Sulastri tak menyangka kalau dia akan jadi korban pemerkosaan oleh pria yang tak dia kenal, dia sampai hamil dan dihakimi oleh warga karena merasa kalau Sulastri merupakan wanita pembawa sial. Sulastri meninggal dunia dan menjadi kuntilanak.
Wanita yang menjadi kuntilanak itu datang kembali untuk membalas dendam kepada orang-orang yang dulu membunuhnya, dia juga terus gentayangan karena mencari siapa yang sudah merenggut kesuciannya.
Jangan lupa follow Mak Othor biar gak ketinggalan up-nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BD Bab 14
Sepulang dari sungai Wandi langsung menjual separo ikannya. Lalu, dia membawa separo ikannya lagi untuk dimasak oleh ibunya, setelah itu dia mandi dan bersiap.
Walaupun saat ini sedang mati lampu, tetapi tidak menyurutkan niatnya untuk tetap pergi ke kampung sebelah. Karena setelah diperhatikan, hanya kampungnya saja yang mati lampu. Sedangkan kampung lainnya tak ada yang mati lampu.
"Kok udah rapi aja? Mau pergi ke mana?"
Ibunya Wandi merasa heran karena penampilan anak itu begitu rapih sekali, anak itu memakai kaos dipadupadankan dengan kemeja panjang. Lalu, bawahannya menggunakan celana bahan panjang.
Biasanya dalam kesehariannya Wandi selalu memakai kaos oblong dipadupadankan dengan celana pendek saja, atau hanya memakai kaos singlet dengan celana kolor saja.
Bukan hanya bajunya yang terlihat begitu rapih, tetapi rambutnya juga terlihat begitu klimis. Seperti rambut yang sudah dioles oleh minyak kelapa, selalu disisir dengan begitu rapi.
"Mau pergi ke kampung sebelah, Mak. Katanya di sana ada layar tancep, sekalian cari pacar."
"Ya Allah Gusti, daripada kamu cari pacar mending cari kerjaan. Siapa juga anak perawan yang mau sama kamu? Di mana-mana kalau ngajakin pacaran itu, harus sudah punya pekerjaan agar bisa memberikan jajan kepada pacarnya."
Ibunya Wandi merasa capek sekali memberitahukan putranya itu, dia ingin kalau anaknya itu bekerja. Dia ingin kalau anaknya itu berlaku lebih baik lagi, bukan hanya luntang-lantung tidak jelas saja dalam setiap harinya.
Dia berharap kalau anaknya itu akan menjadi pria yang normal, punya pekerjaan dan punya istri. Karena dalam setiap harinya usia semakin bertambah, dia juga sudah semakin tua. Tak mungkin terus menghidupi anaknya itu.
"Yaelah, Mak! Namanya juga usaha, siapa tau ada yang nyantol."
"Terserah, Emak cape ngomong sama kamu. Makan pengen enak, baju pengen bagus, tapi kerja tidak mau."
Sebagai orang tua pastinya menginginkan anaknya yang rajin bekerja, anak yang bisa diandalkan dan mendengarkan semua kata orang tuanya. Namun, nyatanya Wandi merupakan anak yang sulit untuk diatur dan sangat malas untuk bekerja.
"Udahlah, Mak. Gak usah kebanyakan ngatur, kita itu hanya tinggal di kampung. Kalau misalkan aku memiliki istri nanti, untuk masalah makan gampang. Tinggal petik daun-daun yang ada di sawah atau mancing saja, atau mungkin mengambil ubi dan juga singkong yang ada di kebun belakang milik Emak."
Ibunya Wandi hanya geleng-geleng kepala mendengar apa yang dikatakan oleh putranya itu, karena yang namanya hidup itu bukan hanya masalah mengisi perut saja.
Namun, masih banyak kebutuhan lainnya. Akan tetapi, dia sudah lelah menjelaskan kepada putranya itu. Putranya yang pekerjaannya hanya menganggur dan membantah apa yang dia katakan.
"Wandi sudah kenyang, Mak. Mau pergi dulu," ujar Wandi.
"Bodo amat, gak usah pulang juga Emak ikhlas."
