suara yang membisik pelan, namun tak begitu jelas. Mungkin hanya bayangan setengah sadar saat ia masih terlelap.
Vio bangkit perlahan dari ranjang. Di lantai bawah, aroma makanan sudah tak lagi hangat, namun kehadirannya tetap terasa nyaman. Di meja makan ada sepiring roti isi dan secangkir teh yang mulai dingin. Di sampingnya, ada uang dan selembar kertas kecil tertulis tangan Hilda:
"Karena ini akhir pekan dan aku ada jadwal kerja sore, aku pulang malam. Ini uang makan untukmu, Vio. Maaf, kakak buru-buru banget karena kelas kuliah pagi, jadi nggak sempat masak untuk makan malam"
Vio tersenyum tipis. “Akhir pekan, ya... tidak ada kegiatan juga. Jalan-jalan, mungkin.”
Ia bersiap sebentar dan melangkah keluar rumah. Tak ada rencana. Kaki membawanya berjalan mengikuti arah angin, hingga secara tak sadar ia berdiri di depan sebuah akuarium yang dulu sering ia kunjungi.
Ia membeli tiket dan masuk. Di dalam, suara air dan pantulan cahaya menciptakan suasana tenang. Vio berdiri lama di salah satu lorong kaca melengkung, di mana ikan-ikan berenang di atas kepalanya.
“Dulu aku ke sini bareng kakak, papa, dan mama... waktu baru lulus SD,” ucapnya dalam hati.
Ia tersenyum, lalu terdiam, larut dalam pikirannya sendiri hingga ia menyadari seseorang yang dikenalnya dari kejauhan—teman sekelas. Refleks, ia mundur.
“Lebih baik keluar saja...” bisiknya, lalu melangkah cepat ke pintu keluar.
Kakinya terus membawanya menyusuri jalanan hingga ia tiba di sebuah taman sunyi. Tak banyak orang tahu taman itu. Pohon-pohon rimbun meneduhkan bangku tempat Vio duduk.
Vio duduk di bangku kayu tua yang diteduhi rindangnya pohon besar. Di sekelilingnya, taman tampak seperti dunia lain—sunyi, bersih, dan terasa seperti dilindungi oleh waktu.
Ia memejamkan mata.
Bukan untuk tidur. Hanya ingin… mendengar.
Desir angin menyapu lembut dedaunan, gemericik air sungai kecil tak jauh dari bangku itu, dan sesekali, suara burung menyela ruang udara.
Tak ada musik buatan manusia, namun justru di sanalah letak keindahannya.
Seolah ada irama tersembunyi.
Nada-nada dari alam yang berbisik padanya.
Lalu…
Dalam pikirannya, tercipta harmoni:
Suara air sebagai alunan piano lembut,
Desiran daun bagai gesekan biola,
Dan kicau burung yang menyelip pelan.
Semua berpadu.
Mengalun dalam diam, dan Vio menjadi satu-satunya penonton konser alam itu.
‘Jika aku bisa menangkap ini dalam sebuah lagu…’ pikirnya pelan.
Tapi ia tak bergerak. Hanya mendengarkan.
Dan seperti tanggapan atas perasaan tenang itu, seekor kucing putih muncul dari semak. Melangkah pelan dan langsung naik ke pangkuan Vio, seolah mereka sudah saling mengenal.
“Vizmel,” gumam Vio setelah melihat kalungnya. “nama yang unik untuk seekor kucing” guman nya sambil mengelus bulu lembut itu
“Apa kamu juga suka musik yang seperti ini?”
Ia tertawa kecil, menepuk kepala kucing itu.
“Tenang, ya? Tidak ada kebisingan, tidak ada suara orang, hanya….”
Tak lama kemudian, sebuah suara terdengar. Terdengar asing, tapi lembut.
“Viz... Vizmel!”
Vio melambaikan tangan. Seorang gadis muda—berambut cokelat gelap, kulit terang, ekspresi gugup—berlari mendekat.
"Ah... I’m sorry,” katanya sambil membungkuk kecil.
“Bahasa asing?” Vio terkejut.
“En... Nama ku Tissa,” katanya terbata.
“It’s okay, I understand,” ucap Vio lembut.
“Oh! Sorry, that’s my cat.”
“I know, you called her name.”
"How do you know my cat’s name?!"
Vio tersenyum. “the necklace”
“Oh!”
Tissa mengucapkan terima kasih berkali-kali, bahkan menawarkan makan malam sebagai balasan. Namun Vio menolak dengan sopan.
Mereka berpisah, dan Tissa sempat menyelipkan sejumlah uang ke tangan Vio, membuatnya sedikit canggung. Ia pun melangkah pergi, kembali menyusuri jalan hingga menemukan kedai kecil di pinggir jalan yang sepi.
Setelah makan, saat perjalanan pulang, Vio melihat seorang gadis kecil yang menangis.
“Adik kecil, kenapa menangis?”
“Aku… terpisah dari mama,” katanya terbata, wajah penuh air mata.
Vio mengajaknya duduk, memberinya permen, lalu perlahan bertanya tentang rumahnya. Untungnya, gadis itu tahu alamatnya. Saat mereka tiba, ternyata rumah gadis itu berada tepat di bawah unit apartemen milik Vio.
Kebetulan, sang ayah sedang membuka pintu untuk mencari putrinya. Ia terkejut ketika Vio memperkenalkan diri.
“Kamu tinggal di atas kami?”
“Iya, bersama kakak.”
Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, Vio pamit. Saat ia masuk ke apartemen, ia mendapati sepasang sepatu di depan pintu—milik papa dan mama.
Beberapa menit kemudian, Hilda pulang dan saat ingin bertanya pada Vio...
“Vio, apa ada tamu di ru… P-Papa? mama?” Hilda langsung memeluk mereka