"Emak itu kalau ngomong suka sembarangan, tapi kalau memang Emak gak mau aku pulang, malam ini aku gak akan pulanglah. Nginep aku nanti di rumah perawan," ujar Wandi disertai tawa. Ibunya hanya bisa geleng kepala.
Wandi mengambil senter, lalu dia melangkahkan kakinya sambil bersiul, sesekali dia akan membenarkan rambutnya yang tidak berantakan sama sekali. Dia terus melangkahkan kakinya menuju rumah Gunawan, hingga saat tiba di sana ternyata Gunawan tidak ada di rumah.
Kedua orang tuanya berkata kalau Gunawan belum pulang, Wandi menjadi khawatir dibuatnya. Karena memang mereka tidak pulang bersama, dia pulang terlebih dahulu karena ikan yang dia dapat memang sudah lebih banyak dari yang dia dapatkan oleh Gunawan.
"Bagaimana kalau kita susul ke sungai saja?"
Wandi merasa kecewa mendengar usulan dari kedua orang tua Gunawan tersebut, karena itu artinya dia tidak jadi pergi ke kampung sebelah untuk mencari perawan.
Namun, tidak dipungkiri kalau dia juga merasa khawatir terhadap sahabatnya itu. Dia takut terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan terhadap Gunawan.
"Ya udah ayo kita ke sungai," ujar Wandi pada akhirnya.
Wandi dan juga kedua orang tua Gunawan akhirnya memutuskan untuk pergi ke sungai, mereka membawa obor sebagai penerangan. Namun, saat ini hendak melewati jalan menuju sungai, ternyata tanahnya longsor. Mereka memutuskan untuk memutar jalan.
"Eh? Bentar, Pak. Itu kaya ember miliknya Gunawan deh," ujar Wandi.
Mereka bertiga kini sudah ada di dekat gudang terbengkalai, Wandi melihat ember berisikan ikan ada di dekat gudang terbengkalai itu. Wandi sangat yakin kalau itu adalah ember ikan milik Gunawan.
"Tapi, orangnya ke mana?"
"Coba kita mencar, kita cari dia."
Ketiganya akhirnya mencari-cari Gunawan, Ibunya Gunawan mencari putranya di belakang gudang, sedangkan ayahnya mencari di samping gudang. Untuk Wandi, dia mencari sahabatnya itu di dalam gudang.
"Gunawan!" teriak Wandi karena dia melihat sahabatnya itu tergeletak tak sadarkan diri.
Teriaknya Wandi tentunya didengar oleh kedua orang tua dari Gunawan, mereka langsung berlari masuk ke dalam gudang terbengkalai itu.
"Mana Gunawan?" tanya Bapaknya Gunawan dengan begitu khawatir.
"Itu loh, dia di sana. Apa dia mati?" tanya Wandi.
Ibu dan juga bapaknya Gunawan langsung menghampiri pria itu, lalu ibunya mengecek denyut nadi anaknya itu, sedangkan bapaknya langsung mengecek pernapasan putranya.
"Masih hidup dia, apa dia tadi kelelahan terus pingsan ya?"
Di saat kedua orang tua Gunawan sedang memeriksa keadaan Gunawan, Wandi melihat ada bayangan perempuan yang melayang ke arah belakang gudang. Dia langsung bergidik ngeri.
"Hiiih! Jangan-jangan dia diculik kuntilanak, aku pulang duluan lah. Aku takut," ujar Wandi yang langsung berlari pergi dari sana.
Kedua orang tua dari Gunawan meneriaki pemuda itu, sayangnya Wandi tidak mendengarkan dan terus berlari. Dia masih ingat tentang rumor kalau di gudang itu ada kuntilanak, dia masih ingin hidup. Dia tak ingin mati mengenaskan.
"Ngapain nolongin dia, mending selamatkan diri." Wandi berkata dengan napasnya yang tersenggal-senggal.
ternyata begitu ceritanya... dasar laki-laki...
jahat pula...
kalo ada udaku geplek pala abg syahdan 🤣
syahdan ini udah termakan omongan ibunya.. kasihan juga sih.. nggak tau apa-apa, malah dimanfaatkan ibunya..